Coral Carol

Ice ages have come and gone. Coral reefs have persisted. Sylvia Earle

Coral Carol
Coral Carol

 

Dua puluh meter di bawah laut, kami bertiga menikmati keindahan ini.
Airnya jernih, hijau kebiruan dan dingin, membuatku sedikit mengigil.
Deretan Coral berwarna cerah seakan berlomba dengan kecantikan ikan-ikan di sini.
Indah seperti Lukisan, Raja Ampat ini memang instagramable sekali.
Aku mencoba berpose di antara semak Coral. Tidak mudah.
Tabung oksigen ini cukup menyusahkan.
Percuma berdandan cantik, senyumku tidak akan terlihat dan mataku tertutup kacamata selam.
Kuberikan kode ke Iwan agar memotretku di tengah Coral cantik itu.
Untunglah Iwan pintar motret. Tidak percuma  Victor mengajaknya liburan bersama.
Padahal tadinya aku sempat protes saat Victor mau mengajak Iwan.


“Ngapain sih ngajak si Iwan? Mendingan kita  liburan romantis berdua!” rajukku minggu lalu.
“Dia kan pinter motret. Biar ada yang motretin kita!” kata Victor.
“Kan bisa selfie sendiri, nggak perlu difotoin!” protesku.
“Aku juga udah lama nggak ketemu dia. Kan aku cuma libur sebentar. Sekalian liburan bareng aja, nggak apa-apa ya, sayang?” Pinta Victor.
Victor kuliah semester akhir di Boston. Aku cuma bisa ketemu saat liburan aja.
Iwan teman akrab Victor.

Baru beberapa pose, Iwan sudah berhenti memotretku and pergi menjauh.
Dia beralih kembali memotret pemandangan laut saja.
Sering kudengar Victor bilang kalau Iwan tidak suka memotret manusia. Lebih suka memotret pemandangan saja.
Kalau bukan diminta Victor, Iwan tidak akan mau memotret kita.
Victor berenang mengikuti Iwan.
Aku melambai-lambai ke arah mereka. Berharap mereka melihat dan Iwan bisa kembali memotretku.
Gimana sih si Iwan ini, masak motret cuma sebentar aja.
Tapi rupanya mereka tidak melihatku.
Terpaksa aku berenang mengikuti mereka. Aku tidak mau ketinggalan sendirian di sini.
Tapi mereka berenang sangat cepat, aku jauh tertinggal. Napasku sudah tersengal-sengal.
“AuW!” aku menjerit tertahan dengan selang oksigen di mulutku.
Kakiku perih, rupanya terkoyak coral cantik yang ganas itu. Kulihat darah mengalir dari kakiku.
Air mataku berbaur dengan air laut.
Kejengkelanku meningkat terhadap Iwan.
Jengkel gara-gara dia, kakiku terluka.
Jengkel karena dia nggak mau motret aku lagi.
Jenggel karena dia selalu ikut-ikutan, menganggu orang pacaran.
Iwan selalu ikut setiap kali Victor pulang liburan.
Tahun lalu waktu kita ke Bali, Iwan juga ikutan.
Dan Victor sering lebih banyak menghabiskan waktu dengan Iwan.

Aku beristirahat sebentar.
Kupandang mereka dari kejauhan. Rupanya mereka berhenti juga.
Victor mengeluarkan sesuatu yang terlihat seperti gulungan plastik dari tasnya. Iwan membantu Victor membukanya. Mereka mengarahkan plastik itu ke arahku. Kulihat ada sebuah tulisan di gulungan plastik yang baru dibuka itu.
Carol, will you marry me?” kubaca tulisannya.
Lalu Victor membentuk tangannya menjadi lingkaran hati, persis seperti oppa Korea. 
Seketika kejengkelanku berubah menjadi bahagia.
Mereka berenang ke arahku, aku berenang menghampiri mereka.
Kami bertemu di tengah.
Victor memelukku. Dia berusaha menciumku, tapi tidak bisa karena terhalang selang oksigen. Kami tertawa bersama.
Iwan dengan sigapnya mengabadikan moment itu dengan kameranya.
Foto dan video sekaligus dua.
Ah rupanya ini alasan Victor ngotot mau mengajak Iwan liburan bersama kita.

Aku memberi isyarat pada Iwan untuk memotretku lebih banyak di antara coral-coral cantik itu. Kali ini Iwan menuruti permintaanku.
Victor pergi menjelajah sendiri saat sesi pemotretanku.
Kali ini aku minta Iwan memotret yang banyak. Beberapa jam kemudian, aku sudah lupa waktu, kami masih sibuk motret.
Kapan lagi ada lokasi seindah ini, harus dimanfaatkan kan?
Untuk kesekian kalinya Iwan memberi isyarat. Memukul-mukul perutnya dan menggerakan tangan ke mulut menirukan gerakan makan.
Aku tahu dia lapar. Aku juga lapar. Aku mengangguk dan memberi isyarat untuk memanggil Victor.
Kami tidak melihat Victor. Lalu kami sibuk mencari Victor di sekeliling kami.

Setelah sekian lama kesulitan mencari, akhirnya Iwan menemukan Victor di antara semak coral.
Victor tak sadarkan diri. Mungkin dia memegang coral beracun. Ada beberapa coral yang tidak boleh dipegang karena beracun dan bisa membunuh manusia.
Jantungku berdegup kencang, ketakutan.
Iwan berusaha membopong Victor ke atas permukaan.
Aku membantu sebisanya.
Setibanya di permukaan, Kami segera menelpon ambulan.
Victor dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tapi hanya beberapa jam dia mampu bertahan.

Sebulan kemudian, di tengah kesedihanku, Iwan datang.
Dia membawa sebuah bingkisan.
Kubuka kotak bingkisan itu.
Sebuah coral berwarna pink cantik di aquarium mini.
Dan amplop berisi setumpuk foto.
“Kok kamu bisa ngambil coral ini? Kan ini terlarang!” kataku.
“Iya aku tahu, tapi kupikir ini penting buat kamu! Kenang-kenangan terakhir.” katanya.
Kulihat foto-foto itu sekilas. Semuanya bagus-bagus.
Kepiawaian Iwan memotret sangat terlihat. Walau di dalam laut, dia berhasil memperlihatkan ekspresi wajahku di tengah keindahan coral dan ikan.
Tapi aku tidak bersemangat melihat semua itu.
Ada bagian yang paling berharga yang sudah direnggut dariku.
“Seandainya aku tidak sibuk motret, mungkin Victor masih ada!” kataku.
“Nggak usah disesali lagi, Carol.” kata Iwan pelan.
"Carol harus tegar seperti Coral!" katanya berusaha menghiburku.
“Yang ini boleh nggak aku ikut-sertakan dalam lomba foto?” tanya Iwan sambil memegang sebuah foto.
Aku menggangguk.


Lama kupandangi sebuah foto di pameran foto itu.
Foto wajahku sedang panik, memandangi tubuh Victor yang pingsan, di antara keindahan Coral di Raja Ampat.
Bisa-bisanya si Iwan memotretku saat lagi panik begitu.
Mungkin naluri photographernya tajam.
Kulihat tulisan keterangan di foto itu.
Judul “Coral Carol”
Pemenang Pertama Lomba Fotografi Bawah laut International.
Rasa kesalku timbul lagi.
Rasanya seolah Iwan memanfaatkan tragedi aku untuk keberhasilannya sendiri.
Tapi apakah Iwan yang salah? Atau aku yang terlalu egois?
Iwan menghampiriku yang sedang berdiri sendiri.
“Selamat ya!” kataku basa-basi.
Iwan memperlihatkan layar kameranya. Dilayar tampak wajah senduku sedang memandangi foto di dinding.
Rupanya dia memotret aku lagi.
Naluri Photographernya mulai bekerja lagi mencuri kesempatan.
Aku bergegas pergi meninggalkan Iwan. Air mataku mulai berjatuhan.
Ini adalah saat  terakhir aku melihat Iwan. Aku tak sudi melihat mukanya lagi.
“Maaf ya, soalnya tadi ekspresif banget!” katanya sambil mengejarku.
Iwan memegang tanganku untuk menahan langkahku.
“Aku juga kangen Victor!” katanya sambil memelukku.
Tangannya mengusap air mataku.
“Di dekat sini ada restaurant Korea yang enak banget. Kamu paling suka makanan Korea kan?   Kita ke sana yuk! Aku mau traktir kamu,hadiah dari lomba foto!” kata Iwan.

Interior di restaurant Korea itu didekor seperti pemandangan bawah laut, cantik sekali.
Ada beberapa aquarium besar memenuhi semua sisi. Coral-coral warna warni menghiasi ruangan, palsu tapi secantik yang asli.
Iwan berusaha menghiburku dengan cerita-cerita lucu, saat kami menikmati beef bulgogi.
Mungkin dia merasa bersalah sudah membuatku sedih tadi.
Dulu biasanya Iwan lebih banyak ngobrol dengan Victor. Dan selalu mengacuhkan aku.
Aku tidak pernah tahu kalau Iwan bisa lucu begitu.
Pelan-pelan aku terhibur dan mulai melupakan kesedihanku. Tak terasa sudah empat jam kami di sana. Untunglah tempat itu sepi, sehingga pelayan tidak mengusir kami yang cuma nongkrong lama, walaupun makanan sudah habis dari tadi.
Seorang pelayan datang mengantarkan nota pembayaran kami. Rupanya mereka sudah tidak sabar ingin mengusir kami secara halus.
Iwan membuka dompetnya untuk membayar.
Dua lembar foto jatuh dari dompetnya, yang rupanya tak sengaja dibuka terbalik.
Kuraih kedua foto itu dari lantai.
Kulihat sebuah foto close-up wajahku saat di raja ampat,
Yang satu lagi, foto close-up wajahku 6 tahun lalu, saat pertama aku bertemu Victor dan Iwan, di sebuah acara pesta.
Aku tidak tahu Iwan memotretku saat itu.
“Kenapa ada foto aku di dompet kamu?” tanyaku.
Iwan terdiam lama. Wajahnya memerah.
Kuraih iphoneku dan mengabadikan moment itu.
“Nih liat!” kataku memperlihatkan foto wajah Iwan yang sedang tersipu malu.
Kami tertawa bersama.
“Maaf ya, soalnya ekspresif banget!” kataku.
“Carol!” ujar Iwan tersipu, sambil berusaha mendekat.
“Coral!” ujarku.
“Awas, hati-hati ada Coral di situ!” teriakku.
Tapi Iwan sudah keburu jatuh, menimpa coral palsu itu.
“Jangan khawatir Carol, aku masih hidup kok!” kata Iwan menggodaku.


Catatan.
Terinspirasi dari Ink October.
Sebuah festival menggambar online setiap bulan Oktober.
Tema hari ini tanggal 20 october 2020 adalah Coral.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.