Tulisan Nisa

Tulisan Nisa

Masih terlihat di lantai teras bekas hujan deras semalam. Menggelayut embun di pucuk-pucuk daun sebening pualam. Semesta mulai mengeluarkan nyanyian merdu aneka ragam. Kokok ayam, nyanyian burung, gesekan daun-daun bambu di pinggir kolam. Berpadu dengan suara minyak panas mendesis mematangkan gorengan ayam. 

Sinar matahari mulai menembus rimbunnya daun rambutan. Panasnya memang belum menebar kehangatan. Angin sejuk membelai tengkuk dengan perlahan. Membagikan aroma tanah seusai hujan. 

Kembang teh dalam gelas kusiram air panas. Kucelupkan gula aren sebesar ibu jari yang langsung amblas ke dasar gelas. Menghadapi hari-hari penuh rutinitas, sarapanpun harus bergegas. Namun semua kujalani dengan ikhlas. Mendustai nikmat Allah bagiku perilaku yang tak pantas.

Setelah ayahnya anak-anak pensiun, pagi selalu ia buka dengan duduk-duduk di teras belakang. Menghadap ke kebun kecil yang dipenuhi aneka tanaman sejauh mata memandang. Buah tomat yang merahnya menantang. Ranumnya pepaya yang tak lama lagi akan matang.

Apakah ia masih laki-laki yang sama? Yang dulu mengejarku hanya untuk mengutarakan cinta? Belakangan ini aku sering menduga-duga. 

::

Tulisan itu kubaca di buku catatan belanjanya. Dibawah catatan belanja harian, Nisa istriku selalu menuliskan sesuatu yang menjadi perhatiannya. Diam-diam rupanya ia mengikuti kelas menulis berbiaya serelanya. Nisa yang cenderung pendiam dan kurang pandai bergaul, kini semakin tenggelam dalam tulisan-tulisannya. Semakin lihai dalam menata kata. Bukan hanya di atas kertas tapi juga ketika sedang berbicara. 

Seminggu yang lalu ketika Nisa sedang pergi berbelanja, gawaiku bersuara. Segera kuangkat dan terdengarlah sapaan manja. Itu suara Eni seorang teman lama. Teman sejak kecil tapi kini sudah jadi teman tapi mesra. Tadinya padaku Nisa selalu percaya. Tapi lama-lama ia tahu juga. 

"Hai, lagi ngapain yang? Aku ingin kasih tahu sesuatu." jelas Eni.

"Apa?" Tanyaku penasaran.

"Baca WAku yaa... istri kamu sekarang udah pinter ngomong. Udah berani kurang ajar sama aku."

"Ah, masa iya?" Sahutku.

"Iya! Makanya aku screenshot chatku sama dia terus aku kirim ke kamu. Baca aja kalau nggak percaya." Ujarnya agak kesal.

WA kubaca. Awalnya Eni duluan yang sengaja memamerkan obrolan mesranya denganku di WA. Tujuannya ingin memanas-manasi Nisa. Aku agak kesal juga. Tapi tak kuduga jawaban dari Nisa begitu elegan dan mengena. 

"Oh, nggak apa-apa. Dengan mbak Eni, suami saya hanya bisa sebatas chat mesra. Mbak nggak pernah tahu apakah itu tulus atau pura-pura. Dengan saya, kami bisa melakukan semua. Semua yang tak bisa mbak lakukan ketika sedang mojok berdua."

Aku terkesima. Terkejut dengan respon Nisa yang tidak biasa. Biasanya marah dan mengamuk membabi buta. Tapi kini ia mampu menguasai emosinya. Kulanjutkan lagi membaca.

"Kamu jaga dan urus Oki dengan benar. Supaya dia tidak cari perempuan di luar." Eni membalas.

"Baiklah. Saya akan mengurus suami dengan lebih baik lagi. Sedangkan sebagai teman lama yang usianya lebih tua dari suami, bantu saya mengingatkan supaya dia tidak cari perempuan di luar."

Makjleb. Aku merasa ditikam tepat di jantung. Kata-kata Nisa mengalir seperti arus air yang tak terbendung. Perdebatan ini masih bersambung.

"Kamu itu istri yang durhaka sama suami. Oki bilang kamu itu tukang pacaran sama laki orang." Eni jelas tersudut dan mengeluarkan kata-kata yang semakin kacau.

"Lhaa... mbak Eni ngapain macarin laki saya?"

Skakmat. Eni tak langsung menjawab. Sempat diam sekitar sepuluh menit. Sebelum akhirnya mencoba berkelit.

"Hey... suami kamu yang telpon duluan ingin curhat. Bagi saya, kalau ada suami yang ingin curhat, pasti ada yang nggak beres dengan istrinya."

"Itulah bedanya mbak dengan saya. Saya paling nggak mau mojok berduaan dengan suami orang untuk mendengarkan curhatannya. Saya terlalu pintar untuk tidak begitu saja percaya omongan orang. Lagian laki koq curhat...!" Balas Nisa.

Oh, Tuhan... aku merasa tertampar. Harga diriku jauh terlempar. Tapi di mataku Nisa semakin cetar. 

"Banyak koq laki orang yang curhat sama saya tapi saya nggak pernah naroh hati!" Sekali lagi Eni berkelit berusaha mencari pembenaran.

"Aduh mbak... masalahnya bukan mbak ngga naroh hati. Tapi mojok duaan sama suami orang ganti-ganti di dunia maya atau nyata itu mendekati maksiat. Mbak boleh tanya sama orang tua mbak." Jawaban Nisa kembali telak menampar Eni dan juga aku.

Nisa benar. Bagi Eni apa yang istriku sampaikan pasti bagai racun yang menjalar. Aku membayangkan wajah Eni yang kebingungan mencari kata-kata penawar. Amarahnya pasti berkobar. Rasa malunya tentu sulit dibakar. Maka jawaban terakhirnya adalah "terserah kamulah...! Pokoknya jangan ganggu saya lagi."

"Bukannya mbak duluan yang ngajak chat saya?"

Nisa mengakhiri perdebatan dengan sebuah pertanyaan. Aku penasaran. Siapa guru kelas menulis Nisa yang telah mengajarinya merangkai kata dan membuat Nisa memiliki keberanian. Keberanian untuk membela diri dengan jawaban yang bagi Eni terasa merendahkan. 

Ternyata Eni tak sebagus Nisa. Istriku yang setia kini bukan hanya pandai merangkai kata. Tapi juga ahli dalam bekerja. Mataku lebih terbuka. Aku banyak berdusta. Menceritakan pada Eni tentang kekurangan Nisa. Padahal aku juga punya banyak kelemahan. Tapi Nisa yang selalu menguatkan. Eni bukan solusi, ia harus kutinggalkan. 

:: 

Sudah seminggu aku tak berkomunikasi dengan Eni. Telpon darinya juga kudiamkan sampai deringnya mati sendiri. Tanpa kubaca kuhapus semua WA dari Eni. Ia pasti sakit hati sekali. Aku baru saja membaca tulisan Nisa di buku catatan belanja hari ini. Istriku memang benar-benar wonder woman sejati. Wanita yang mandiri. 

"Badai telah berlalu. Namun jika datang lagi, aku ingin suamiku keluar dari rumah dan pindah ke rumah perempuan tua yang tak tahu malu itu. Aku tak keberatan. Daripada selalu ngumpet-ngumpet di belakangku." 

Oh, Nisa... tak akan. Pemandangan indah kebun belakang rumah tak mungkin kutinggalkan. Aku, Nisa dan anak-anak tak akan terpisahkan. Itu janjiku pada Tuhan. Hingga maut memisahkan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.