A SKY FULL OF STAR

Kritik arsitektural, psikologis, keberadaan kita manusia dan sejarah ribuan tahun lalu di bawah langit dan bintang malam

A SKY FULL OF STAR

'Cause you're a sky, you're a sky full of stars
Such a heavenly view
You're such a heavenly view
Yeah, yeah, yeah, ooh'

- A Sky Full of Star, song by Coldplay -

Atap, tentu kita semua tau apa fungsinya ini, yang pasti bukan tempat untuk meratap ataupun melakukan kirab - latihan baris-berbaris untuk sebuah peragaan tertentu.

Dahulu di jaman purba, nenek moyang kita hanya beratapkan bintang-bintang saat tidur. Karenanya meski daya pikir mereka belum semaju kita tapi mereka mampu mencipta legenda dan dongeng besar tentang bintang-bintang ataupun penguasanya - dewa-dewi. 

Bayangkan, beratus-ratus tahun lampau, nenek moyang kita tidur di padang belantara sambil memandangi langit dan menceritakan kisah-kisah besar tersebut. Dengan mudah mereka menunjuk satu bintang ke bintang lain, sepanjang malam mereka akan berkumpul bersama dan berbagi cerita tentang benda-benda langit yang tiap malam mereka lihat tersebut.

Perlahan saat manusia mulai berpikir tentang kenyamanan dan ketahanan hidup, atap mereka bergeser menjadi benda-benda alam yang mereka temui entah itu ranting, daun /pohon, bebatuan besar dan gua . Dan sejauh ini, perkembangan atap dimotivasi oleh keinginan untuk terlindungi dari cuaca tertentu entah itu terik matahari atau hujan.

Tapi seiring waktu, atap bisa jadi merupakan awal mula manusia mengenal pembagian ruang. Kini tak ada lagi unity antara alam-manusia, atap menjadi batas semu diantara mereka. Dan batas semu ini secara tak langsung memberikan dampak psikologis dalam diri mereka dimana manusia secara sadar memisahkan ruang atas dan bawah, luar dan dalam. 

Ada batasan yang mereka ciptakan dan perlahan, batasan ini makin menguat. Atap berevolusi menjadi lebih solid, kuat dan bahkan hi-tech. Dan hadirnya atap saat ini bisa dikaitkan dengan fungsi sosialnya yang melebihi fungsi praktikalnya, menginspirasi terbentuknya 'atap-atap' dalam bentuk yang  mengarah secara horizontal atau yang kita kenal sebagai dinding.

Jika manusia mampu menciptakan ruang privasinya dari alam lewat atap, mengapa pula mereka tak bisa menciptakan ruang pribadinya terhadap sesamanya lewat dinding. Jadilah atap, jadilah dinding, itulah babak besar keterpisahan kita. Hanya saja apa yang mulanya baik ini, telah berubah menjadi 'kurungan' yang memisahkan satu keluarga dengan keluarga lain bahkan antar anggota keluarga tersebut, tak percaya? Mari teruskan membaca.

Kini, atap serta turunannya (dinding) telah mengoyak unity yang dibangun dalam kebersamaan di padang belantara ratusan atau ribuan tahun lampau. Ruangan dalam sebuah rumah terbagi-bagi menjadi kamar ayah-ibu, anak, pembantu, supir dan lain-lain. Bahkan kita mengenal adanya ruang pribadi (private space) dalam sebuah keluarga dimana anggota keluarga lain tak bisa sembarang masuk. 

Yes, everbody needs a personal space tapi masalahnya ruang-ruang ini malah dipakai untuk melegalitaskan keinginan memisahkan diri secara personal - anti sosial - dengan anggota keluarga lain, bahkan lingkungan sekitar. Semakin kesini, bersamaan dengan makin kuatnya atap yang memisahkan kita dari alam - bukan melindungi lagi, maka manusiapun makin kuat membentuk space-space dan batasan antar mereka.

Atap yang bergeser menjadi simbol pembatas semu dan mewujud dalam bentuk dinding telah mengatur jarak yang semakin lebar lagi di masa digital ini. Sadar ngga, di masa ini, meskipun kita tinggal seatap tapi tak merasa seatap. Seolah ayah-ibu punya atap sendiri di kamarnya, anak juga punya atap sendiri di kamarnya, demikian juga yang lain. Kita sebut saja ini atap individu yang membagi sebuah rumah menjadi rumah-rumah kecil di dalam rumah.

Mereka tak perlu berpindah atap atau berkumpul di atap kebersamaan - yang dalam hal ini direpresentasikan oleh ruang meja makan atau living room biasanya - karena mereka bisa asik sendiri dibawah atap individunya masing-masing sambil menemukan 'bintang-bintang' lewat sebuah layar kecil yaitu HP. Bahkan sambil tiduran menghadap ke arah langit-langit rumah mereka seperti manusia purba pada jaman dahulu meski berbeda. Kenapa berbeda? Karena mereka hanya menghadap bukan melihat, sebab yang dilihat adalah layar HP-nya.

Kisah-kisah besar yang dulu diceritakan dalam kebersamaan malam hari di tengah padang belantara, telah berganti menjadi milyaran kisah-kisah entah besar, kecil, berkualitas, murahan, fakta atau hoax di dalam layar HP tersebut.

Atap telah bermetamorfosis dari sekedar alat pelindung terhadap cuaca lalu menjadi banyak hal mulai dari:

1. Pembatas semu secara sosial yang menginspirasi lahirnya pemisah secara horisontal yaitu dinding.

2. Penunjuk status sosial seseorang atau keluarga di bawah naungannya. Lihat saja ukiran megah karya seni baroque diatas atap, atap yang terbuat dari kaca tebal atau atap yang bisa buka tutup di rumah-rumah orang berpunya. Pada tahun 70-80an, kalo kita ingin tahu orang tersebut termasuk orang berpunya atau tidak di Jakarta, biasanya kita lihat di atap rumahnya ada parabolanya atau ngga.

3. Pemanis dan pendukung rumah tersebut misalnya saja atap yang dipasangi skylight dimana selain faktor estetis juga faktor kesehatan.

Dan banyak ragam fungsi lainnya yang bisa digali. Namun fungsi terkuatnya di masa kini justru jadi pemisah kita dengan alam seperti halnya dinding. Tak ada lagi  malam berbintang seperti yang ditatap oleh nenek moyang kita secara bersama-sama dengan penuh kekaguman ditambah perasaan merasa kecil di hadapan semesta yang luas.

Apakah itu sebabnya kita seringkali merasa kesepian dan merasa jumawa dengan pengetahuan yang kita miliki, kita telah kehilangan rasa kebersamaan dan rasa kecil diri  seperti saat mengagumi jejeran bintang-bintang di malam tak beratap.

Tulisan ini hanya ingin menyadarkan kita bahwa bagaimanapun juga kita adalah mahluk alam sekuat apapun kapitalisme dan modernitas ini memisahkan kita darinya. Yah, sekuat apapun atap-atap pribadi itu.

Dan segila apapun kita pada gadget dan teknologi, ada masanya kita akan merasa enough is enough dan mulai menemukan alam sebagai healing sejati kita, bukan sekedar obyek foto instagram atau pengisi konten sosmed kita, tapi benar-benar kita menemukan kembali kekaguman pada bintang di langit sana bersama hangatnya kebersamaan di malam yang dingin.

Jadi, temukanlah kembali kisah para bintang wahai anak-anak bintang karena kita akan pulang kembali kesana, ke tempat asal kita. Di antara bintang-bintang, di garis-garis galaksi, di bintang jatuh yang melewati atap rumahmu, make a wish now!

"There is stardust in your veins. We are literally, ultimately children of the star"- Jocelyn Bell Burner.

Ditulis: Yohanes Gatot Subroto (y.g.s , 31 Juli 2022)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.