Memetakan Model Komunikasi Jokowi

Memetakan Model Komunikasi Jokowi
Suasana jadi cair, ketika ada warga meminta berfoto bersama, justru Presiden Jokowi-lah yang berinisiatif memotretnya dengan kamera mereka. (Foto: Dok. Tempo)

Izinkan saya bercerita tentang suatu hal yang selama ini awalnya tidak mau saya ceritakan. Tapi, dengan pertimbangan bahwa waktu sudah berlalu, dan hal ini penting untuk dijadikan sebagai referensi efektif dari sebuah model komunikasi publik, inilah momen yang tepat menuliskannya untuk Anda.

Suatu saat, menjelang sore pada September 2018, HP saya berdering. “Kang, tolong bikinin script, dong. Sore ini akan syuting Pak Jokowi. Maaf, mendadak banget,” kata suara di seberang sana. Suara yang familier sekali. Suara partner saya, salah satu anggota tim konsultan sebuah partai pendukung Jokowi sebagai capres untuk periode ke-2 kala itu.

Saya pun kaget dan langsung membatalkan rencana saya untuk keluar rumah. Padahal saya sudah menghidupkan mesin mobil dan siap berangkat.  Saya memutuskan berkonsentrasi mengejar waktu yang kurang dari 1 jam lagi menjelang syuting ini. Tak ada ruang rasanya bahkan untuk sekadar bertanya kepada partner saya, kenapa mendadak sekali? Saya yakin, ia pun memang mendapatkan waktu yang mendadak juga, di sela protokol kegiatan Jokowi yang superpadat ini.

Oya, syuting dalam konteks pembicaraan di atas adalah syuting film iklan, yang bentuknya talking head. Seorang tokoh bercerita ke arah kamera untuk mengajak audiens melakukan sesuatu. Dan tokoh ini tentunya Jokowi. Mengajak melakukan apa? Mengajak audiens untuk berpartisipasi menggunakan hak pilihnya dan menghindari golput.

Mengapa pendekatan talking head diambil? Karena itu yang paling mudah dilakukan dalam keterbatasan waktu Jokowi untuk syuting. Bayangkan, waktu syutingnya hanya kurang dari setengah jam saja. Jadi, ya pendekatan talking head ini yang paling tepat. Dan ini hanya akan kuat jika script alias copywriting-nya  punya daya pikat.

*

Awalnya saya tidak tertarik untuk terlibat di dunia komunikasi politik. Saya tidak mau memiliki friksi dan berjarak dengan teman-teman saya yang berbeda pilihan. Itu sebabnya, pada masa pemilihan caleg dan capres hingga 2014, saya selalu menolak tawaran untuk meng-handle salah satu partai. Saya hanya bersedia memberikan pelatihan komunikasi dan terbuka untuk partai apa pun.

Sampai kemudian, pada 2018, seorang teman meminta saya untuk membantunya menjadi bagian dari konsultan campaign sebuah partai. Ketika saya mengajukan syarat, bahwa sebagai konsultan saya profesional, independen, dan tidak harus menjadi partisan partai tersebut, partner saya setuju. Saya pun bersedia. Apa salahnya mencoba pengalaman baru? Dan betul, dengan partai tersebut, saya tetap berjarak, sehingga apa yang saya kerjakan pun objektif. Menurut saya, ini malah sisi baik bagi partai tersebut.

Langkah selanjutnya, saya mempelajari semua riset yang telah dilakukan partai tersebut. Saya melihat riset mereka sangat komprehensif. Pantas, kata hati saya, partai tersebut selalu unggul dalam kontestasi di setiap waktunya.

Tak hanya  kekuatan dan kelemahan partai yang saya bedah dan canvasing. Karena pada 2019 adalah masa ketika pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilakukan serempak,  saya pun mempelajari secara total calon presiden dan wakil presiden yang diusung partai tersebut. Saya petakan  brand bernama Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.

*

Jokowi adalah nama yang akrab di telinga saya sejak ia menjabat Wali Kota Solo pada tahun 2005. Saya kagum dengan pola komunikasi yang ia lakukan, dan saya amati, ini konsisten menjadi pakemnya. Pola komunikasi tersebut ia gunakan juga ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2012, hingga kini menjalani periode kedua sebagai Presiden Republik Indonesia.

Komunikasi Jokowi adalah model yang selaras dengan prinsip-prinsip Neuro Linguistic Programming (NLP), sebuah metode bahasa pemrograman otak yang dikembangkan Richard Bandler dan John Grinder. Bukan berarti Jokowi adalah praktisi NLP, atau mempelajari keilmuan ini sebagai cara untuk mempengaruhi publik, tapi, bisa jadi, apa yang dilakukan Jokowi adalah gifted (berkah dari Tuhan), dan dijalankan secara alamiah berbasis pada kecerdasan dan ketulusan hatinya (unconscious competency). Atau, bisa juga memang ia mempelajarinya. Tapi, tak peduli ia mempelajari hal ini atau tidak, mari kita fokus pada modelnya dalam berkomunikasi.

Cara Jokowi bertindak dan berkomunikasi sangat selaras dengan pilar-pilar NLP, antara lain:

Fokus pada Outcome Alias Goal

Bahasa lain dari outcome atau goal adalah “tujuan”, atau “sasaran apa yang ingin dicapai”. Ketika melakukan sesuatu, Jokowi sangat fokus pada hal yang sudah digariskan untuk  dicapai. Saya teringat, ketika tepat di tahun pertama ia jadi wali kota, hasil survei terhadap keinginan masyarakat Solo adalah: sebagian besar masyarakat Solo meminta pedagang kaki lima di Banjarsari dipindahkan. Dan kemudian ini menjadi sebuah keputusan. Ketika keputusan ini dijalankan, sekitar 1.000 pedagang kaki lima Banjarsari menolak bahkan mengancam untuk membakar balai kota.

Apakah Jokowi kemudian mengubah outcome-nya? Tidak. Apakah Jokowi tetap menjalankan outcome tersebut dengan menempuh risiko berbenturan dengan pedagang kaki lima? Juga tidak.

Hal ini terjadi juga ketika Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, saat ia harus menertibkan pedagang Tanah Abang dan mengosongkan Waduk Pluit dari gubuk-gubuk liar. Betapa dua kasus ini juga awalnya memicu penolakan yang menegangkan.

Rapport Building

Dalam proses mencapai outcome tersebut, yang berbenturan dengan sikap pedagang kaki lima di Banjarsari Solo; atau pedagang liar di Tanah Abang; atau penghuni gubuk-gubuk di wilayah Waduk Pluit; Jokowi melakukan apa yang disebut dalam NLP sebagai rapport building. Jokowi hadir di tengah mereka, mencari dan membangun kesamaan dengan cara mereka, dengan bahasa mereka, dengan pola pikir mereka, sehingga terjalin benang merah yang menggiring terciptanya persepsi yang sama.

Bersama pedagang kaki lima Banjarsari, tercatat Jokowi sampai melakukan 56 kali pertemuan. Jokowi hadir di tengah mereka, bukan dengan membawa proposal dan edukasi tentang pentingya relokasi pasar. Bukan. Jokowi sangat menyadari, jika hal itu dilakukan, hasilnya akan gagal. Itu sebabnya, ia datang di tengah-tengah mereka hanya untuk ngobrol dan mengajak mereka makan bersama.

Bayangkan, relasi emosional romantik seperti apa efeknya, ketika 56 kali Jokowi makan bareng bersama mereka, ngobrol bareng bersama mereka, tertawa bareng bersama mereka, sekaligus menyerap apa sikap batin mereka. Di awal-awal mereka curiga, dan ketika waktu berlalu, kecurigaan mereka sirna.

Ketika kedekatan sudah demikian kuat terjalin, di waktu yang tepat, Jokowi pun mengatakan alasan mengapa mereka harus pindah dari area Banjarsari. Daya tolak mereka pun sirna. Yang ada adalah proses dialog bahwa pedagang kaki lima harus mendapat jaminan keuntungan yang sama ketika ia direlokasi ke tempat baru, yaitu Pasar Notoharjo.

Kata Jokowi, pendekatan ini disebut nguwongke uwong, yaitu memanusiakan manusia pada harkat dan martabat yang seharusnya.

Hasilnya? Pada hari H relokasi, pedagang kaki lima Banjarsari malah begitu semarak dan gembira menyongsongnya. Mereka melakukan karnaval, pawai pindahan bersama ke Pasar Notoharjo. Luar biasa. Dengan rapport building, Jokowi bisa menggeser persepsi, bahkan membaliknya. Begitupun yang terjadi di Pasar Tanah Abang dan warga Waduk Pluit.

Apakah bergabungnya Prabowo di kabinet Jokowi, sekaligus berubahnya Gerindra dari oposisi menjadi koalisi, juga efek dari rapport building yang dilakukan Jokowi? Ya, jelas. Apa lagi?

Teknik pacing dan leading adalah salah satu metode rapport building yang dilakukan Jokowi. Pacing artinya proses mengkalibrasi diri dengan selalu membangun kesamaan dengan audiens atau lawan bicaranya. Jokowi tidak pernah mengatakan tidak secara frontal, saat ia tidak setuju dengan lawan bicaranya. Tak ada kata-kata rejection saat Jokowi berbeda pendapat  dengan pola pikir orang di hadapannya. Jokowi sangat sadar, membangun kesamaan lebih menguntungkan daripada memperkuat perbedaan. Sebab, ketika kalibrasi atau kesamaan persepsi terjadi, proses mengarahkan audiens untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginan kita (leading) menjadi demikian mudah. Itulah kekuatan inti pacing-leading yang sangat ajaib mempengaruhi siapa pun, termasuk mengubah mindset siapa pun.

Sensory Acuity & Calibration

Proses komunikasi semakin kuat ketika kita mampu mengeksplorasi pancaindra diri kita maupun audiens dan mengkalibrasinya sehingga ada di frekuensi yang sama. Hal ini dilakukan Jokowi. Saya teringat, misalnya satu kejadian saat Jokowi foto bersama para wartawan pada 18 Oktober 2022, di acara konferensi pers setelah bertemu dengan Presiden FIFA, Gianni Infantino. Karena jumlah wartawan yang banyak, sementara space sempit, spontan Jokowi memilih posisi jongkok di baris depan, menyatu bersama wartawan dengan posisi setara. Peristiwa ini langka bagi seorang presiden, tapi suasana ini malah tampak membuat empati wartawan terhadap Jokowi semakin kuat. Kalibrasi indra kinestetik yang dilakukan Jokowi dalam kasus ini menjadi sangat kuat pengaruhnya.

Lihat juga cara berkendara Jokowi ketika ia terjebak dalam kemacatan lalu lintas. Tak jarang, ia memilih bersama pengendara lainnya menikmati jebakan kemacetan tersebut. Padahal, dengan sangat mudah, bila ia mau, pasukan pengamanan presiden bisa membukakan jalan untuknya.

Saya pernah mendengar ada orang yang nyeletuk bilang begini: “Saya memutuskan pilih Jokowi hanya dengan melihat cara dua calon presiden ini berkendara di jalan tol Jagorawi. Iring-iringan Jokowi begitu santun. Tak ada suara sirine yang meraung-raung. Pengawalnya, baik yang di sepeda motor maupun mobil, selalu memberi tanda jempol dengan senyum ramah, meminta izin dan berterima kasih kepada pengguna jalan lain karena sudah memberi presiden jalan. Berbeda dengan calon presiden yang satunya. Para pengawalnya bahkan dengan seenaknya memotong jalan sambil membentak pengendara lain untuk pelan atau minggir. Mereka tidak peduli akan risiko keselamatan orang lain.”

Bayangkan, komunikasi nonverbal seperti ini saja bisa menjadi parameter sebuah keputusan untuk memilihnya atau tidak.

Lalu lihat juga cara Jokowi ketika bertemu dengan masyarakat, dan ada yang meminta foto bersama dengannya. Jokowi justru sigap mengambil HP warga tersebut, dan, layaknya teman, ia memotret diri serta warga tersebut dalam pose wefie. Ini merupakan cara nonverbal seorang Jokowi memanfaatkan indra kinestetiknya dalam menciptakan kalibrasi agar berada dalam frekuensi yang sama dengan audiensnya.

Behavioral Flexibility

Jokowi memiliki cara dan siasat yang lebih dari satu untuk mencapai tujuannya. Banyak jalan menuju Roma. Pemikirannya multidimensional, mencapai sesuatu dari berbagai arah, dan ia jalani dengan sangat fleksibel. Misalnya dalam penyelesaian penolakan relokasi pedagang kaki lima Banjarsari. Jokowi menggunakan tiga pintu. Yang pertama pintu kelompok, para pemimpin organisasi pedagang kaki lima setempat diajak bertemu. Yang kedua, pintu personal, setiap individu dari para penentang yang keras dan militan diajak bertemu secara empat mata. Yang ketiga pintu intervensi sosial, melibatkan orang banyak. Inilah strategi behavioral flexibility. Kegagalan ketika melakukan satu langkah strategi dipandang sebagai sebuah keberhasilan dalam mendapatkan data valid, sehingga ia memiliki amunisi penuh untuk mencoba strategi yang lain. Dan begitu seterusnya.

Sikap seperti ini jelas membentuk sosok Jokowi sebagai pribadi kuat yang memiliki mindset positif dan mental juara. Sikap Jokowi sangat selaras dengan asumsi NLP, “If any system, the person with the most flexibility will control the system.”

*

Sikap Jokowi di atas adalah pola yang terkonsep. Dan ini dilakukan dengan organik, alamiah, tidak dibuat-buat. Saya memandangnya dari kerangka NLP, tapi Jokowi sendiri menyebutnya sebagai “pendekatan budaya”.

Saya coba “menjelajahi” pemikiran Jokowi, lewat pola script yang saya buat dan sodorkan kepadanya, dengan prinsip NLP yang sangat kental. Seyogianya, iklan pada umumnya adalah secara verbal berisi call to action, mengajak orang untuk mencoblosnya secara langsung. Namun, script saya susun dengan indirect call to action. Tidak ada ajakan untuk mencoblos Jokowi. Tidak ada nama dirinya dan nama wakil presidennya. Tidak ada kata yang menyebutkan kelebihan-kelebihannya. Script disusun senetral mungkin, hanya sebagai seruan kepada generasi milenial untuk bergerak memilih siapa pun yang terbaik, seperti yang seharusnya.

Saya sama sekali tidak membuat alternatif script, hanya itu satu-satunya. Saya berpikir, jika Jokowi memang betul memahami prinsip-prinsip mind technology ala NLP dalam proses komunikasinya, ia akan menerima script ini tanpa pikir lagi. Dan apa yang terjadi?

Ia langsung action menghafal dan mengucapkannya di depan kamera. Hanya 1 kata yang ia ganti. Kata “unfaedah”, yang walaupun saat itu sedang menjadi tren di kalangan milenial, ia minta izin untuk diganti dengan kata “tidak bermanfaat”. Saya sangat memahami.

Berikut script asli dan lengkapnya, sebelum Jokowi ucapkan di depan kamera:

Adik-adikku,

Golput itu unfaedah banget.

Negeri ini, kendaraan yang harus

dikemudikan oleh orang-orang BAIK.

Saya yakin, kalian tahu mana yang terBAIK.

Karena itu, pada tanggal 17 April, dengan GEMBIRA,

BUKA MATA, BUKA HATI, BUKA PIKIRAN,

dan PILIH yang jelas lebih BAIK.

Script ini ditayangkan pada masa terakhir kampanye untuk mengunci  pesan tetap terisi di kepala audiens di masa tenang, hingga audiens action pada 17 April, tepat di hari pemilihan.

Di dalamnya ada metafora bahwa negeri ini ibarat kendaraan yang harus dikemudikan oleh orang baik. Lalu ada teknik transderivational searching (pencarian memori atas internal diri), dengan trigger kata kunci “baik”, di mana kata “baik” ini sudah identik dengan kontestan tertentu, baik dalam algoritma ala Google Trend maupun algoritma memori audiens. Kemudian, pesan ini diakhiri dengan teknik yang sangat krusial, metode presuposisi, yaitu asumsi bahwa sesuatu akan terjadi di waktu tertentu, di ruang tertentu, dengan keadaan tertentu.

Presuposisi ini yang menggiring pikiran dan tubuh seseorang untuk mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Bahwa “Pada tanggal 17 April, dengan gembira, buka mata, buka hati, buka pikiran, dan pilih yang jelas lebih baik.”

***

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.