Doktrinitas Agama Sipil Pancasila dan Realitas Pembumiannya di Indonesia

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya." -Soekarno

Doktrinitas Agama Sipil Pancasila dan Realitas Pembumiannya di Indonesia
Source: istockphoto.com

Dalam rangka mengukuhkan dan menyemarakkan prinsip-prinsip Pancasila setelah melewati fase kelahirannya kembali yang bertepatan pada tanggal 1 Juni 2021, cukup bijak apabila kita bersama-sama menyetir diri dalam kerangka meneguhkan nilai-nilai yang menjiwai Pancasila ke situasi euforia keberadaban dan kebahagiaan, tapi tentu momentum tersebut tidak boleh berhenti sampai detik ini. Celakanya, saat ini kita sedang berdiri di tengah-tengah kabut pekat moralitas, cuaca megamendung kekerasan hingga kebodohan yang sedang menyelimuti Indonesia dan krisis multidimensional yang terus menghujani kita setiap menit, bak gelombang meteor yang mampu menembus lapisan atmosfer di berbagai belahan bumi setiap hari. Atas dasar itulah, pada akhirnya tulisan ini sengaja penulis buat agar dapat untuk direfleksikan secara simultan dan mendalam, sehingga bahtera Indonesia tidak mudah terombang-ambing oleh ganasnya pasang-surut peradaban maupun karam di tengah proses pelayaran menuju puncak-puncak kebahagiaan.


Berdiri tegak di awal milenium ke-3 saat ini, rasa-rasanya mata batin penulis kerap kali gerah dan jenuh dalam memandang panorama bangsa dan negara Indonesia. Tindak-tanduk para pemangku kepentingan yang seharusnya menjadi episentrum keteladanan, menjadi sangat sulit untuk dijadikan sebagai pamungkas yang diandalkan. Demi menyejahterakan perut mereka masing-masing, budaya korupsi berjemaah marak terjadi, hal ini disebabkan karena demokrasi reformasi yang kita banggakan sekarang terlalu terlena pada sangkar prosedural semata, dengan mengesampingkan yang jauh lebih substansial. Pada akhirnya, mereka yang dimabukkan oleh kursi kekuasaan, memiliki mentalitas buta dan tuli terhadap ringkihan-sendu para rakyatnya, ratu adil menjadi sangat sulit dilacak di zaman yang serba korup sekarang ini. Aktor-aktor politik bukannya berlomba-lomba menjadi mercusuar di tengah kegelapan sekaligus menjadi oase di tengah padang pasir yang kering kerontang, tetapi mereka justru berkelakuan sebaliknya, menjadi biang keladi dari segala permasalahan. Dominasi tradisi politik yang berbasis pada genealogi keturunan (heredity) atau dinasti politik (political dynasty) yang diselingi dengan praktik politik uang (money politics) sebagai jantung bagi sistem nilainya, hal tersebut bagaikan kuman degeneratif yang merusak sendi-sendi demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang kita jadikan sabuk pengaman saat ini.   


Kebobrokan lain yang menghantam panggung besar Indonesia juga adalah institusi-institusi penegak hukum yang tak lagi mampu menerjemahkan keadilan, selalu “angkat tangan” dalam menuntaskan perkara ketika uang sudah berbicara dan masuk tanpa malu ke kantong mereka. Praktik-praktik seperti itulah yang seharusnya diharamkan ataupun dibidahkan di dalam tubuh berbagai lembaga penegak hukum (law enforcer) dan kebiasaan itu mampu menurunkan volume harkat-martabatnya (dignity). Wibawa seorang hakim, advokat, maupun jaksa ditentukan sejauh mampu bersahabat baik dengan keadilan demi memenuhi permintaan dari seluruh lapisan masyarakat. Upaya penegakan hukum pun (law enforcement) haruslah berkiblat pada Pancasila beserta hukum-hukum turunanya sebagai anak kandungnya, saat yang sama, prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dimiliki oleh manusia itu sendiri yang menurut Paul Scholten menjadi anasir utama dalam negara hukum (rechtstaat, rule of law) sekaligus menjadi bagian integral dari demokrasi dapat ditegakkan seadil-adilnya dan dijunjung setinggi-tingginya (dalam Gautama, 1973: 8; Budiarjo, 2019: 211; Heywood, 2017: 555-558).  

 
Para pemuka bahkan penganut agama pun, sering kali terjebak dalam jurang formalisme-ritualisme keagamaan yang kaku dan buta huruf terhadap situasi kontemporer, menjual ayat-ayat suci demi kepentingan komersial menjadi hal yang lumrah terjadi, juga dalil-dalil sakral hanya dijadikan sebagai stempel untuk melegitimasi hasrat busuk mereka. Terlebih lagi, bagi mereka yang berpikiran sempit dalam memahami kedalaman makna kitab suci-Nya, yang candu untuk menerjemahkan pesan-pesan ketuhanan dengan mengandalkan basis literalisme, pada ujungnya melahirkan sekte fundamentalisme-ekstremisme yang berakhir pada tindakan terorisme. Selain itu, sebagaimana yang disayangkan juga oleh Amartya Sen (2016), bahwa terlalu memamerkan dan mengagungkan keunggulan agama tanpa melakukan refleksi atas identitas prestisius yang lain, seperti sains dan matematika, menjadi dasar bagi terjadinya habituasi untuk mengotak-ngotakan peradaban dan kategorisasi identitas tunggal. Mengelabui murid-muridnya dengan menghipnotis mereka melalui janji-janji manis eskatologis tanpa berusaha secara optimal dalam menuntaskan persoalan saat ini adalah fenomena yang berbahaya. Umat beragama yang seharusnya diimajinasikan sebagai polisi moral dalam memberikan rambu-rambu etika, akhir-akhir ini, sebagian dari mereka justru berpredikat sebagai sumber dari segala malapetaka. Dengan bahasa lain, mereka telah gagal menjadi juru selamat dan meniru keteladanan apostel-apostelnya yang faktanya hanya sekadar dibangga-banggakan semata.


Sama halnya dengan masyarakat sipil yang sangat sulit untuk bersatu, polarisasi semakin melebar-meninggi, tradisi membenci dan menghina yang saling berbenturan di ruang-ruang Indonesia terus berkepanjangan. Pancasila tidak boleh hanya menjadi slogan belaka. Kekerasan yang berpusat pada perbedaan etnoreligius, tribalisme, maupun primordialisme kian menjadi wahana paling menyenangkan dalam memenuhi tuntutan libido hewani. Ajaran dan ajakan mengenai kemanusiaan seolah-olah hanya untuk didongengkan, tidak untuk diaplikasikan ke dalam tindakan yang nyata. Wajah miris realitas Indonesia kini, terus diperkeruh oleh kebiasaan politik adu domba (devide et impera), menjungkirbalikkan keadaan netral bahkan positif dengan menebar dan membudidayakan benih-benih fitnah yang seakan telah menjadi koleksi prestasi kolektif. Tak kalah serunya dengan industri hoaks yang sedang menjamur di ruang-ruang virtual, kebenaran semakin bergeser ke wilayah yang samar: kebenaran dan kebatilan melebur menjadi satu entitas yang buram. Gerombolan masyarakat sekarang juga, tampaknya senang dalam mengesampingkan peran ahli untuk merengkuh kebenaran, mereka seolah-olah memiliki kapasitas kecerdasan yang melampaui para ilmuwan. Mereka ini layak mendapat gelar predator jahat yang membajak dan menyalahgunakan perangkat komunikasi massa dengan menghamburkan partikel-partikel kebohongan maupun mitos yang tidak dapat diblokir oleh para pakar mana pun (Nichols, 2020: 137). Keborokan yang menjadi tontonan gratis juga, adalah masyarakat kita yang cenderung lumpuh dalam hal daya literasi, erudisi, bahkan numerasi. Celakanya, di satu sisi intensitas penyebaran hoaks tinggi, di sisi lain daya literasi bangsa kita rapuh. Kita sepertinya sedang bergerak menuju neraka kehancuran, kebebalan, dan kesuraman.   

Selaku masyarakat Indonesia, kita seharusnya bangga memiliki identitas khas yang membentuk karakter kita, agama sipil (Civil religion), ideologi negara (State ideology), kesepakatan bersama (Modus vivendi, Mutual agreements), bintang penuntun (Leitstar), pandangan hidup dunia (Weltanschauung, Worldview), filosofi kebahagiaan (Philosophy of happiness), rahim dari segala sumber hukum (Grundnorm), dan dasar falsafah negara (Philosophische grondslag)—yaitu Pancasila. Namun sepertinya, akhir-akhir ini justru tren yang sedang menjamur adalah banyak dari kalangan kita yang menghamba pada beragam ideologi asing—tanpa bermaksud membandingkan dengan agama-agama dunia—yang membonceng kendaraan Indonesia, hal ini tentu didasari oleh arus besar globalisasi informasi yang melumpuhkan sekat-sekat teritorial geografis dan melintas tanpa batas dengan teknologi modern sebagai penopangnya. Cukup ironis, karena para pendiri bangsa (founding parents) telah bersusah payah dan berdarah-darah dalam memperjuangkan dan menggali nilai-nilai Pancasila dari akar-akar sejarah Indonesia. Di beberapa kasus, ideologi seperti kapitalisme, sosialisme, hingga fasisme mengalami keruntuhan yang sempurna akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan peradaban, tetapi hebatnya tidak dengan Pancasila, sebagaimana yang diungkapkan oleh Yudi Latif, “Secara konsepsional, Pancasila merupakan ideologi tahan banting yang kian relevan dengan perkembangan kekinian” (2018: 4). 


Pada saat yang bersamaan, lunturnya kecintaan terhadap Pancasila berbanding lurus dengan tsunami modernitas yang selalu menikam berbagai identitas kebangsaan, terutama Pancasila. Maka, yang menjadi tantangan terberat bagi negara ini adalah bagaimana mempertahankan nilai-nilai Pancasila di tengah pusaran modernisasi tanpa tercerabut dari akar-akar sejarah-budaya tradisional Indonesia. Di satu sisi, jika memang benar masyarakat modern selalu dicirikan dengan kerumitannya untuk mengonsolidasikan prinsip-prinsip hidup bersama, ini tentu menjadi kiamat bagi bangsa dan negara kita, karena Indonesia memiliki kontur masyarakat yang majemuk: multietnis, multireligius, multikultur, dan lain-lain. Akan tetapi, sebagaimana yang dilukiskan oleh Eka Darmaputera dalam Pancasila: Identitas dan Modernitas (1987), dengan mengutip argumentasi Talcott Parsons, karakteristik utama masyarakat modern adalah kemampuannya untuk mampu berkamuflase dengan zaman. Sehingga, akan menjadi keuntungan yang membahagiakan apabila Pancasila menjadi tumpuan utama atas kemampuan beradaptasi terhadap berbagai sentuhan tuntutan zaman.  

  
Pancasila menjadi sakti dan kompatibel sejauh itu dapat direalisasikan dalam aktivitas keseharian kita dan berhasil diuji secara kritis terkait urgensi maupun relevansinya. Sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan penyakit-penyakit sosiokultural, tidak jarang kita jumpai di berbagai ruang perjumpaan, Pancasila sering kali hanya dijadikan sebagai pajangan belaka sebagaimana halnya agama. Kendati demikian, hemat penulis, Pancasila sebetulnya sangat layak dijadikan—dengan meminjam istilah dari Robert N. Bellah—sebagai sebuah “Agama Sipil” bagi masyarakat Indonesia khususnya. Sebagaimana definisi agama pada umumnya: panduan suci umat manusia untuk menempuh jalur kehidupan yang lurus melalui ritual-ritual peribadatan tertentu yang bersifat privat maupun kolektif. Namun, karena Pancasila tidak berkepentingan untuk merangsek ke area-area privasi dan hanya berjalan di zona-zona sipil (publik), maka sangat strategis untuk direstui menjadi “Agama Sipil”. Term alternatif kembar yang mampu mengganti konsepsi “Agama Sipil” adalah, berdasarkan argumentasi Benyamin F. Intan dalam Public Religion and the Pancasila-Based State of Indonesia (2004) (dalam Arif, 2018: 32), sebagai “Agama Publik” karena Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diperas dari ajaran-ajaran kepublikan yang bersumber pada madu agama. Dan pada ujungnya, yang perlu menjadi titik konsen untuk disuarakan adalah: Pancasila tidak bertentangan sama sekali secara teoretis—apabila kita uji setiap pasalnya—dengan berbagai doktrin-doktrin agama yang ada di Indonesia.  


Sila ke-1: Ketuhanan yang Berkebudayaan 


Posisi pertama dalam suatu kerangka struktural biasanya selalu mensyaratkan kefundamentalan yang melabuhkan implikasinya untuk menjadi rahim bagi wujud-wujud yang lain. Lebih-lebih lagi, dalam konteks Pancasila yang menempatkan karakter teologis dari Tuhan, sehingga secara historis, kemerdekaan bangsa yang besar ini tidak bisa lepas dari pengaruh kekuasaan dan kehendak Tuhan yang Maha Esa. Hal tersebut, mendapat justifikasi dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dengan penuh rasa syukur, pulau kemerdekaan Indonesia tidak mungkin dicapai tanpa kehadiran Sang Maha Kuasa, karena-Nya, kita juga mampu mengusir setan-setan kolonialisme dan imperialisme. Kesadaran semacam itulah yang membentuk mentalitas kita, bahwa Tuhan turut mengintervensi lalu lintas sejarah perjuangan kemerdekaan, inilah yang membedakan secara diametral dengan perkembangan mosaik nasionalisme di Eropa (Latif, 2019: 61). 


Selayaknya Tuhan, sikap welas asih (cinta kasih) yang memberi iluminasi (pencerahan) bagi kosmologi semesta, menghidupi berbagai makhluk hidup tanpa melihat statusnya, merangkul tanpa memukul, dan saling memberi keuntungan tanpa membuntungkan, sudah seharusnya ditiru oleh kita semua. Hemat penulis, lidi-lidi dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi Pancasila adalah cinta sebagai tali sampul yang mengikatnya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Karenanya juga, Indonesia bisa meraih titik kemerdekaan, para pejuang yang melawan penjajah rela tanpa pamrih mempersembahkan sesajen darah-dagingnya demi kebahagiaan kita sekarang di samping tulus bersusah-susah hingga mengeluarkan keringat suci dalam menggali nilai-nilainya dari dalam tanah Nusantara, bahkan Tuhan sekalipun mengizinkan kita merdeka pastinya atas dasar cinta. Menariknya, kekuatan cinta Tuhan selalu berbanding lurus dengan aktivitas spiritual yang canggih. Inilah alasan logis yang membuat kita masih mampu menghirup udara segar di dalam rumah Indonesia sampai detik ini. Sejalan dengan itu, Arnold Toynbee, dalam A Study a History melakukan riset mengenai kebangkitan dan keruntuhan berbagai peradaban manusia, hasilnya menunjukkan, bahwa daya-daya spiritualitas selalu bertaut dengan progresivitas suatu peradaban (dalam Latif, 2018: 21).   


Dalam medium kehidupan manusia, cinta kasih terkristalisasikan ke dalam tiga dimensi (tridimensional): Tuhan (God), manusia (Human), dan alam (Nature). Sederhananya, terdapat dua garis yang membentang secara vertikal dan horizontal, skema tersebut menyiratkan beban kewajiban moral bagi umat manusia. Sialnya, banyak dari kita terlampau mengerdilkan konektivitas hanya kepada Tuhan dan manusia saja, saat yang bersamaan, padahal titik taut antara ketiga variabel tersebut—khususnya dengan dimensi alam—sangatlah erat kaitannya. Bahkan, sebagaimana yang disimpulkan oleh Toshihiko Izutsu, semakin rasional ketika alam dengan segala keindahannya menjadi karnaval bersama dalam merenungi hasil ciptaan-Nya (dalam Sahidah, 2018: 216). Konsekuensi logisnya, sikap welas asih dari setiap kita harus memancar ke segala arah, tidak boleh ada yang tidak terjamah oleh kita, jalur-jalur pertobatan kepada Sang Ilahi perlu diperlebar dan budaya bersimpuh malu di hadapan-Nya wajib diperkuat, sayap-sayap filantropisme haruslah membentang ke berbagai sudut penjuru dunia, hingga kepedulian terhadap alam sekitar sudah semestinya diekspor secara membudaya. Pada gilirannya, “Ketuhanan yang Berkebudayaan” menjadi identitas bangsa dan negara Indonesia.  


Sila ke-2: Kemanusiaan yang Maha Esa


Dari ketuhanan menuju kemanusiaan. Isu-isu mengenai krisis kemanusiaan yang terjadi lintas negara—khususnya Indonesia—menjadi makanan keseharian publik yang dikonsumsi setiap hari. Seperti prinsip “utilitas marginal” dalam ilmu ekonomi, semakin banyak pemberitaan mengenai kebengisan yang terjadi, maka akan semakin tidak memiliki nilai di mata pasar global yang seakan-akan memadamkan api semangat akibat kejenuhan. Benarkah ini fakta yang terjadi sekarang? Menurut Soekarno, dalam pidatonya Penemuan Kembali Revolusi Kita atau The Rediscovery of Our Revolution (1959), “Saya telah mengunjungi sebagian besar dari dunia ini, Sebelum itu, sudah lama saya berkeyakinan, bahwa kesadaran sosial (social consciousness) daripada Rakyat-Rakyat di muka bumi ini adalah sama, di manapun mereka berada.” Bertolak belakang dengan apa yang dilantunkan oleh Soekarno, manusia sekarang cenderung apatis terhadap penderitaan yang menimpa sesamanya, bahkan kerap kali mendukung manuver penindasan pihak yang dibencinya dengan dasar sentimentalitas yang tidak rasional.


Terlebih lagi, para aktor yang merobek tenunan-tenunan sosial kemanusiaan itu sendiri pun, banyak yang belum menemui momen-momen penginsafan diri, instrumentasi hak asasi manusia hanya dijadikan proposal hukum “di atas kertas” semata. Kelakuan busuk para pejabat, penganut agama, dan masyarakat sipil yang telah dijabarkan oleh penulis di atas, mampu diklasifikasikan sebagai tindakan merongrong sisi kemanusiaan manusia. Entah sampai kapan hal ini terus terjadi, akan tetapi, kita sepertinya semakin ditambah bobot beban yang menyedihkan: bahwa bangsa kita defisit pemimpin bersih yang teladan, tapi surplus tokoh yang memang seharusnya ditelantarkan di tepi peradaban.


Transformasi sosial yang berperikemanusiaan sesungguhnya haruslah menjadi agenda penting dalam pembangunan Indonesia, karena bagaimana mungkin suatu bangsa akan maju bilamana pilar-pilar kemanusiaan tidak ditegakkan? Dalam situasi negara yang darurat (state of emergency) akan kemanusiaan atau hak asasi manusia, alih-alih pemerintah memajukan bangsa-negaranya, tetapi tentu akan disibukkan oleh hal-hal yang mendasar terlebih dahulu. Tanpa memiliki kesadaran kemanusiaan, sudah barang tentulah dunia ini sedari dulu sudah tergelincir ke dalam jurang kebinasaan. Visi kemanusiaan haruslah terus digaungkan dan disemarakkan dalam bentuk tindakan.    


Sila ke-3: Bhinneka Tunggal Ika


Persatuan Indonesia menduduki peringkat tengah yang berarti menjadi sumbu atau poros bagi Pancasila. Dapat pula diterjemahkan, seluruh sila—terkecuali sila ke-3—Pancasila dalam konteks pembumiannya hanya akan menjadi imajinasi utopis belaka apabila persatuan kolektif tidak diprioritaskan. Indonesia yang heterogen ini, memiliki potensialitas untuk bersatu padu, sekaligus rawan terpecah belah menjadi kepingan-kepingan yang berserakan. John Sydenham Furnivall (1980), menengarai masyarakat plural seperti Indonesia akan selalu mensyaratkan masyarakat yang memiliki dua atau lebih tatanan sosial tanpa harus berkombinasi menjadi satu entitas politik (dalam Latif, 2020: 296). Kabar baiknya, karena kita memiliki penyangga dalam merekatkan relasi-relasi sosial, yaitu semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” maupun Pancasila itu sendiri, kita memiliki secercah harapan sekaligus modal sosial untuk bersatu padu dalam keberagaman tanpa perlu ditutup oleh jubah keseragaman. 


Pada dasarnya, keberagaman kultural menjadi aset terpenting bagi bangsa Indonesia, apabila itu benar-benar mendapat manajemen yang baik, Indonesia akan menjadi surga pluralisme dunia. Kita harus sangat bersyukur kepada Tuhan yang Maha Welas Asih, karena sebagaimana yang berhasil dipotret oleh Denys Lombard (1996), “Sungguh tidak ada satu pun tempat di dunia ini—kecuali mungkin Asia Tengah—yang, seperti Nusantara, menjadi tempat kehadiran hampir semua kebudayaan besar dunia, berdampingan, atau lebur menjadi satu” (dalam Latif, 2019: 143). Maka, sebagai bangsa yang kaya akan khazanah budaya, semestinya kita memperbanyak dialog peradaban melalui ruang-ruang perjumpaan lintas batas dengan beragam identitas, persilangan budaya (cross-culture) harus konsisten terjadi dalam rangka membangun solidaritas maupun kolektivitas kebangsaan. Syaratnya adalah, filosofi yang menjadi kearifan lokal (local wisdom) orang Sunda yaitu, “Silih Asah (komunikasi-argumentatif), Silih Asih (mendidik-mengembangkan), dan Silih Asuh (cinta-welas asih)” harus diimplementasikan dalam kerangka persatuan nasional yang sejati. 


Menciptakan iklim persatuan yang diwarnai oleh keberagaman identitas, membutuhkan ekosistem kebijakan yang mendukung hal tersebut. Sangat disayangkan bilamana bangsa yang kaya akan keberagaman kultural mengalami disintegrasi yang menganga lebar, kita tidak boleh menjadi bangsa yang terpecah belah hanya karena persoalan yang remeh-temeh. Indonesia harus berpegang teguh dan bersikukuh berdiri tegak di bawah panji bendera pluralisme-heterogenitas, saat yang sama, lokomotif toleransi maupun nasionalisme yang perlu untuk dibangun akan selalu jadi prasyarat mutlak (qonditio sine qua non) yang dibutuhkan bagi kemajuan bangsa dan negara. 


Sila ke-4: Demokrasi Permusyawaratan


Sistem politik pemerintahan yang kita anut hingga saat ini adalah demokrasi yang berbasis pada musyawarah-mufakat yang memiliki corak deliberatif-kompromistis, bukan seperti model demokrasi ala barat yang di beberapa negara terlalu memberikan superioritas pada kaum mayoritas (majoritarianism, diktator mayoritas) dalam merumuskan arah kebijakan. Sebagaimana menurut Sir Arthur Lewis (1965), bahwa wajah demokrasi yang mengandalkan pada keputusan golongan mayoritas, pada dasarnya hal tersebut bukanlah demokrasi yang sesungguhnya, karena tentu apabila kita cermati betul akan ada prinsip penegasian: memberangus aspirasi minoritas agar diisolasi ke dalam gudang kosong saja (dalam Mufti dan Naafisah, 2013: 230). Uniknya, prinsip tersebut selalu menyelinap masuk melalui pintu belakang layar yang kebanyakan dari kita tidak menyadari terjadinya hal tersebut. 


Begitu pun sebaliknya, apabila umat minoritas seperti elite politik dan oligarki bisnis (minoritarianism, tirani minoritas) mendikte setiap abjad-abjad kebijakan, maka yang terjadi pasti adalah konflik kepentingan (conflict of interest) yang bersinggungan dengan hujan aspirasi dari masyarakat banyak. Demokrasi yang kita usung sebenarnya jauh lebih cerdas dalam menyesuaikan dengan dinamika perubahan zaman, musyawarah yang dikepung oleh gugus aroma deliberasi (consensus) yang dipadukan dengan hikmat kebijaksanaan (rationality) menjadi atribut penting dalam menyelesaikan suatu perkara. Demokrasi musyawarah adalah alat untuk menuju surga kebahagiaan yang ditempuh melalui jalan kompromistis: konsolidasi positif antara mayoritas dan minoritas. Benar, menjadi wajar hal tersebut terjadi karena slogan “Gotong Royong” (kekeluargaan, kooperatif) merupakan bagian integral dari sejarah panjang pergumulan identitas kebangsaan negara Indonesia.


Namun, di zaman kegelapan saat ini (TheDark Ages”), fakta yang terjadi justru menunjukkan terjadinya gejala membesarnya maupun meluasnya hegemoni kerajaan elite politik dan oligarki ekonomi, mereka dengan begitu mudahnya terobsesi untuk mempermainkan rakyatnya dengan komedi-komedi horor yang membuat publik sengsara. Mazhab tirani yang minoritas yang mendominasi tata kelola pemerintahan Indonesia ini, layaknya karakteristik para tiran-tiran dulu yang berjaya di era Yunani kuno pada sekitar abad ke-7 dan ke-6 sebelum masehi yang berhasil direkam dengan sangat baik oleh Percy Neville Ure dalam The Origin of Tyranny, bahwa mereka meraih keuntungan melalui posisinya berkat keunggulan finansial maupun komersial sebelum dan bahkan sesudah menjadi aktor ataupun dalang dalam mengontrol kekuatan politik, berkat kekayaanlah mereka mampu mendapatkan sekaligus mempertahankan otoritasnya melalui operasi-operasi militeristik dan dukungan masyarakat kelas bawah yang sebelumnya telah direkrut, saat yang sama, kekuasaan politik-ekonomi para tiran pun jatuh terbengkalai akibat tergerusnya kekayaan mereka sendiri.


Biasanya, mereka yang menghamba pada kekayaan, tidak jernih dalam meneropong atmosfer kesengsaraan, kesedihan batin, dan kesusahan masyarakat yang berada di bawahnya. Tidak heran, apabila praktik-praktik korupsi yang dimotori oleh elite-elite politik dengan bantuan finansial dari para oligark mampu merusak cita-cita dan sendi-sendi demokrasi reformasi Indonesia yang berbasis pada musyawarah-mufakat akan terus merajalela. Celakanya, sebagaimana dipahami oleh B. Herry Priyono (2018: 145), korupsi dalam berbagai bentuknya selalu menandakan terjadinya simtom kemerosotan moralitas dan cara berpikir, sehingga, pada dasarnya korupsi adalah problem moral. Keruntuhan nilai-nilai etis yang kerap kali terjadi di era ini juga adalah intrik-intrik para aktor, termasuk elite politik dalam merancang sketsa arsitektural kejahatan untuk menyingkirkan rakyatnya yang dianggap mengganggu stabilitas kepentingan, menutup telinga dari berbagai irama aspirasi masyarakat, hingga terkadang kecanduan untuk berleha-leha di atas penderitaan rakyat yang seharusnya mereka berjuang demi meluruskan keadilan, meninggikan kesejahteraan, dan melebarkan kemakmuran. Mentalitas seperti itulah yang tidak boleh terwariskan ke generasi-generasi berikutnya. 


Sila ke-5: Social Justice


Tibalah kita di penghujung sila-sila Pancasila, yaitu keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ke-5 yang mengandung cita hukum (rechtsidee) (Erwin, 2019: 390) ini merupakan penyempurna dari sila-sila sebelumnya agar Pancasila menjadi “Agama Sipil” yang utuh dan integratif. Benar, bahwa Pancasila tidak hanya sebatas referensi kehidupan yang sarat akan prinsip-prinsip emansipasi, egalitarianisme, dan liberalisme dalam hak-hak politik saja, tetapi sila ini (social justice) menghendaki adanya pembebasan, kesetaraan, dan pemberdayaan dalam sektor ekonomi. Maka, apabila kita mencoba menyimpul sila ke-4 dan sila ke-5 dalam satu tarikan napas, sebagaimana yang dikutip oleh Yudi Latif dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, pasti kita akan sepakat dengan gagasan Fritz Adler yaitu demokrasi politik-ekonomi (“politiek ekonomische democratie”), hal tersebut sangat senada dengan ide yang dilontarkan oleh Soekarno bahwa, “Demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi” (2019: 513).  


Artinya, kemerdekaan politik dalam bingkai demokrasi tidaklah cukup sejauh dibarengi dengan kemerdekaan ekonomi pula. Maka, diskursus mengenai sila ke-5 ini sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu ekonomi yang berkelindan dan sebagai pemandu dalam memproyeksikan trayek-trayek kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan sosial. Namun, yang terjadi dalam realitas keadilan di Indonesia sekarang ini justru sebaliknya: kesenjangan sosial yang telah jauh melompati ambang batas kewajaran, keadilan menjadi hal yang endemik alias sukar untuk ditemukan, hingga ketidakmerataan pembangunan nasional, baik itu Sumber Daya Manusia (SDM) maupun Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga, sangat wajar apabila upaya untuk menaburi pupuk-pupuk keadilan sosial jadi sangat sulit apabila tidak “disimultanisasikan” dengan sila-sila Pancasila yang lain. Ditambah lagi, sepak terjang dari para pemimpin khususnya dan seluruh masyarakat umumnya selalu bersikap seperti iblis-iblis jahat yang hanya mementingkan pemenuhan panggilan nafsu yang bersifat temporer. 


Indonesia akan menjadi negara-bangsa yang sulit maju dan bersaing dengan yang lainnya di atas papan percaturan global, karena para pemimpin yang seharusnya menjadi publik figur (role model) saja tidak menoleh untuk terjun langsung dalam memberdayakan, menyejahterakan, dan memakmurkan rakyatnya. Cinta kasih harus membubung tinggi melalui watak gotong royong untuk menaikkan taraf hidup masyarakat kebanyakan, dan ini secara otoritatif hanya mampu dilakukan dengan optimal oleh manajer Indonesia, yaitu mereka yang mungkin sekarang sedang menikmati kelezatan kue jabatan, padahal mereka adalah kuncinya yang dipilih oleh rakyat. Ironi sederhana yang sedang terjadi adalah, kelaparan yang menjadi prasyarat kemajuan negara saja masih terbentang luas di dalam tubuh Indonesia, padahal menurut Soekarno, seorang pengemis tidak mungkin menghilangkan rasa laparnya hanya dengan memberinya sebuah kitab Konstitusi (dalam Latif, 2019: 514). Selaras dengan itu, setidak-tidaknya teori “Hierarchy of Needs” yang dibidani oleh Abraham Maslow (1954) telah mengonfirmasi bahwa kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti makanan dan kehangatan adalah kebutuhan yang berada di level mendasar yang harus diprioritaskan sebelum beranjak ke level-level selanjutnya (dalam Jarvis, 2018: 94-95).

Oleh karena itu, demokrasi ekonomi yang sesuai dengan karakter Pancasila yang memiliki asas kekeluargaan dan kebersamaan (“Gotong Royong”) mengharamkan terjadinya fenomena autokrasi atau monopoli ekonomi yang tersentralisasi maupun terkonsentrasi hanya pada sekeping golongan minoritas di dalam masyarakat yang luas, pada saat yang bersamaan, dalam konteks demokrasi bahwa rakyat memiliki saham kedaulatan yang utama di dalam sistem perekonomian nasional. Sehingga, “Ekonomi Rakyat” (grassroots economy) menaruh peran yang krusial dan harusnya mendominasi bahkan menjadi titik tumpu kebangkitan ekonomi nasional (Ruslina, 2013: 267). Pada titik ini, jaring-jaring kolaboratif antara pemimpin dan yang dipimpin harus jadi program nasional dalam rangka pembangunan nasional yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 

 

Quo Vadis Indonesia dan Pancasila di Masa Depan?


Masing-masing sila dalam Pancasila adalah satu rangkaian yang utuh, bulat, dan padat. Keseluruhannya saling menyempurnakan, melengkapi, bahkan mengunci. Semua sila harus sungguh diimplementasi dalam pengalaman keseharian kita secara sistematis, konsisten, hingga masif. Jika itu benar, maka dalam hitungan beberapa detik, kita tampaknya akan merayakan era kelahiran baru (renaissance), yaitu: kemerdekaan yang sejati. 


Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar, namun kebesaran Indonesia hanya dapat dijangkau apabila masyarakatnya sendiri mencintai dan meyakini Pancasila sebagai identitas resminya. Kata John Gardner, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” Sehingga, tidak ada alasan satu pun bagi kita untuk tidak mencintai secara sungguh-sungguh Indonesia dan Pancasila. Sekian dan terima kasih. 

Daftar Pustaka

  1. Arif, Syaiful. 2018. Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi: Meneguhkan Nilai Keindonesiaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
  2. Budiarjo, Miriam. (Ed). 2019. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  3. Darmaputera, Eka. 1987. Pancasila: Identitas dan Modernitas. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  4. Erwin, Muhammad. (Ed). 2019. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). Depok: PT RajaGrafindo Persada.
  5. Gautama, Sudargo. 1973. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung: ALUMNI.
  6. Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Terjemahan oleh Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  7. Jarvis, Matt. 2018. Teori-teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan, & Pikiran Manusia. Terjemahan oleh SPA-Teamwork. Bandung: Nusa Media.
  8. Latif, Yudi. 2018. Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan. Bandung: Mizan. 
  9. ----------. 2018. Makrifat Pagi: Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik. Bandung: Mizan. 
  10. ----------. 2019. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  11. ----------. 2020. Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  12. Mufti, Muslim dan Didah Durrotun Naafisah. 2013. Teori-teori Demokrasi. Bandung: CV Pustaka Setia.
  13. Nichols, Tom. 2020. Matinya Kepakaran. Terjemahan oleh Ruth Meigi P. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 
  14. Priyono, B. Herry. Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  15. Ruslina, Elli. 2013. Dasar Perekonomian Indonesia dalam Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun 1945. Jakarta: P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
  16. Sahidah, Ahmad. 2018. God, Man, and Nature. Yogyakarta: IRCiSoD.
  17. Sen, Amartya. 2016. Kekerasan dan Identitas. Terjemahan oleh Arif Susanto. Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri.
  18. Ure, Percy Neville. 2021. The Origin of Tyranny. Terjemahan oleh Ida Rosdalina. Jakarta: PT Pustaka Alvabet.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.