Drama Karma Mama

Drama Karma Mama
Image by pixabay.com

“Kamar 303, The Stones Hotel.”

 

Dengan penerbangan Jam 06.30 pagi, aku pastikan tiket pesawat sudah di tangan. Masih dua hari lagi dan aku tak perlu repot-repot packing karena di hotel sudah disiapkan baju, sepatu juga pakaian dalamku. Aku hanya bawa koper kosong untuk kuisi pesanan keluargaku.

 

Kupoles bibir dengan gincu merah cabe, senyum-senyum sendiri di kaca. Walaupun sudah ratusan pelanggan yang mencoba tubuhku, aku tetap pemain lokal yang ketakutan naik pesawat.

Jangankan naik pesawat, baru membayangkan saja aku sudah muntah-muntah, sudah pusing tujuh keliling dan saat seperti itu aku pasti ingat Gusti Allah, biar aku tidak cepat mati.

Aku takut kalau ada aku di dalam pesawat, pilot malah terpaku padaku dan lupa setir pesawat lalu pesawatnya jatuh, kemudian nanti di kotak hitam ada data yang terbaca yang berbunyi “ada perempuan bermata bulat, kulit kuning langsat telah membuyarkan konsentrasiku. Turun dari pesawat aku harus menemuinya.” Eh tapi isi kotak hitam itu apa dan bagaimana sih bentuknya?”.
Gak gak gak…Shinta tertawa sendiri. Eladalaaah kotak hitam itu opo toh ya, kok orang pada ramai membicarakan kotak hitam kalau pesawatne oleng terus hilang.

 

Ting tong…ting tong.

 

Langganan yang kedua ratus lima puluh tujuh telah ada di depan pintu apartment Shinta.

Dua ratus meter dari pintu, Shinta sudah bisa mencium Montblanc Legend yan sangat familiar di hidung Shinta.

Dengan aroma wangi sandalwood dan tonka bean yang tajam, sangat menimbulkan gairah pada Shinta. Tak heran bila belum sampai tempat tujuan saja, Rudi sudah acak-acakan dibuatnya. Shinta sangat piawai untuk mebuat laki-laki meronta-ronta. Bahkan di balik setir saja bisa membuat laki-laki macam Rudi ketagihan. Tak heran pula kalau bayaran Shinta sangat mahal. Satu kali kencan saja, Shinta bisa bawa pulang paling rendah dua puluh lima juta.

Bahkan Apartement dan seisinya, dibelikan oleh laki-laki macam Rudi lainnya, yang merupakan pemilik tunggal Apartment yang sekarang diisi oleh Shinta. Dengan kamar model studio, isi kamar Shinta termasuk lengkap. Tanpa uang seperakpun, siapa saja yang masuk ke apartment Shinta akan betah berlama-lama.

Shinta dan teman-temannya tak pernah melewatkan menggosip di dalam jacuzzi klasik yang disiapkan oleh Om Yoseph untuk Shinta. Kamar mandi didesain sedemikian rupa, dilengkapi dengan speaker wireless yang disambungkan ke ruang musik mini, akan membuat betah shinta dan teman-teman menggosip. Bahkan Om Yoseph bisa habiska dua pitcher bir yang dia simpan di sudut jacuzzi hanya untuk menikmati kemolekan tubuh Shinta.

Muka tampan, bersih, rambut klimis dibelah dua dengan badan berisi, cukup menjadi alasan Shinta menghabiskan waktu Bersama Om Yoseph. Di usia menjelang 50 tahun, Om Yoseph dapat mengimbangi permainan Shinta.

“Lima ronde berani kamu?”
“Nantang Om?. Aku sih bisa bikin kamu kelojotan berkali-kali. Yang aku takut di ronde terakhir kamu habiskan usiamu. Itu saja.”

“Hahahahaha, gila kamu Shin. Baru kali ini dapat perempuan macam kamu. Baru kali ini pula ada perempuan yang tidak mau aku kawinin. Padahal apa saja aku kasih buat perempuan model kamu. Tua ku ga penasaran Shin.”

Shinta hanya terkekeh. Belum tahu Om Yoseph yang Shinta lakukan memang bukan untuk seikat janji suci. Basi.

 

Setampan dan sekayanya Om Yoseph tetap tak membuat cinta pada Rudi berpaling. Rudi adalah teman waktu Shinta kuliah. Tipe laki-laki yang sangat diharapkan ada pada Rudi. Pada Rudi, awalnya Shinta tak mampu meminta apapun. Shinta mencintai Rudi. Namun setelah tahu bahwa Rudi adalah pemilik Karaoke Happy Hippy, tentu tidak disia-siakan oleh Shinta.

Lima puluh juta sudah di set menjadi jadwal transfer berkala di M Banking Rudi.

 

“Kamu tidak berubah ya Rud?”. Setiap aku ada di sampingmu, yang aku ingat adalah perlakuanmu padaku”

“Perlakuan bagian mana yang kau ingat?”

“Semua…sampai pada saatnya tiba kau menikahi perempuan itu.”

“Sudah, jangan kau bicarakan lagi. Aku kan sudah meminta maaf. Aku terpaksa melakukannya karena ibu, karena bukde dan karena balas budi yang sampai saat ini saja kata dia belum berbalas.”

“Basi kamu Rud, kalau alasanmu balas budi kenapa sampai kau buahkan hasil.”

“Karena salah satu perjanjiannya itu Shin. Ngerti ga sih kamu. Aku terpaksa, terpaksa.”

 

Bahasa tubuh Rudi sudah berbeda, kalau saja diteruskan pembicaraannya bisa-bisa Rudi banting setir dan kembali ke apartment.

Aku tak boleh bawa laki-laki lain ke apartment, kalau Om Yoseph tahu, dia akan usir aku dari apartmentnya walaupun sudah tertulis namaku di sertifikatnya.

 

Aku buka kancing baju Rudi. Montblac Legend menusuk hidung, seketika endorfin Shinta meningkat tajam, dia kecup ujung bibir Rudi. Rudi masih fokus ke jalanan.

Shinta tambah kekuatan, kali ini dia gigit sedikit hingga Rudi berteriak.

“Aww, sakit Shin.”

 

Tepat di lampu merah Soekarno Hatta, Rudi tarik dagu Shinta, lalu Rudi balas permanian Shinta, hingga Shinta terengah-engah. Lampu merah Soekarno hatta bisa sampai 10 menit dan hijau hanya 1 menit. Maka Rudi tidak sia-siakan kesempatan itu, dia tarik rem tangan lalu mendorong Shinta hingga menempel dengan jok mobilnya.

Dilumat habis bibir Shinta.

Malam itu Shinta sengaja menggunakan jins belel sobek-sobek  dan kaos dengan model V Neck. Dalam sekejap saja membuat mata Rudi terbuka lebar, separuh dada Shinta langsung terlihat.

Rudi turunkan sedikit kerah V Neck Shinta, tanpa petunjuk dan arah jalan, dia pelintir puting Shinta dengan lembut.

 

Dari jaman kuliah, Shinta akan minta ampun kalau Rudi sudah melakukan hal ini.

Dulu di amphiteater, Rudi sengaja memanggil Shinta. Sebagai ketua laboratorium, Rudi punya kunci cadangan semua ruangan di Gedung Amphiteater dan Laboratorium yang terletak pada satu Gedung, yaitu Gedung C Universitas Wijaya Kasih.

 

Dulu belum diletakkan CCTV, maka Rudi bebas menggauli Shinta.

“Aku janji Shin, aku akan bertanggung jawab. Kau adalah perempuanku, tak boleh ada satu laki-lakipun menyentuhmu.”

 

Shinta selalu ingat janji Rudi. Setiap hari Rudi ada untuk Shinta. Puluhan bahkan mungkin ratusan kali, Rudi menggagahi Shinta dengan alasan suka sama suka. Rudi pintar mengatur waktu.

 

Hingga sampai akhirnya mereka wisuda pun, perbuatan bejat mereka aman terkendali.

Pihak kampus tidak tahu bila Amphitheater adalah hotel sewaan Shinta dan Rudi selama empat tahun mereka merajut kasih.

Pak Sigit dan Bu Tina sebagai orang tua Shinta pun tak pernah tahu bila Shinta sudah tidak bisa menjaga keperawanannya.

 

Pak Sigit yang sudah sibuk dengan keluarga barunya, hanya transfer uang setiap bulan untuk keperluan Shinta. Uangnya memang besar, kata Pak Sigit sebagai uang tebusan karena Shinta marah dengan perceraian Ibu dan Bapaknya, karena marah dengan perselingkuhan Pak Sigit dan Tante Hana.

 

Semenjak itu kebersamaan dengan Rudi menjadi alasan bagi Shinta bila Bu Tina mulai komplain. Shinta malas mendengar Bu Tina marah-marah, kesal bahkan seringkali kekesalannya dilemparkan ke Shinta yang tidak tahu menahu.

 

“Dasar anak setan kamu Shin, tengah malam baru pulang. Mau jadi apa kamu? Lonte?”

“Bu…ini Shinta, anak ibu. Tega sekali ibu katakan Shinta anak setan. Ibu boleh benci Bapak tapi tidak boleh benci Shinta bu. Kalau memang ibu keberatan Shinta pulang malam, kan bisa bicara baik-baik Bu.”

 

Shinta berlari ke kamar sambil membanting pintu hingga getarannya mencapai 5 Skala Richter saat seismogram dari mulut Bu Tina ikut berteriak.

“Woi anak bukan setan, pelan-pelan kalau banting pintu. Ibu tidak punya uang untuk ganti pintu dan jendela yang pecah.”

 

Shinta menangis deras, masa indah Shinta diambil paksa seketika.

Sebenarnya ibu sangat berbahagia saat menikah dengan bapak. Ibu sebagai anak yang broken home sulit untuk mencintai laki-laki.

 

Opah Sutoyo adalah pensiunan tentara. Beliau sangat ringan tangan. Seringkali Omah Ratni menjadi bulan-bulanan opah bila opah sedang kesal. Ibu sudah terlalu sering melihat lebam di tubuh omah.

 

“Ndapapa, ibuk lebam-lebam, tapi bapakmu itu setia ndo. Banyak perempuan yang mau sama bapak. Bapak tetap sama ibu. Anggap saja lebam ini penggantinya. Ibu ikhlas.”

 

Lebam bahkan tak jarang hidung omah berdarah saking keras opah menonjok omah, tak pernah satu kalipun omah berteriak atau menangis. Padahal opah seringkali berkata kasar selain juga ringan tangan.

 

“Hei tolol, suami pulang malah asik nyulam, haus nih, Buatkan teh manis !”

Kali lainnya, “Brengsek kamu jadi isteri ya, saya menyesal kawin sama kamu. Jadi isteri itu harus resik. Orang lain ingin punya rumah susah. Kamu ta kasih rumah besar malah berantakan.”

 

Begitulah kehidupan omah, bahkan aku masih menyaksikan perbuatan opah terhadap omah, aku dan ibu jengkel dibuatnya.

 

Rumah yang kami tinggali adalah rumah pemberian opah. Sampai akhir hayatnya omah dan opah habiskan waktunya di sini. Walau dengan banyak pertikaian. Opah dan Omah rupanya memiliki cinta sejati.

 Nyawa mereka direnggut saat mereka berdua habiskan malam takbiran di ujung kampung.  Saat itu hujan deras, opah yang terjebak hujan di pos ronda memanggil omah lewat telpon untuk segera bawakan payung ke pos ronda.

Di tengah perjalanan terjadi banjir bandang. Opah sudah melihat omah membawakan payungnya, kurang lebih 3 meter menuju tempat opah berteduh banjir bandang meneggelamkan omah.

Opah kaget bukan main, dia berlari untuk menarik omah, namun naas kaki opah tersangkut pada kawat yang opah buat untuk menangkap tikus di rumah yang baru saja dia buat bersama teman-temannya. Omah hanyut dan opah tenggelam Bersama kawat berduri untuk tikus di rumah.

Semenjak ditinggalkan opah dan omah, kami hanya berdua di rumah.

 

“Seandainya opah dan omah sudah tidak ada dari kita menikah, mungkin sekarang aku masih sama kamu.” Bapak berseloroh.

“Jangan kamu kira aku tergiur perkataanmu, kau bohong atas alasanmu. Sudahlah kau akui saja bahwa Hana telah membuatmu buta.”

 

Perceraian Pak Sigit dan Bu Tina tidak saja menghancurkan hati Bu Tina, tapi juga hati Shinta. Orangtua Rudi keberatan bila anaknya menikah dengan Shinta.


“Rud, biasanya kalau orangtua bercerai nanti anaknya pernikahannya tidak langgeng”

“Itu kan mitos bu. Ibu tahu sendiri alasan Bu Tina bercerai bukan?”
“Justru itu, ibu tahu bahwa Pak Sigit menikah lagi dan Bu Tina seperti orang gila sekarang. Yang kaya itu Opah dan Omahnya, bukan Bu Tina. Nanti kalau kamu menikah dengan Shinta, uangmu akan habis oleh mereka. Ibu sudah tidak akan kamu bagi lagi.”
“Ya Allah bu, kok ibu punya pikiran begitu.”

“Terserah, pokonya ibu tidak setuju. Besok Bukde akan ke sini. Kau ingat Bukde Tika saudara jauh bapakmu?. Dia itu punya anaknya nama Meta, baru lulus s2 di Australia dan sekarang bekerja di sana. Coba kamu bayangin, bangganya ibu punya menantu lulusan luar negeri.”

 

Rudi bingung, bagaimana cara memberitahu Shinta. Sementara shinta sudah dia lumat habis keperawanannya.

 

3 September 1999, Rudi melepaskan Shinta dan menikah dengan anak Bukde Tika.

Tak ada tawa, tak ada bahagia. Wajah Shinta yang menangis memerah telah terpatri di ingatan Rudi. Bahkan sampai pada akhirnya Rudi berhubungan badan dengan anak Bukde Tika ini, Shinta mengisi di dalamnya. Hanya Shinta yang dapat membuat Rudi kelojotan. Hanya Shinta yang bisa membuat Rudi tertawa terbahak-bahak.

 

*

Shin, tidurmu lelap sekali. Aku ada meeting pagi, maaf aku duluan ya sayang, kamu kalau mau stay, silakan. Nanti siang setelah meeting aku temui lagi di sini. Oiya, ada amplop di laci, buat kamu dan ibu ya.

 

Shinta ambil amplo coklatnya, selembar cek bertuliskan seratus juta rupiah.
Hah, gila si Rudi buat apa seratus juta.Bodo amat deh, uang ini bisa aku pakai untuk beli oleh-oleh besok ke Bali.

 

Tepat saat matahari di atas ubun-ubun, Shinta telah sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Bandara pertama juga tempat yang pertama kali Shinta singgahi.

 

Shinta buka aplikasi GoKil, Go Keliling. Dia ketik di kolom tujuan, Stones Hotel.

Selang berapa lama, driver yang ditunggu telah datang.
“Bu Shinta ya, bu saya sudah sampai di titik”

“Oke, saya tunggu di gate 3 bawa koper Abu dan baju putih serta rok batik ya”

“Siap…”

 

Bang Jali namanya, kelak dia yang menemani Shinta keliling Bali sampai akhirnya malah ikut pulang ke Betawi.

“Ibu mau meeting ya, rapi sekali”

“Hmm iya bang”

“Jam berapa mulai meetingnya bu?. Bali kalau jam segini agak padat dan tidak bisa kebut.”
“Oh santai saja”

“Hmm ibu pembawa acaranya yah, makanya ibu santai”
“Iya bang”

 

45 menit, sampailah di The Stones Hotel, Shinta belum tahu paras Robert, pelanggan virtualnya. Yang dia tahu, Robert sudah transfer seratus lima puluh juta melalui rekening Tanti managernya , untuk 3 malam.

 

“Bu Shinta, ini nomor HP saya, kalau ibu mau berkeliling setelah meeting hubungi saya saja ya bu, dijamin murah sesama orang Jakarta bu”

“Oke Jali terima kasih ya”

 

Kamar 303, perjanjiannya adalah Robert akan datang lebih dulu.

Shinta perbaiki bajunya. Dia tekan bell. Tak lama terdengar suara kaki dari dalam. Itu pasti Robert.

 

“Shin…”

“Loh kamu…”

“Hmm, ini hmmm ngapain kamu di sini?”

“Robert , aku mau bertemu Robert. Mana Robert?”

“Aku. Aku Robert Shin.” Rudi menunduk dan menarik tangan Shinta.

Shinta terperanjat, tidak percaya dengan yang dia lihat dan dia dengar.

 

“Anjing kamu ya, brengsek. Katamu ada meeting dengan pemilik café, kamu tinggalkan aku begitu saja persis saat kamu tinggalkan aku waktu kamu menikah dan sekarang rupanya kamu bermain gila lagi dengan perempuan dan itu aku, Ayu.”

“Sorry Yu, eh Shin. Aku tak bermaksud hmm’”

“Diam kamu setan. Aku benci sama kamu. Katamu kau akan menikahi aku setelah kau urus perceraianmu dengan dia. Pembohong”. Shinta murka, dia tak bisa tutupi amarahnya, uang serratus lima puluh juta yang sudah di transfer melalui Tanti dan serratus juta rupiah yang disimpan di laci sungguh tak bernilai.


Shinta berlari, namun Rudi alias Robert berhasil menahannya. Rudi kalap lantas tak sengaja Rudi menampar Shinta, sialnya Shinta balas menampar Rudi yang kemudian Rudi hilang kendali dan dicekiknya leher Shinta.

 

Tangan kanan Shinta masih memegang handphone, tangkapan layar terlihat bahwa Shinta sedang menyimpan nomor Bang Jali, tak sengaja pula jempol shinta menekan tanda hijau dan tersambunglah pada Bang Jali.


“Arghh, arghhh … aaammmmpuuun Rud”
“Kamu pikir kamu saja yang bisa kasar?”
“Aammmmm…”

 

Bang Jali yang masih mangkal di sekitar The Stones Hotel panik. Dia bergegas menuju resepsionis dan melaporkan bahwa ada kekerasan di salah satu kamar hotel namun Bang Jali tidak tahu kamar nomor berapa.

 

“Mba…aku cari temanku”
“Nggeh mas, kamar nomor berapa”
“Aduh aku lupa, tadi lo yang pakai rok batik, baju putih bawa koper abu-abu. Dia harusnya meeting tapi sepertinya dia dalam kesulitan”
“Nggeh mas, meeting di ruang mana ya”
“Oh, aku tahu bukan kamar tapi ruang meeting. Tolong antar aku ke ruang meeting!”

“Maaf mas, hari ini Ruang Meeting tidak ada yang menggunakan karena kami sedang memperbaiki seluruh AC di ruangan meeting.”

“Ah lama kamu, sini-sini lihat CCTV!”
“Nggeh mas, kalau kepepet begini, saya bisa perlihatkan dibantu security ya”
“Aduh cepet dong, keburu mati teman saya.”

 

Mba Resepsionis dan Pak Security perlihatkan CCTV, karena berlum terlalu lama maka Bang Jali bisa segera mengenali Bu Shinta.

 

Kamar 303, terlihat CCTV menelusuri Bu Shinta.

 

Tok tok tok…

Tok tok tok..

Dor dor dor…

 

Bang Jali menggedor kamar, terdengar sayup suara perempuan berjuang menyelamatkan diri. Atas ijin Pak Security akhirnya Bang Jali meminta mendobrak pintunya.

 

Pintu terbuka, dan terlihat Bu Shinta sudah berdarah-darah kena pecahan gelas dari “welcome drink”, baju putihnya sobek dan rok batiknya menjadi berenda-renda

Terlihat jelas paras ayu Bu Shinta berubah menjadi ketakutan sambil kedua tangannya dia silangkan menutupi bra yang sudah hampir terlepas.

Mba resepsionis segera menutupi Bu Shinta dengan selimut hotel lalu ditenangkannya Bu Shinta yang terus-terusan menangis.

 

Ini bukan kali pertama aku melayani nafsu bejat laki-laki. Tapi kali ini sungguh sangat menyakitkan hati. Sampai saat ini hanya aku, Tuhan dan mereka yang tahu pekerjaanku. Aku merasa sangat kotor tatkala mengingat keperawananku di ambil oleh Rudi. Bertahun-tahun mencoba sembuhkan luka. Bertahun-tahun menunggu kehadiran Rudi yang tak pernah kunjung ada dan bertahun-tahun aku berharap Rudi kembali.

 

Rudi memang kembali. Ada harap yang sempat tertunda untuk mengikat satu ikat akad. Ada janji yang membuai hati hingga aku tetapkan bahwa pertemuanku dengan Robert adalah perbuatan bejatku yang terakhir. Aku lelah melanglangbuana. Aku lelah melakukan drama tertawa di atas ranjang yang berulang. Aku lelah saat menyadari bahwa keringatku hanyalah hasil sebuah umpat bukan semangat yang teramat kasat.

 

“Dasar anak setan, dia yang menghancurkan hidupku dulu dan sekarang dia pula yang melenyapkan segala mimpi senyap yang sempat kudekap erat”

“Sabar Bu Shinta. Tuhan punya makna atas segala yang Bu Shinta alami”

“Aku cape Jali. Hidupku selalu begini.”
“Kenapa ibu tidak menikah saja?”
“Gila kamu Jali. Aku ini pelacur. Mana ada yang mau nikah denganku. Mereka hanya mau berkawin denganku. Menyemburkan segala hasrat membuncah mereka. Membayarku semau mereka. Aku hanya tempat manusia anjing bersenggama”

“Ibu adalah perempuan baik. Ibu hanya terlalu takut mengalami perbuatan laki-laki seperti kakek dan ayah ibu. Suatu saat ibu akan kesepian. Saat tak ada pasangan yang menemani. Tak ada tawa dan canda anak-anak di rumah. Sungguh Tuhan Maha Pemberi Ampun.”

 

Bu Shinta nangis sesenggukan, rupanya luka yang dia alami terlalu dalam. Tatapan matanya kosong. Ya Tuhan, entah aku harus bersyukur atau hanya ikut meratapi. Kejadian Bu Shinta telah membuatku bisa kembali ke rumah. Aku yang tak pernah mampu dan tak punya biaya tiba-tiba diberi kemudahan oleh Tuhan melalui Bu Shinta. Sementara Bu Shinta yang ada di sampingku terus-terusan menyalahkan dirinya dan sesekali menyeka air matanya lalu melemparkan pandangan ke luar jendela pesawat.

 

“Jali, tadi katamu kamu punya kenalan yayasan yatim piatu?”
“Iya bu, rumah di Jakarta merangkap yayasan”

“Bawa aku ke rumah ibumu. Siapkan aku seorang anak kecil.”
“Ibu Shinta mau adopsi bu?. Mereka tetap tidak sedarah dengan ibu.”
“Kalau sedarah hanya dapat membuat Lelah, aku rasa tidak terlalu penting untukku “

 

*

“Tumbuhlah kamu menjadi gadis sayang sangat periang, mama memberi namamu Kasih karena kamu adalah kasih mama yang tak bertepi. Semakin kamu besar, paras cantikmu semakin mirip mama. Itulah alasan mama selalu percaya diri untuk memperkenalkanmu sebagai anak kandung mama.”

“Ya Ampun Ma, sungguh aku beruntung telah diberi mama sehebat ini. Tidak pernah terbersit perasaan aneh selama aku menjadi anak mama. Terima kasih ya Ma.”

 

Ingin aku teruskan perkataanku, namun aku takut membuatnya tersinggung. Tak elok bila aku sakiti hatinya, menambah luka yang sudah mulai mengering. Namun aku tak punya pilihan lain. Aku tak mau dengan cerita mama yang sudah Panjang lebar disampaikan membuatku menghentikan langkah menempuh hidup Bersama Mas Har.

“Maaf Ma, aku tahu saat ini Mama hanya punya aku dan nenek. Aku dan nenek sangat sayang sama Mama. Aku sangat berterima kasih atas sayang mama dan nenek yang tak pernah habis untuk aku. Tapi aku harus melangkah. Aku akan menikah dengan Mas Har.

 

Plak…Plak.

“Ya Tuhan Mama. Kenapa menampar Kasih. Apa salah kasih?”

“Tidak ada laki-laki yang benar Kasih. Jangan kau buang perawanmu untuk laki-laki. Atau jangan-jangan kau sudah tak perawan hah?”

“Demi Allah, aku masih perawan. Aku jaga baik-baik seperti yang mama dan nenek ingatkan.”

 

Kulihat nenek menutup telinganya sambil memejamkan matanya. Ada luka yang kembali menganga. Ada tangis yang terpendam.

 

“Kasih…menikahlah nak. Jangan kau dengarkan ibumu. Nenek percaya kebaikanmu akan mengehentikan perjalanan kelam keluarga ini”

“Tidak, aku bilang tidak. Asal kamu tahu ya Kasih. Omah pada akhirnya bercerita bahwa lebam di seluruh tubuhnya bukan semata karena opah terlalu pemarah, bukan karena opah terlalu arogan sebagai lelaki. Tapi karena omah tak pernah ijinkan opah untuk menikah lagi.”

 

Aku tak bisa berkata apa-apa. Saat ini telingaku yang aku gunakan, mulut kubiarkan terkunci. Aku tahu Bu Shinta sedang meluapkan masa lalunya. Yang membuat dia menjadi pribadi menyeramkan, yang terlalu merasa hidupnya bisa sendiri dan tak perlu lelaki dalm hidupnya. Kecuali Bang Jali yang sampai saat ini selalu rutin datang ke rumah untuk sekedar memperbaiki dan mempercantik rumah Bu Shinta atau sekadar mengantar nenek dan Bu Shinta jalan-jalan keliling Jakarta.

 

“Lihat perempuan itu Kasih. Dia menjadi pesakitan. Dia menutupi lukanya dengan tawa, dia pendam segala rasa sakitnya dan dia tumpahkan padaku bertahun-tahun. Seandainya dia tidak bercerai pasti aku sudah menikah dengan Rudi. Pasti aku tetap menjadi Shinta yang menyenangkan, pasti aku masih bahagia. Karena dia aku begini. Dia tak becus jadi perempuan. Pantas saja bapak pergi, mana ada laki-laki yang dibiarkan melayani diri sendiri, apa-apa dilakukannya sendiri. Bukan karena kesal dengan omah dan opah, tapi dia tak bisa menjadi perempuan yang layak untuk disebut istri.”

“Dasar anak setan kamu Shinta. Ibu menyesal punya anak kamu”

 

Tuhan, pertunjukkan macam apa ini. Kenapa semua menjadi begini. Rupanya di balik bahagia bertahun-tahun ada luka yang sulit mengering. Ada kesalahan yang masih dipersalahkan. Ada pengakuan yang masih diperdebatkan.

 

“Persetan sama ibu. Kasih, aku tak ijinkan kamu menikah. Kau boleh manfaatkan pacarmu, habiskan saja uangnya, hancurkan saja hidupnya. Jangan kau biarkan satu laki-lakipun bahagia. Tolol kamu ini. Mukamu cantik kenapa harus cari laki-laki yang baru selesai kuliah dengan gaji tak seberapa hah?”

“Mama….”

“Apa, kau mau bilang apa?”

“Aku seperti tak mengenalmu. Kesantunanmu mendadak hilang. Aku sedih”

“Alah, kau sendiri penyebabnya. Sudah sudah, sana kamu pergi. Ingat kau bisa gaet banyak laki-laki kaya raya. Kau hancurkan mereka semua seperti yang sudah dilakukan Opah dan Pak Sigit.”

 

Aku palingkan mukaku ke arah Nenek. Ada rasa yang tak terjemahkan dari raut muka nenek. Aku berlari kearahnya.

“Kasih, kamu harus percaya kebaikan. Dulu Nenek pernah menyangsikannya. Percayalah Tuhan Maha Baik. Cara Tuhan berbeda-beda.”
“Maksud nenek?”
“Kau tahu, bahwa Pak Sigit pada akhirnya bangkrut, mengakhiri hidupnya di penjara karena kebiasaan berjudi yang tak bisa dihilangkan. Tuhan menyelamatkan nenek. Sekalipun nanti kau harus menikah tidak sekali. Bukan berarti buruk. Ketahuilah bahwa rencana Tuhan selalu baik.”

“Nenek merasa baik-baik saja?”

“Iya, Tuhan ciptakan persimpangan, Tuhan ciptakan persinggahan tentu tidak asal-asalana. Ada tujuan di situ. Percayalah nak. Nenek doakan yang terbaik.

“Terima kasih Nek. Akan aku hentikan tali murka Bu Shinta. Akan kurajut dengan keindahan, seandainya keindahan akan berujung sendu, biarkan aku mengadu padaNya.”

 

Ting tong…

 

Wangi Montblanc Legend, kembali melucuti ingatan Bu Shinta.

“Selamat pagi bu, saya Hardi. Kasih ada bu?”

 

Aku segera turun, tak akan kubiarkan Hardi menunggu. Kuhentikan langkahku. Nenek menangis dan mendekap erat Hardi lalu persis di sudut jendela, kulihat Bu Shinta menatap tajam Hardi.

 

“Ada apa ini?”
“Kau mengenal mama dan nenekku?”

“Tidak, hatiku yang menggiringku untuk mengenalnya. Mereka mama dan nenekku.”
“Hardi ini sangat tidak lucu. Maksudmu karena kau akan mengawiniku maka mereka menjadi orang tuamu, begitu kan?”

“Tidak, bukan begitu’”

 

“Kasih, tiga bulan setelah Rudi menikah, aku baru mengetahui kehamilanku. Rudi sulit untuk aku temui dan orang tuanya menolak kehadiranku dan anak dalam perutku.”

 

 Bu Shinta diam. Tatapannya dia alihkan pada Hardi.

“Sejak saat itu, aku sebut terus Shinta sebagai anak setan yang menjadi terbujuk setan hingga akhirnya dia simpan benih anak setan lainnya. Shinta sempat dirawat di rumah sakit jiwa. Dia tak sanggup menaggung malu. Hingga akhirnya Hardi lahir dan aku titipkan pada teman lamaku di Wates.”

“Maksud nenek?”

“Iya, Hardi menjadi laki-laki baik. Ibu tak mau pertemukan Hardi dan Shinta, ibu takut Shinta kembali kalap, kembali meluap amarah dan melukai Hardi. Maka ketika Hardi di sini, tanpa ijin ibumu, nenek ijinkan kalian menikah. Kalian manusia baik. Menikahlah”

 

Aku tak sanggup berkata apa-apa, apakah aku yang menjadi penyambung? Atau justu Hardi yang menyebabkan semua kembali tersambung? Atau Tuhan punya maksud lain untuk memutus rantai gila dan kebencian Bu Shinta?

 

Akan kutempuh perjalanaku, baik atau buruk, Tuhan sang sutradara.

#Bandung, 16 April

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.