[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #14

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #14

 

Empat Belas

Kembalinya Buah Cinta

 

 

Kelima anggota geng Buyar Kabeh berdiri berjajar dalam hening beberapa puluh sentimeter di belakang Taruno, Misty, dan Alma. Ketiga orang tengah duduk bersimpuh di depan makam Alda yang masih tergolong baru dan belum dirapikan. Belum genap empat puluh hari Alda pergi.

 

Matahari selewat pukul dua siang seolah mendukung suasana sendu itu dengan bersembunyi di balik awan kelabu. Taruno dan Misty membiarkan Alma menumpahkan semua perasaan sedihnya di dekat nisan Alda. Gadis muda itu menangis tersedu sambil mengusap-usap nisan mendiang kakak tunggalnya. Sesekali bibirnya berucap dengan getar suara yang nyaris tak terdengar, “Kakak.... Kakak....”

 

Suasana kelabu itu berlangsung hingga satu demi satu tetes hujan jatuh ke tanah. Dengan lembut Taruno dan Misty membujuk agar Alma mau meninggalkan tempat itu.

 

“Kita pulang, ya?” bisik Misty lembut. “Besok Ibu antar ke sini lagi.”

 

“Ya,” timpal Taruno dengan kelembutan yang sama. “Hujan sudah mulai turun. Kasihan teman-temanmu.

 

Sejenak kemudian Alma tersadar. Para sahabatnya memang sengaja ikut menjemputnya dari rumah sakit sepulang sekolah, sekaligus ikut mengantarnya ke makam sebelum pulang ke rumah. Rintik hujan pun mulai merapat. Dengan enggan, ia pun berdiri.

 

Mereka berdelapan berlari-lari kecil menuju mobil Taruno yang parkir di tepi jalan dekat blok makam Alda. Begitu mereka semua aman berada dalam SUV itu, hujan pun seolah dicurahkan dari langit. Alma menengok ke arah makam Alda begitu Taruno mulai melajukan mobilnya.

 

Kakak kehujanan. Pasti dingin banget di dalam sana.

 

Air matanya tumpah lagi. Riska dan Camelia yang duduk mengapitnya segera memeluk sang sahabat. Sementara itu, Dondit, Binno, dan Gamaliel yang biasanya tak pernah melewatkan pertemuan mereka dengan canda ria kini duduk dalam sunyi di jok paling belakang.

 

Riska dan Camelia tak mengatakan apa-apa. Hanya memberikan pelukan terhangat mereka. Justru hal itulah yang sebetulnya dibutuhkan Alma, sehingga ia pelan-pelan bisa menyusutkan tangisnya dan kembali tenang.

 

Mobil Taruno terus melaju membelah jalanan yang dijatuhi jutaan tetes hujan. Ketika makin dekat rumah, Misty menoleh ke belakang.

 

“Kalian belum makan, kan?” tanyanya. “Kita mampir makan sebentar, yuk!”

 

Segera terdengar kor sambutan yang membuat Misty dan Taruno sama-sama tertawa kecil. Setelah melalui perempatan, Taruno membelokkan mobilnya ke kiri, masuk ke area parkir sebuah restoran bernuansa tradisional. Hujan kini hanya menyisakan rintiknya saja. Mereka berdelapan segera masuk ke dalam ruang restoran itu.

 

* * *

 

Wilujeng menatap tiga buah kopor yang sudah berjajar rapi di sudut kamar. Ia baru saja memeriksa kembali isi tote bag-nya. Semua sudah lengkap. Dompet, paspor, aneka pernik kebutuhan dasarnya seperti alat rias, notes, pulpen, dan sebuah ponsel keluaran terbaru dari merk terkenal yang beberapa hari lalu dibelikan Mahesa. Wilujeng menarik napas lega.

 

Mahesa mengajaknya berlibur selama tiga minggu ke beberapa negara di Eropa, berangkat malam nanti. Wilujeng langsung antusias menyambutnya. Rasa-rasanya ia memang perlu berlibur sejenak. Dari tempatnya duduk di tepi ranjang di dalam kamar, ia mendengar Mahesa memberi wejangan kepada dua perjaka mereka di ruang duduk antara kamar mereka dan kamar-kamar si kembar.

 

“Kresna, tolong bantu Seta mengurus perusahaan. Ayah tahu kamu kurang berminat, tapi selama Ayah dan Ibu berlibur tak ada salahnya kamu bantu Seta. Dan kamu, Seta, bekerjalah dengan baik. Ayah bebaskan kamu untuk mengambil semua keputusan yang kamu anggap perlu. Tapi ingat, jangan sekali-sekali keputusanmu merugikan perusahaan dan melanggar hak karyawan.”

 

“Tapi janji, Ayah dan Ibu akan kembali.” Lirih suara Seta. Nyaris tak terdengar.

 

“Dengan seizin Tuhan, kami pasti kembali, Nak.”

 

Wilujeng mengerjapkan mata. Trauma itu rupanya masih tersisa. Tapi mereka berempat bersama-sama berusaha untuk meretasnya. Setelah menghela napas panjang, ia pun beranjak keluar dari kamar.

 

* * *

 

Kelima sahabat Alma segera berpamitan begitu mereka sampai di rumah. Mereka sepakat ingin memberi Alma ruang untuk menikmati saat-saat kembalinya sang sahabat itu ke rumah. Solikin segera mengambil alih SUV Taruno untuk mengantarkan kelimanya pulang ke rumah masing-masing.

 

“Besok pulang ekskul main ke sini lagi, ya!” seru Alma sambil melambaikan tangan ketika mobil itu mulai meluncur meninggalkan carport.

 

Kelima sahabatnya membalas dengan acungan jempol disambung lambaian tangan. Ketika mobilnya menghilang dari pandangan, Taruno segera merengkuh bahu Alma dan dengan lembut menghelanya masuk ke dalam rumah.

 

Pulang....

 

Sambil melangkah pelan-pelan, Alma menatap berkeliling. Rumahnya yang hangat penuh kasih sayang. Rumahnya yang teduh penuh kedamaian. Sebersit perasaan sesak begitu saja melanda hatinya.

 

Sayang Kakak sudah pergi.

 

Susah payah ia menahan air mata agar tak lagi mengalir keluar. Mereka sudah sampai di depan kamarnya, yang pintunya terbuka lebar. Ia melirik sejenak ke arah kiri. Ke arah sebuah pintu yang tertutup rapat. Kembali perasaan nelangsa menghinggapi hatinya. Misty paham perasaan itu. Dengan lembut, diremasnya bahu kiri sang putri.

 

“Kalau Ayah atau Ibu rindu pada kakakmu, kami menyepi sejenak di dalam kamar kakakmu,” bisik Misty. “Mungkin hal itu bisa membantumu juga. Yang jelas, kita semua harus bisa mengikhlaskan kepergian kakakmu. Sulit, tapi kita harus bisa.”

 

Alma mengangguk-angguk dengan mata mengaca. Sepertinya kali ini ia belum bisa menjenguk kamar kakaknya. Maka ia melangkah masuk ke kamarnya sendiri. Kembali ia menatap berkeliling.

 

Kamar bernuansa putih dan jingga cerah itu tetap terlihat sama seperti yang diingatnya. Hangat. Nyaman. Perlahan Alma mendekati ranjang, dan duduk di salah satu tepinya.

 

“Kamu istirahat dulu,” ujar Taruno. “Kalau sudah segar, itu di meja belajarmu ada fotokopian beberapa catatan pelajaran yang dibuatkan Camelia dan Dondit. Cobalah untuk mempelajarinya agar kamu bisa mengejar ketinggalan. Tapi tak perlu memaksa diri. Oke?”

 

Alma mengangguk patuh. Dokter Kana tadi mengatakan bahwa Senin depan ia sudah boleh kembali bersekolah. Masih agak di awal tahun ajaran baru. Beberapa hari yang lalu saat ia masih dirawat di rumah sakit, serombongan gurunya pun sudah datang menengok. Menjanjikan bantuan apa pun agar ia bisa secepatnya mengejar ketinggalan pelajaran.

 

Sepeninggal Taruno dan Misty yang tak lupa menutup pintu kamar dari luar, Alma beranjak dari tepi ranjang. Berpindah duduk di depan meja belajar. Diraihnya sebuah map bening berwarna biru muda yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut ketika mulai membuka dan membaca fotokopian catatan milik Camelia Dondit, yang memang sekelas dengannya.

 

Tak perlu memeras otak. Hanya dengan membaca saja ia sudah mengerti sepenuhnya isi catatan-catatan itu. Seolah ia sudah pernah mempelajari hal itu sebelumnya. Tapi dibacanya juga catatan-catatan itu hingga selesai. Pada lembar terakhir, ia menguap lebar. Ditutupnya map itu, dan diletakkannya kembali ke tempat semula.

 

Ia kemudian berpindah, kembali ke ranjang empuknya. Terasa hangat ketika ia membaringkan diri dan bergelung memeluk guling. Alam mimpi segera membuainya. Mimpi tentang ia dan Alda. Mimpi yang membuatnya tahu bahwa Alda baik-baik saja.

 

Keduanya duduk di tepi sebuah sungai yang jernih, di bawah sebuah pohon rindang yang dikelilingi padang rumput dan bebungaan aneka warna. Mereka saling bertukar canda dan cerita. Di ujung mimpi itu, keduanya berpelukan.

 

“Kamu akan baik-baik saja tanpa Kakak, Al,” bisik Alda. “Tetap lakukan yang terbaik, ya? Kakak juga baik-baik saja. Salam cinta untuk Ayah dan Ibu.”

 

Alma mengangguk, dan mereka saling melepas pelukan. Alda kemudian melambaikan tangan dan melangkah ringan menyeberangi sungai. Alma membalas lambaian tangan itu. Ketika sudah sampai di tepi lain sungai, Alda kembali melambaikan tangan dan meniupkan cium jauh. Alma pun melakukan hal yang sama. Lalu, perlahan kabut putih menyelimuti tubuh Alda. Ketika angin berembus dan kabut itu pergi, menghilang jugalah Alda.

 

Dan, Alma pun terjaga. Langit di luar jendela sudah gelap. Sejenak ia tercenung.

 

Selamat jalan, Kak. Aku akan baik-baik saja. Aku janji!

 

* * *

 

"Kamu benar-benar sudah siap kembali ke sekolah?" Misty menoleh sekilas di tengah kesibukannya mengemudi mobil.

 

"Siap, Bu." Alma mengangguk mantap. "Aku sudah kangen sama teman-teman."

 

Misty tersenyum tipis. Bagaimanapun, kehidupan mereka harus terus berjalan setelah peristiwa mengerikan dan menyakitkan itu terjadi. Diam-diam, semangat Alma menular padanya dan Taruno. Apalagi Alma sudah menceritakan mimpinya pada mereka. Bahwa Alda baik-baik saja. Dan, ia cukup percaya bahwa mungkin benar bahwa mimpi itu adalah salah satu cara Alda untuk menyampaikan kabarnya pada mereka.

 

Beberapa belas menit setelah meluncur meninggalkan rumah, city car itu pun tiba di depan gerbang sekolah. Misty langsung berbelok masuk ke area parkir.

 

"Melihat semangatmu seperti ini, sebenarnya Ibu nggak perlu, ya, mengantarkanmu sampai masuk ke kelas?" senyum Misty sembari membuka pintu mobil.

 

Alma tergelak ringan. Mungkin memang terlihat sedikit kekanakan, diantar ibunya sampai ke kelas. Tapi Alma cukup memahami apa yang dirasakan sang ibu. Kini, ialah satu-satunya putri yang dimiliki ibu-ayahnya.

 

Dengan bergandengan tangan, mereka pun masuk ke area dalam sekolah melalui lobi. Tapi....

 

Seketika Alma ternganga. Belum lagi kaki mereka sampai di batas antara lobi dan bagian dalam, belasan teman sekelasnya datang menyerbu dan menyambut. Alma tertawa dan menangis sekaligus. Gembira dan terharu melihat sambutan meriah teman-temannya.

 

"Nah, Ibu antar sampai di sini, ya?" Misty tersenyum lebar.

 

"Tenang saja, Tante," ucap seorang gadis berkucir ekor kuda. "Kami bakal jagain Alma."

 

"Iya, Tante percaya." Misty tergelak, menutupi rasa harunya.

 

Ia pun berpamitan. Meninggalkan Alma dalam kerumunan teman-temannya.

 

Mendekati kelas, langkah Alma tersendat lagi. Ia hanya mampu terpaku ketika melihat bentangan spanduk lebar dan panjang di atas pintu ruang kelasnya.

 

 

SELAMAT DATANG KEMBALI,

ALMA KRIWIL!!!

 

 

Ia tertawa geli membaca spanduk itu. Sisa teman-temannya yang tidak ikut menyambut di lobi kini menyerbunya. Berebut menyalami dan merangkulnya. Tak lama kemudian beberapa guru ikut bergabung. Alma pun digiring masuk ke dalam kelas.

 

Suasana dalam kelas bercat kuning gading itu benar-benar hangat pagi ini. Alma kriwil sudah kembali. Siap untuk meramaikan persaingan antar pelajar dengan kecerdasan papan atas dalam kelas itu.

 

Pada suatu detik, Alma melihat berkeliling. Kelasnya yang selalu bersuasana meriah. Kelasnya yang tetap hangat walaupun ada suasana persaingan. Teman-teman yang menyenangkan. Guru-guru yang penuh perhatian. Semua itu membuat semangatnya kembali membara.

 

Ketika bel masuk berbunyi, mereka pun segera membubarkan diri. Mendadak saja Alma teringat pada Alda yang biasanya berada tak jauh darinya pada jam sekolah. Hanya ada di lokal SMA di sebelah. SMA yang berada di bawah naungan yayasan yang sama dengan SMP tempatnya menuntut ilmu. Dihelanya napas panjang.

 

Ah, Kak... Sekarang aku sendirian.

 

Sebersit kesedihan menyusup masuk ke dalam hati tanpa bisa dicegah.

 

'Hayo! Belajar! Jangan melamunkan Kakak saja kerjamu!'

 

Alma tersentak tiba-tiba. Suara tegas Alda begitu saja menggema di telinga.

 

Ah! Kakak masih mengawasiku, rupanya!

 

Buru-buru ia menegakkan punggung. Kelas mulai menghening bersamaan dengan masuknya seorang guru perempuan berpenampilan apik. Dan, pelajaran pun dimulai.

 

* * *

 

Nun jauh di benua lain, Mahesa dan Wilujeng mulai menikmati liburan dalam aroma bulan madu yang sangat manis. Sepenuh hati Mahesa memanjakan Wilujeng. Menebus waktu tiga belas tahun perpisahan mereka. Menebus semua kerinduan yang sudah jauh melampaui batas yang bisa mereka tahan.

 

"Aku sudah berjanji untuk melakukan selamatan besar-besaran kalau kamu benar-benar kembali, Jeng," bisik Mahesa. "Tapi aku belum melakukannya."

 

"Mm...." Wilujeng menatap Mahesa. "Bagaimana kalau selamatan itu disalurkan dalam bentuk bantuan ke panti asuhan saja, Mas?"

 

Mahesa balas menatap Wilujeng, dengan pendar rasa cinta memenuhi matanya.

 

"Apa pun yang kamu inginkan." Mahesa meraih tangan Wilujeng dan mencium punggung tangan itu dengan lembut.

 

"Juga seandainya aku menginginkan bantuan itu diberikan secara berkesinambungan?" Wilujeng mengangkat alisnya.

 

Mahesa tertawa.

 

"Siapa takut?" Ia kemudian menanggapinya dengan antusias. "Aku yakin, kita tidak akan bertambah miskin hanya karena menambah bantuan untuk satu atau dua panti asuhan lagi."

 

"Ah!" Wilujeng tampak sedikit terpana. "Mas Hesa masih meneruskan kebiasaanku?"

 

Mahesa mengangguk.

 

"Tiga panti asuhan yang biasa kamu beri bantuan tak pernah telantar saat kamu menghilang selama belasan tahun, Jeng. Aku dan anak-anak meneruskan semua kebaikanmu."

 

"Oh...." Wilujeng tak lagi mampu berkata. Hanya bisa memeluk erat Mahesa sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.

 

* * *

 

(Bersambung hari Selasa)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.