RAMIN

Seandainya manusia lebih mengerti bahasa pohon..

RAMIN

04.15 WIB

"kebakaran.. Kebakaran.." gaduh suara dari kejauhan terdengar, tidak hanya dari satu sumber. Hari masih begitu dini, fajar pun belum juga muncul.

"Bagaimana mungkin ada kebakaran sepagi ini, siapa lagi yang memulai bara kali ini?!" Batinku

Dari jauh terlihat pendar-pendar kemerahan, dengan nyala terang di bagian bawahnya. Memang nampak masih sangat jauh, tapi pada situasi seperti ini tentu kita tak boleh tenang-tenang saja. Siapa yang berani menjamin api tidak sampai sini dengan cepat.

Segera kucolek Ramin yang kebetulan berdiam tak jauh dari ku.
"hey min, kau dengar suara tadi tak? Kau tak was-was api bisa menjalar sampai sini?" lirihku, berusaha tak membangunkan yang lain.

Tak ada respon, rupanya Ramin masih terlelap.

"ramin!" pekikku lebih tinggi.

Yang dipanggil gelagapan " ada apa sih rea?" serunya. "kau tak tahu ini jam berapa?!"

"gawat min, suara yg semalam kita dengar tadi terdengar lagi. Nampaknya api sudah mulai mendekat."

Entah mengapa serta merta aku dihinggapi rasa panik, pikiranku penuh dengan bayangan tak mengenakkan.

Ramin menyipitkan mata, menatap pada titik merah di kejauhan. Kepulan asap membumbung tinggi, gelap menutup langit. "huft!" Ia menghembuskan nafasnya, lesu.

"apalagi yang bisa kita lakukan Rea selain pasrah, kita tak dapat pindah kemana-mana, kita lahir disini, bila pun mati akan mati disini jua. Rasanya lebih baik kalau api itu datang saat kita tidur lelap" raut muka ramin langsung berubah muram, membuatku menyesal telah membangunkannya.
Titik panas terlihat melebar tak terkendali, dan di antara kesunyian pagi, tiba-tiba suara Ramin muncul, dia membacakan puisi.

Ternyata penduduk kampung banyak juga yang mendengar suara tadi, mereka tak ada yang mau melanjutkan tidur, demi memantau pergerakan api. Raut muka mereka penuh tanda tanya. Kebakaran hutan terjadi lagi, entah yang keberapa kami lupa.

05.40 WIB
 

Berita kematian membuatku takut,
Hatiku kalut, pikiran terbayangi maut,
khawatir giliran akarku tercerabut.
Oh, di dunia ini sungguh tak ada yang absolut,
pada saatnya semua akan kembali pada sang Pemberi hidup.


Cukup mengejutkan, tapi bukan sesuatu yang baru bagi kami. Begitulah Ramin, tiap kali emosinya tergugah, dia akan melampiaskannya dengan berpuisi, dan setiap tahun di musim panas dia seperti mendapat pemicu untuk mengumandangkan syair-syair recehnya, yang pada akhirnya membuat kami se kampung galau tahunan.

"Rea, kau tahu orang yang memantik api di lahan, yang sudah semena-semena terhadap penghuni hutan ini. Mana pernah mereka meminta maaf terhadap hewan dan tanaman?! justru mereka selalu mengulangi perbuatannya. Jenis manusia tak tahu diri, sudah banyak diuntungkan, bukannya berterimakasih malah berulah." gumamnya kesal.

"tanaman dan hewan juga berhak mendapat permintaan maaf kah min?!" tanyaku polos.

"lho, kok malah dipertanyakan. Tentu berhak dong, sama-sama makhluk hidup kok"

"konon katanya" dia melanjutkan, "semakin tinggi ilmu dan keimanan seseorang terlihat dari cara dia berinteraksi dengan sesamanya, dan cara dia memperlakukan hewan juga tanaman. Kau dengar kisah nabi-nabi umat manusia itu, mereka pecinta perdamaian, tidak hanya berdamai dengan sesama manusia, tetapi juga ramah tamah terhadap binatang, dan tidak pernah merusak tanaman. Sesederhana itu sebenarnya cara hidup, cuma kita ini seringkali lupa."

Ramin terus berceloteh ini itu sambil sesekali diselingi puisi. Aku tahu dia sedang menutupi kecemasannya. Dia bercerita soal penggundulan hutan, hilangnya 12 juta hektar pohon di hutan tropis di seluruh dunia tahun lalu, soal ulah nakal beberapa korporasi terkait kebakaran hutan, dan terakhir soal pemerintah setempat yang katanya kenyang dengan suap, ups!. Aku tak tahu dia mendapat kabar ini dari mana. Yang aku tahu dia itu sosok yang supel dan suka sekali mengobrol dengan banyak pihak.

Mendengar ocehannya tadi membuatku semakin kagum padanya, ternyata pengetahuannya luas, tak melulu soal nenek buyut tanaman, soal kondisi masyarakat Indonesia yang sekarang pun dia paham.

Mengulik sedikit tentang Ramin, dia termasuk pohon senior di kampung kami, hidupnya lebih lama dariku. Ramin merupakan tanaman asli Indonesia yang saat ini berstatus langka. Nama bekennya Gonystylus Bancanus. Jenisnya banyak yang menjadi korban pembalakan liar. Karena pohon ramin memiliki nilai jual tinggi, tekstur kayunya halus dan coraknya indah.

Sementara aku, jenis tanaman Meranti. Namaku Shorea Pauciflora.

07.00 WIB

Pada jam segini hutan seharusnya sudah terang benderang, disinari mentari yang masuk di sela-sela ranting dan dedaunan, kemudian akan muncul bayang-bayang menjulang para pepohonan. Pada detik ini biasanya kami bersantai melakukan sunbathing, menjalani proses fotosistesis. Namun tidak kali ini, hari ini suasana suram sekali.

Sumber petaka semakin mendekat.

Tak butuh waktu lama, perkampungan kami diselimuti asap tebal, dan pandangan kami mulai terganggu oleh kabut, tak ada info terbaru mengenai keadaan kampung tetangga. Pikiran kami hanya mampu menerka-nerka, apa yang akan terjadi di menit-menit ke depan.

Rerumputan yg diselimuti embun pun turut terlibas dalan serangan si merah. Api seakan menjalar begitu cepat, cuaca yang kering dan hembusan angin membuat gelombang panas semakin membesar, pendar merah semakin nyata terlihat. Hewan-hewan hutan meraung-raung dari penjuru arah, membuat suasana semakin mencekam, sebagian terlihat lari terbirit-birit ke arah kami, dan lewat begitu saja. Perasaan kami semakin tak karuan.

Ramin bukannya sibuk berzikir atau berdoa, dia malah makin nyaring mendeklamasikan puisi-puisinya. Seolah rentetan bait syairnya mampu meredam api.

Hidup ini memiliki pola tebar-tuai hai kawan,
Yang menzalimi pada akhirnya akan dizalimi,
Yang membantu suatu saat akan dibantu,
Keserakahan akan bertemu kerugian,
Kesyukuran akan menjemput kelimpahan.


Kami mulai merasa terganggu dengan suaranya, disaat suasana kacau balau, dan kami butuh kekhusyukan untuk berdoa, suara Ramin sungguh sangat mengusik.

Tapi di lain sisi, kami memahami kekalutannya. Dia adalah pohon tertinggi di kampung kami. Akarnya menjalar kemana-mana, bahkan ke bagian terluar kampung, dan nanti saat api itu masuk ke kampung kami, akar Raminlah yang akan terlalap duluan. Dialah benteng kami disini.

08.20 WIB

Di saat bara-bara api semakin merapat, tak jauh dari tempat kami terlihat beberapa orang menyemprotkan pipa air ke titik-titik panas, selang beberapa menit kemudian dua helikoper melintas, lalu guyuran air turun dari atas. Rupanya mereka menggunakan water bomb.

Sebagian dari kami bersorak bahagia, melihat bantuan, seolah ada harapan. Namun tidak denganku. Aku tahu api itu tidak mudah dipadamkan.

Kupejamkan mata, mencoba mengosongkan beban dan kepanikan, bersiap menerima apapun nasib yang menimpaku kemudian, sambil terus merapal zikir, memanggil Tuhan. Suara Ramin tak lagi terdengar, mungkin dia juga sama pasrahnya denganku.

Beberapa menit berlalu, dan aku masih belum mau membuka mata, hatiku tidak siap menyaksikan kengerian yang berlangsung.

Sampai akhirnya terdengar satu suara,
"api berhasil padam!" ujarnya.

Kubernikan diri membuka mata, melihat sekeliling. Memang benar, tak ada lagi titik-titik api yang menyala, yang ada hanya abu dan bongkahan-bongkahan hitam bekas kebakaran. Aku berucap syukur.

Sorak-sorai yang sebelumnya terdengar tiba-tiba berhenti. Suasana menjadi sepi, semua seolah mengheningkan cipta, dan aku mulai merasa ada yang aneh.

08.40 WIB

Ramin, sahabatku dinyatakan meninggal dunia, dia kami temukan berdiri tak bernyawa, Sebagian tubuhnya terbakar, sebagian lagi terkulai, hanya tinggal menunggu waktu untuk rubuh.

Saat menyadari hal itu tubuhku langsung lemas, beberapa lembar daunku gugur, tangisku pecah tak terbendung lagi, sulit mempercayai kenyataan bahwa dia telah kembali keharibaan-Nya.

"Ramin.. ramin.." aku tersedu-sedu memanggil namanya. Kawan-kawan lainnya menunduk layu.

Tidak hanya aku yang merasa kehilangan. Kampung kami dirundung duka mendalam. Ramin menempati ruang istimewa di hati kami.

Kenangan-kenangan tentangnya mendadak muncul di memoriku. Tentang dia yang mencetuskan nama panggilanku, dia yang mengajariku banyak hal, terutama perihal nutrisi tanaman dan hama. Sungguh sangat disayangkan kepergiannya, mengingat dia termasuk tanaman langka.

Terngiang puisi terakhir Ramin yang sempat kami dengar pelan:

Beri kami juga kesempatan hidup panjang.
Bumi tak hanya tempat manusia mengumpulkan uang.
Hak satwa dan fauna juga tak boleh diacuhkan.
Bukankah kalian mengambil manfaat dari keberlangsungan hutan?!
Mari hidup berimbang, berdampingan, sebagai makhluk yang saling membutuhkan.
Jangan jadikan hutan kami sebagai perabuan.


Walau sebagian besar kami dapat terselamatkan, namun kami tak tahu nasib kami tahun depan.

Sesungguhnya tak hanya tentang kami, golongan hewan pun risau dengan habitat dan keberadaan mereka. Sehari setelah serangan api ke kampung sini, terdengar selentingan bahwa banyak ular dan tikus mati terbujur kaku diantara reruntuhan kayu. Sementara banyak orang utan mengalami gangguan pernapasan. Asap masih menyelimuti sebagian tempat, bahkan sampai ke negeri tetangga. Sungguh ironis sekali kondisi ini.

Bila tiap tahun terjadi begini, kami pun tak ada semangat hidup, tak ada semangat bertumbuh. Bagaimana mungkin kami mampu menjadi jantung kehidupan dunia bila kehidupan kami tidak lagi dihargai.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.