Aku Tak (Mau) Bersalah

Aku Tak (Mau) Bersalah
Image by pixabay.com

Cepat atau lambat aku dan kamu harus ambil keputusan bahwa kita sama-sama berani ambil sikap untuk menghentikan drama kesenangan lalu menjalani kehidupan baru yang lebih baik.

 

Tak seorangpun dapat menjamin bahwa kelak aku dan kamu akan lebih baik, namun tak seorangpun juga dapat menjamin bahwa aku dan kamu akan jauh berantakan.

 

Aku punya mimpi, pun dengan kamu. Aku tidak terpuji, pun dengan kamu. Namun saat kita sama-sama tahu bahwa kita sudah tak bisa saling lepaskan, maka pilihanmu adalah denganku atau dengannya.

 

“Bram, aku terlalu takut mengiyakan. Biar aku ikuti alurnya.”
“Mau sampai kapan kamu tersiksa?. Mau sampai kapan kamu minta aku menunggu?”
“Aku tak minta kamu tunggu aku Bram. Kamu bebas berjalan. Kamu bebas memlih. Aku ini calon Janda, bukan perempuan yang baik. Ibumu pasti tidak suka denganku.”
“Tapi aku suka denganmu.”
“Aku tidak mau menikah sama kamu saja Bram.”

 

Kutinggalkan Dru. Kesal dan tak habis pikir. Kok ada perempuan yang sudah terinjak-injak tetap memilih bertahan dengan alasan takut sama Tuhan. Kok ada perempuan yang sudah habis-habisan berjuang, tetap berdiri tegak dengan alasan berteriak bukan keputusan yang bijak.

Ah Dru, tak beranikah kau untuk pahami aku bahwa akulah yang akan melindungimu kelak. Persetan dengan status jandamu nanti, yang aku tahu kamu layak untuk aku temani.

 

“Bro, gue ga enak badan. Gue pulang lebih cepat ya!”
“Eh Bram enak aja lo. Meeting woy jam tiga nanti.”
“Lu aja yang ganti, gue pusing.”

 

Pembicaraan dengan Dru sangat menyita pikiranku. Aku yang begitu menyayangi Dru seolah ditolak mentah-mentah.  Terlalu picik pikiran Dru. Seakan dunia runtuh saat label janda dia dapatkan.

Bukankah jalan Tuhan tak pernah ada yang tahu, jika Hario bukan orang yang tepat maka dapat dipastikan Hario tak lebih dari sebuah halte yang harus Dru lewati namun bukan dari akhir perjalanan Dru.

Ah Dru pahamilah sedikit, bahwa kau adalah perempuan tangguh yang layak untuk diberi cinta.

 

Ada pesan di Hang Out ku.

“Bram, aku mau ketemu. Temui aku di Kedai Kopi jam tiga sore ini.”
 

What? Jam tiga. Dru gila.

Mana bisa dalam waktu tiga puluh menit aku sampai di kedai sementara jalanan Fatmawati sangat padat siang ini.

Bukan saat yang tepat berdebat dengan Dru. Mau tak mau aku harus pake gojek.

 

“Gud, kamu datang tepat waktu.”
“Gila kamu, nyiksa ini namanya. Aku cuma mau pastikan bahwa aku tidak salah orang.”

“Hah maksudmu Dru?”

 

Kutatap lekat Dru, lingkaran hitam di matanya tak bisa sembunyikan sisa tangis yang masih Dru bawa.

Ingin rasanya aku peluk Dru lalu kucium keningnya dan aku bisikkan bahwa semua akan baik-baik saja karena ada aku di sisinya.

 

“Bram, pacarmu mana?”
“Ngaco kamu, pacar apaan sih?”
“Istrimu?”
“Hey, wooooy. Kamu minta aku datang kesini hanya untuk ribut Dru?”

“Iyalah untuk apalagi.”

“Ah sudahlah…”

 

Kutinggalkan Dru dengan segelas tubruk Sidikalang pesanan Dru.

 

“Aku sebats dulu. Pusing aku dengar Dru ngoceh.”

 

Sebat, sebat..berbat-bat.

 

Dru lagi kambuh nyebelinnya. Kalau bukan Dru perempuannya sudah aku tinggal dari tadi.

Tidak pernah paham alasanku menyukai Dru, karakter Dru yang meletup-letup tidak membuatku ingin menjauhi Dru, yang ada aku makin kehilangan Dru jika Dru hilang dari peredaranku sehari saja.

 

“Sudah berbat-batnya?”
“Hmmm.”
“Ditanya kok jawabnya hmmm. Kamu  marah sama aku Bram?”
“Masih perlu dijawab Dru?”

 

Kubiarkan Dru menatapku. Ah Dru tak adakah kata-kata yang pantas aku dengar dari bibir mungilmu?

 

“Aku ganteng. Ngaku aja deh kamu Dru.”
“Iya kamu ganteng, sayang kamu punya orang.”

“Kamu ga mau nyuri Dru?. Mangga sebelah kantor aja habis dibuat rujak olehmu, kenapa tak berani nyuri aku?”

“No, aku nda mau nyuri. Aku maunya mangganya lepas sendiri aja, baru setelah itu aku pungut.”

 

Kuresapi kata-kata Dru, jika mangganya lepas maka Dru mau pungut.

Ah Dru, tanpa kau tunggu waktu, kau sudah boleh pungut aku. Namun aku tak punya keberanian rupanya. Terlalu lemah seorang Bramantyo untuk mendeklarasikan keberadaanku sebenarnya.

 

“Bram aku mau ngomong.”
“Dari tadi kamu sudah berbusa Dru sayang.”
“No aku serius. Akum au tanya sesuatu.”
“Tanyalah Dru, bagian mana yang perlu kujelaskan?”

 

Sepertinya aku perlu memesan segelas tubruk lagi untuk Dru. Dru kalau sudah serius perlu habiskan dua gelas tubruk, satu gelas es kopi susu no sugar dan seporsi cireng mahal. Iya mahal isinya hanya empat harganya bisa lima puluh ribu. Padahal kalau beli di pasar bisa dapat lima puluh biji.

 

“Bram, aku paham denganmu. Aku yang saat ini berantakan tak ingin kau alami hal yang sama. Aku sejujurnya menaruh hati padamu. Namun dengan berat hati aku harus kubur dalam-dalam.”
“Pake nisan?”
“Bram aku serius.”
“Aku yang tidak mau serius.”

“Bram, kamu itu suka ga sih sama aku. Susah ya serius sama kamu. Nyesel aku undang kamu kesini.”
“Tidak usah kamu undang juga aku emang akan ke sini. La wong kedaiku kok.”
“Eiya lupa.”

 

Kukecup kening Dru dengan segala bisikan doa. Ah Dru seandainya kau tahu, bahwa kau tak bersalah jika kau mau denganku. Aku yang tak punya keberanian untuk membuatmu bahagia. Sekalipun niatku ingin melindungimu, namun rasanya kalau bukan Tuhan yang bekerja maka aku tak dapat lakukan apa-apa. Benar katamu Dru kala itu, aku hanya laki-laki lemah.

 

“Bram, aku dan kamu bersalah. Sekalipun aku sudah sendiri, namun aku menyukaimu jauh sebelum palu diketuk.”

 

Dan aku berani-beraninya luapkan rasa padamu sementara aku masih terikat pernikahan. Ah Dru, aku sayang sama kamu.


“Hey Bram, melamun saja kerjamu.”

“Enak aja, aku masih jadi manager di salah satu perusahaan swasta tak terkemuka di Jakarta Selatan.”

“Terus aku harus bilang wow gitu?”

 

Dru, seandainya kau tahu, bahwa cerita Tom benar adanya. Bahwa pernikahanku sangat datar. Bahwa aku menemukan kehidupanku lagi setelah sama kamu.

 

Iya aku berdosa telah menaruh hati padamu. Namun segala cara telah aku lakukan. Jawabnya tetap sama bahwa aku adalah untuk kau. Aku milikmu dan kamu milikku.

 

Pesan baru masuk ke emailku dan Dru. Hmm pasti soal pekerjaan. Karena berbunyi di saat yang bersamaan.

 

Subject email itu, Panggilan Sidang Mediasi.

 

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dru mengatakan hal yang sama saat Dru mengeja judul email yang dia terima.

 

Jika dunia mengabarkan, maka aku dan Dru akan dipersalahkan. Karena kami mulai hubungan terlarang.

Namun saat email ini masuk bersamaan, kami tak pernah menduga bahwa Nadya telah menggugat cerai Tom dengan alasan prinsip yang tidak bisa lagi ditolerir dan Hario menggugat cerai Dru dengan alasan Dru terlalu sibuk bekerja hingga mengabaika kepentingan anak dan suami.

 

Dalam hitungan detik kami saling bertatapan, mengucap syukur padaNya. Lalu saling panjatkan doa.

 

Ya Allah, ijinkan kami berjalan Bersama dan kau ikat dalam sebuah ikatan pernikahan, lalu ijinkan kami memperbaiki sega;la kehidupan kamu, dan Tuhan ampuni segala salah kami. Jangan biarkan kami mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama

 

See, jika manusia sudah tak bisa lagi berbuat banyak, maka ikhlas adalah kunciannya, Allah yang akan bekerja setelah itu.

 

Kamu perlu tahu, aku mencintaimu apa adanya.

 

#Bandung, 09 Juli 2010
 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.