Ada Corona? Ya, di rumah aja.

Ada Corona? Ya, di rumah aja.

Tomi bertemu Pepper sekitar 7 bulan yang lalu. Seorang teman memperkenalkan mereka di Singapore ketika sama-sama nonton konser Red Hot Chili Peppers. Tomi sangat heran ada seorang gadis selembut Pepper bisa menyukai band tersebut. Red Hot Chilli Peppers adalah sebuah group band lawas beraliran rock yang berasal dari California. Agak aneh ada perempuan jaman now bisa menyukai band tersebut.

“Kok kamu suka Red Hot Chilli Peppers, sih?” tanya Tomi penasaran.

“Soalnya warna favoritku Red. Aku ini orangnya hot dan suka sekali makanan yang pake pepper. Hihihihi….” jawab Pepper dengan jenaka.

“Hahahaha….terus nama kamu Pepper juga. Pas banget, ya?” kata Tomi semakin terpesona pada Pepper yang lincah, cantik dan enerjik.

“Nama asliku Meylan. Mami dan Papi manggil aku Pepper karena aku gak bisa makan kalo gak ada Pepper.”

“Oh, gitu? Tapi aku suka nama Pepper. Cute seperti orangnya,” Tomi mulai menggombal.

Sejak itu mereka pacaran. Setiap kali kencan dan makan bersama, Tomi semakin paham kenapa pacarnya ini dipanggil Pepper. Kekasihnya ini memang memesan menu yang beragam tapi semuanya selalu mengandung lada. Misalnya Pepper Steak. Beef Pepper Rice. Curry Chicken Pepper Rice, Salmon Pepper Rice, Wagyu Pepper Rice. Kalaupun tidak mengandung pepper, dia akan meminta lada pada waiter untuk ditaburkannya sendiri pada makanannya.

Semakin mengenal Pepper, Tomi semakin kagum. Kekasihnya ini mempunyai sisi kemanusiaan yang tinggi. Setiap hari Jumat Pepper menyumbang lebih dari 100 nasi kotak untuk Jemaah sholat Jumat di masjid dekat rumahnya. Bersama teman-temannya dia menggalang dana untuk membiayai proyek nasi kotak tersebut. Tomi sering merasa malu. Dia sendiri yang beragama Islam belum pernah melakukan hal itu. Kok Pepper bisa kepikiran nyumbang ke Jemaah masjid. Padahal dia chinese dan agamanya Kristen.

Setiap hari Sabtu dia mengajar anak-anak jalanan di kolong jembatan. Kegiatan itu diprakarsai oleh sebuah LSM terkenal di Jakarta. Tomi terharu sekali melihat bagaimana Pepper berinteraksi dengan anak-anak jalanan tersebut tanpa rikuh. Pernah juga dia melihat Pepper mengajar sambil memangku seorang bayi, anak dari salah satu ibu-ibu jalanan di sana. Pepper ngedeprok di tanah memangku bayi tadi sambil mengajar bahasa Inggris ke anak-anak yang lebih besar.

Selesai mengajar, Tomi nganter pacarnya pulang. Setelah itu, rencananya mereka hendak nonton berdua di Mal Pondok Indah. Sesampainya di rumah, Ayah Pepper sedang duduk di teras. Pepper menyapa dan mencium pipi ayahnya.

“Aku mandi dulu. Kamu tunggu bentar, ya, Tom,“kata Pepper lalu menoleh ke arah ayahnya, “Papi tolong temenin Tomi dulu ya.”

“Okay, “kata Ayah Pepper, “Yuk, Tom. Duduk bentar kita ngobrol-ngobrol.”

Tomi mengangguk lalu keduanya duduk berhadap-hadapan. Awalnya keduanya berbasa-basi tentang hujan, macetnya jalanan dan kegiatan kampus.

"Tom, saya lihat hubungan kamu makin dekat saja sama Pepper. Kalian pacarannya serius, ya?" tanya Ayah Pepper mulai melemparkan topik baru.

"Serius ga serius, sih, Om. Kan masih kuliah," jawab Tomi.

"Kamu aslinya orang mana, Tom?"

"Padang, Om. Kenapa?"

"Begini, saya mau ngomong. Coba kamu ngobrol dari hati ke hati sama ibu kamu. Tanya sama beliau ‘Lebih seneng punya mantu orang Padang apa orang Chinese?'" Si Bapak mulai memasang jebakan Batman.

"Kalo itu sih gak perlu ditanya, Om. Pasti Padang," sahut Tomi menyadari ke arah mana pertanyaan itu.

"Keinginan Ibu kamu sangat manusiawi, kan?" desaknya dengan suara tetap halus.

"Manusiawi sekali sih..." jawab Tomi dengan suara pasrah.

"Memang begitulah manusia. Orang jawa pengen dapet mantu orang jawa. Orang Batak, orang Menado, pasti jawabannya sama. Dan keinginan itu sangat manusiawi sekali..."

Tomi terdiam bingung harus jawab apa.

"Begitu juga saya. Saya, kan, chinese. Saya akan lebih seneng kalo dapet mantu chinese juga.”

"Iya, Om," sahut Tomi hampir tak terdengar.

"Keinginan saya ini ga ada bedanya dengan keinginan semua orang di belahan bumi ini. Sama persis dengan keinginan ibu kamu. Saya minta maaf tapi semoga kamu bisa memahami keinginan saya," kata Si Bapak lalu mengakhiri pembicaraan yang cukup berat tersebut.

Sejak pembicaraan itu Tomi gak pernah lagi dateng ke rumah Pepper. Sepasang kekasih ini adalah orang yang open minded. Walaupun berbeda ras. Meskipun berbeda agama. Keduanya tidak menganggap sebagai halangan. Bahkan ketika ayah Pepper menyatakan keberatannya, mereka langsung back street. Setiap hari Tomi menjemput Pepper di kampusnya di daerah Grogol.

Mereka memilih Mal Ciputra sebagai tempat pertemuan karena letaknya deket dengan kampus Pepper. Biasanya mereka nonton film di sana, ngopi-ngopi di Leon Café atau makan siang di resto Pepper Lunch. Tomi ngikut aja ke mana pun Pepper mengajaknya. Dia gak peduli diajak ke mana. Pokoknya asal bisa berduaan bersama Sang Kekasih, dia udah happy banget..

Sayangnya cobaan terus datang. Virus Corona yang menghebohkan itu tiba-tiba datang menyerang dunia. Kebijakan Social Distancing membuat keduanya sulit bertemu. Kampus tempat Pepper sudah menerapkan kuliah online bagi para mahasiswanya. Sementara Ayah Pepper juga tidak mengijinkan anaknya untuk keluar rumah. Salah seorang tetangga mereka sudah terjangkit virus tersebut sehingga membuat ayah Pepper memaksa seluruh keluarga untuk mengisolasi diri.

Tomi pun merana diserang rindu. Setiap pagi dia menya Pepper lewat WA. “Lagi apa, sayangku?”

“Hai, Tom. Aku lagi mikirin supir ojek, pengusaha warteg, tukang gado-gado…”

“Loh? Kirain kamu mikirin aku?” sahut Tomi belagak ngambek.

“Hihihi…kalo mikirin kamu, mah, udah by defaut. Aku mikirin mereka karena usaha mereka jadi sepi. Gara-gara orang berdiam di rumah, banyak pengusaha kecil kehilangan order. Kita harus berbuat sesuatu untuk menolong mereka.”

“Gimana caranya?” Lagi-lagi Pepper membuat Tomi kagum. Dia tidak pernah berhenti memikirkan kepentingan orang lain.

“Aku mau pesen makanan ke warteg pake gojek. Tapi makanannya buat mereka sendiri. Jadi pengusaha warteg dan supir gojeknya dapet order.”

“Masya Allah, kamu bener-bener berhati malaikat. Saya terharu banget dengernya.”

“Kamu juga pesen, ya? Biar orderannya semakin banyak.”

“Iya, pasti. Nanti aku suruh temen-temen lain melakukan yang sama.”

“Thank you, Sayangku. Ntar aku kasih hadiah, deh.”

Siang harinya, bel berbunyi. Tomi berlari ke arah pagar dan ngeliat seorang pengendara motor hendak mengantarkan sesuatu. Ternyata yang datang adalah layanan Pepper Lunch direct delivery yang dikirim oleh Pepper untuknya. Tomi tersenyum sendiri. Pacarnya ini selalu mempunyai cara untuk menyenangkan dirinya.

Tomi mengambil handphone dan memotret makanan tersebut lalu langsung dikirimkannya pada Pepper melalui WA dengan caption, “Pepper Steaknya udah nyampe. Thanks, ya. Kamu baik banget.”

Gak lama balasan pun datang, “Aku kangen makan bareng kamu. Karena ada Corona, kita di rumah aja. Kita makan bareng di rumah masing-masing.”

“Oh, jadi kamu pesen dua, ya? Buat kamu juga?”

“Aku pesen 3 menu. Satu buat aku. Satu buat kamu. Dan satu lagi buat delivery man-nya.”

“Masya Allah. Kamu bener-bener berhati emas, Sayangku.” kata Tomi semakin kagum.

“Kita memang gak bisa keluar rumah tapi gak berarti kita gak bisa makan menu favort kita.” sahut Pepper lagi.

Tomi terharu sekali mendapat perhatian yang begitu besar dari Pepper. Dengan lahap dia menyantap makanannya. Makanan pembunuh rindu yang dikirim oleh Sang Kekasih itu terasa lezat sekali.

‘Besok gantian aku yang akan kirim makanan buat Pepper’ kata Tomi dalam hati. Agar tidak lupa, Tomi mencatat No. WA Pepper Lunch direct delivery di handphone-nya. +62 878-8883-9221.  Dia tersenyum sendiri membayangkan bagaimana reaksi kekasihnya menerima kirimannya esok hari.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.