BINCANG DALAM SECANGKIR TEH POCI

BINCANG DALAM SECANGKIR TEH POCI

Hidup merantau di tengah belantara kota metropolitan membuat aku sedikit banyaknya muak dengan masalah-masalah yang kerap dijumpai dan harus dihadapi sendirian, kadang ia bak pisau bermata dua yang harus dengan hati-hati ku pertimbangkan. Aku benci membuat pilihan, karena aku selalu saja merasa ceroboh dalam memutuskan sesuatu dan kemudian berujung penyesalan tak berkesudahan. Kabar buruknya, aku terlalu takut untuk bicara tentang apa yang selalu memenuhi dan menggelayuti kepala ku dengan orang lain, bahkan orang terdekatku sekali pun. Bagi ku, aku hanya akan membebani mereka dengan segala kekacauan isi kepala ku. Lagi pula, belum tentu mereka peduli kan?

Akhir-akhir ini Jakarta basah diguyur hujan, memaksaku untuk tetap berada di kamar indekos 3x3 ini, namun pikirku tak mau diam di tempat. Pasti ia selalu repot memikirkan apa saja yang kadang tak ku kehendaki. Agar membuat mereka berhenti bertanya-tanya, sebaiknya aku segera menarik selimut dan kembali membaca serial 5 sekawan yang belum habis ku baca dan kemudian larut dalam petualangan Julian dan teman-temannya.

Handphone ku berbunyi, ada 1 panggilan dari whatsapp masuk. Aku meliriknya sejenak, malas sekali rasanya untuk bicara pada petang yang terlalu dingin ini. Namun terpaksa ku meraihnya dari nakas karena menyadari panggilan masuk itu dari bapak. Ku jawab panggilan telepon itu dan mendengar suara bapak yang lembut menyapa.

Bapak memang begitu, seminggu bisa 3-5 kali menelepon untuk memastikan anak gadisnya baik-baik saja. Kemudian bergantian dengan ibu yang selalu membawa aneka cerita, mulai dari adik-adik yang katanya sudah rindu padaku sampai pohon rambutan yang sudah berbuah banyak. Begitulah ibu, senang sekali bercerita padaku tentang yang dialaminya dan aku menyimaknya dengan seksama. 30 menit sudah aku mendengar berbagai cerita ibu yang lompat-lompat.

Biasanya setelah di telepon ibu dan bapak, aku seperti dapat energi baru untuk melanjutkan aktifitasku yang tertunda. Memang sebetulnya kita hanya perlu berbincang dengan orang lain untuk meningkatkan mood dan melepas penat. Berkomunkasi dengan orang lain juga bisa menambah wawasan karena kita saling bertukar opini tentang banyak hal. Sayangnya, hal yang seharusnya mudah di lakukan ini nyatanya sering menjadi tantangan untuk sebagian orang, termasuk aku. Tapi aku selalu belajar mencari momen untuk menyampaikan pikiran ku pada orang lain, tips ini ku dapatkan dari bapak.

Bermula dari terakhir aku mengunjungi ibu dan bapak 2 bulan lalu di kampung halaman. Kebetulan aku pulang karena mendapat jatah libur panjang dari kantor untuk melepas penat dan mempersiapkan diri kembali untuk project dan event selanjutnya. Sebenarnya, pada liburan waktu itu aku merasa tidak nyaman, ada beberapa masalah yang agak rumit untuk di jelaskan. Tapi aku diam saja, berharap masalah itu lekas berlalu. Sebab itu lah, aku memilih kembali ke kampung halaman sejenak, menemui keluarga disana, melihat wajah-wajah riang adikku, dan mendengar cerita menarik dari ibu.

Rasanya menyenangkan sekali dapat berkumpul kembali bersama keluarga dan makan masakan ibu yang lezat. Hingga 2 minggu terasa sangat cepat, aku harus segera meninggalkan mereka dan kembali ke ibu kota. Perasaan sedih kembali menghantuiku, tapi ku biarkan saja. Nanti juga lupa, pikirku mengingat kesibukan yang menatiku.

Sebelum aku berangkat ke Jakarta, bapak mengajak ku duduk di halaman depan rumah. Semilir angin pagi yang dingin dan sejuk membelai tubuhku. Ibu datang membawa nampan berisi teko dan gelas dari tanah liat yang berisi teh poci panas, yakni teh beraroma melati pekat yang menenangkan. Ini bukan sembarang minum teh, ini memang sebuah tradisi dari kampung halaman kami, Tegal. Moci atau tradisi minum teh poci sebenarnya merupakan hasil dari simbiosis mutualisme antara pabrik teh dan gula yang ada di sini. Kedua pabrik tersebut telah ada sejak zaman penjajahan Belanda hingga kemudian pengrajin gerabah poci kian menjamur di kampung kami.

Perbedaan tradisi ngeteh ini ada pada penggunaan gulanya, jika orang-orang biasa minum teh dengan gula pasir maka tradisi moci menggunakan gula batu dan tentu saja menggunakan teko dan gelas dari tanah liat yang tidak di cuci. Masyarakat kami percaya kerak dalam poci mampu menambah aroma teh semakin nikmat. Uniknya lagi penikmat teh ini hanya dibolehkan menambahkan gula batu, tetapi tidak boleh mengaduknya.

Bapak tersenyum pada ku, lalu menghisap putung rokok kreteknya. Menghebusnya perlahan, lalu bertanya

                “Ada apa, nduk?”

Aku menarik napas dalam-dalam. Bapak merasakan ke khawatiran ku

                “Sebaiknya di ceritakan, nduk. Jangan nanti kamu bawa beban kesedihan”

Aku masih diam, meraih gelas berisi gula batu dan menuangkan teh panas dari teko. Bapak masih menghisap rokoknya.

Beberapa saat saling terdiam.

                “Kamu tau, nduk, kenapa tradisi moci pakai gula batu dan tidak boleh di aduk?” ucap bapak sembari menuang teh miliknya

                “Karena banyak pabrik gula batu di sini, pak dan tidak boleh di aduk karena tidak disediakan sendok” jawabku sekenanya sambil terkekeh

                “Bukan, bukan hanya itu. Teh melambangkan kehidupan yang mungkin terasa hambar bahkan pahit. Tapi dalam kehidupan yang di jalani, pasti ada kebahagiaan atau ‘manis’ yang akan kita rasakan, hanya perlu menunggu dan sabar, gulanya akan larut dan hidup akan semakin nikmat”

Aku mengagguk kecil,

                “Dan, tidak boleh di aduk karena supaya merasakan hidup ini memang pahit pada awalnya, tapi jika ingin bersabar maka kita akan mendapatkan manisnya. Gula dibiarkan larut dan menyebarkan manis dengan sendirinya. Seperti itu, nduk” ucap bapak panjang, kemudian menyeruput teh panas miliknya dengan nikmat.

                “Jadi, apa yang membuat senyum mu akhir-akhir ini pudar, nduk?” Bapak menagih ceritaku.

Kemudian aku dengan leluasa menceritakan semua keresahan ku pada bapak. Lega sekali rasanya bisa mengungkapkan yang selama ini ku pendam pada bapak, dan bapak tentu memberi solusi serta nasihat untuk bekal hidupku di Jakarta.

                “Nduk, semua masalah bisa di selesaikan, asal kamu mau bicara. Jangan takut untuk mengungkapkan. Selalu ada waktu yang tepat untuk bercerita dengan secangkir teh poci panas”

Lalu kami terkekeh bersama.

Begitulah bapak selalu memberikan aku pengalaman berharga meski hanya sekadar menciptakan momen untuk berkomunikasi

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.