Hadits Misoginis

Banyak cara yang dilakukan kelompok feminisme untuk merealisasikan misinya sehingga menimbulkan paradigma baru atas dasar bahwa agama islam selama ini berifat Androsentris (Berpusat pada laki – laki ).

Hadits Misoginis

KONTROVERSI HADITS MISOGINIS

Perlu kita ketahui bersama bahwa pada saat ini marak dikalangan masyarakat muncul gerakan isu – isu penyamarataan gender antara laki – laki dan perempuan. Gerakan tersebut tumbuh bukan hanya dari kalangan masyarakat barat saja, akan tetapi banyak juga tumbuh dikalangan masyarakat muslim saat ini yang memang pada dasarnya islam sendiri sangat menentang gerakan ini. Gerakan inilah yang disebut dengan gerakan pemahaman Feminisme.

 Feminisme berasal dari bahasa Inggris femenism yang berarti keadaan kewanitaan.4 Kamla Bhasin dan Nighat Sa’îd Khan mengatakan, bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, ditempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.

Banyak cara yang dilakukan kelompok feminisme untuk merealisasikan misinya sehingga menimbulkan paradigma baru atas dasar bahwa agama islam selama ini berifat Androsentris (Berpusat pada laki – laki ). Maka jelas kelompok feminisme sangatlah gentar untuk menyebar luaskan pemikiran mereka dengan dasar penyamarataan gender pada strata sosial masyarakat.

Jika kita berkaca pada sejarah yang terjadi pada abad 18, ternyata pemahaman kesetaraan gender sudah dipublikasikan oleh seorang intelektual yang bernama Qosim Amin melalui buku yang dia tulis dengan judul “ Tahrir Al – Mar’ah”  ( Pembebasan Perempuan ) dan dilanjutkan oleh zia Goklap serta tokoh – tokoh muslim lain dari penjuru dunia. Akan tetapi hal tersebut banyak sekali yang menentang termasuk juga dari kalangan perempuan itu sendiri.

Dari karya – karya itulah muncul hadits yang dinamakan dengan hadits misoginis, yang artinya hadits – hadits yang merendahkan martabat kaum wanita dengan alasan bahwa Rasul tidak mengajarkan kepada umatnya seperti itu.

  1. Feminisme dan Hadits Misoginis

Kelompok feminisme berpendapat bahwa banyak hadits – hadits dhoif yang menjadikan dasar pemahaman mereka. hadits tersebut adalah hadits misoginis, antara lain adalah:

 

لن ینجح قوم ولوا أمرھم امرة. (رواه البخاري)

“Orang-orang yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan tidak akan pernah mengenal kemakmuran”. (HR. Bukhari)

 

یقطع الصلاة المرأة والحما ر و الكلب الأسود. (رواه البخاري)

“Anjing, keledai, dan perempuan akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela dirinya antara orang yang shalat dengan kiblat”. (HR. Bukhari)

إنما الطبرة في المرأة و الدابة و الدار (رواه البخاري)

             “Ada tiga hal yang membawa sial, yaitu; perempuan, kuda dan rumah.” (HR. Bukhari)

Maka dari penggalan hadits tersebut dilakukanlah kritik matan yang menyimpulkan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya hadis-hadis misoginis, yaitu:

1. Berbohong atas nama Rasulullah, disengaja atau tidak disengaja, seperti terjadi pada hadis “perempuan, keledai dan kuda yang membatalkan shalat”.

2. Tidak mampu memahami hadis secara filosofis dengan mengabaikan aspek-aspek    kentekstualnya. Seperti hadis “tidakakan beruntung suatu kaum, yang dipimpin oleh seorang perempuan.”

3. Sahabat periwayat hadis tidak memahami sabda Rasulullah secara komprehensif, tetapi menyampaikannya juga. Hal mana terjadi pada hadis Abu Hurairah, tentang hadis “perempuanpembawa sial”.

Artinya hadits – hadits tersebut mempunyai fakta sejarah yang berbeda dan dapat dipertanggung jawabkan.

  1. Konstruksi Autentikasi Muhaddisûn

Kata hadits berasal dari bahasa ’Arab; al-hadîts, jamaknya, al- ahâdits, al-hidtsân dan al-hudtsân. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti di antaranya; ”al-jadîd” (yang baru) lawan dari ”al-qadîm” (yang lama), dan ”al-khabar” (kabar atau berita). Dalam istilah ilmu hadits yang berarti semua hal yang ada pada diri Rasul dari qoul ( Perkataan ), Filun ( Perbuatan ), Sifat dan taqrir, itu adalah hadits.  Akan tetapi mempersoalkan apakah suatu hadis berasal dari dan betul-betul dikatakan oleh Nabi adalah persoalan lain. Harus ada pembedaan yang jelas antara mengingkari Muhammad sebagai Rasul Allah dengan meragukan apakah suatu hadis itu betul-betul darinya.

Ulama hadis telah menetapkan lima syarat bagi sahihnya sebuah hadis. Kelima syarat tersebut, tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawi-nya juga harus dhâbit dan thiqât, inilah yang dimaksud dengan kritik eksternal.

 Sedangkan yang berkaitan dengan matn, adalah keharusan tidak adanya syâdz dan ’illat. Hal yang kedua ini termasuk kritik internal dengan melihat kriteria, yaitu:

 

  • formasi kata, termasuk kehalusan kata-kata yang dipilih Nabi;
  • makna hadis tidak bertentangan dengan akal sehat manusia, ilmu pengetahuan yang teruji dan sunnah Allah;
  • kesesuaian dengan nash al-Qur’ân dan hadis mutawâtir.

 

 Seleksi tersebut dilakukan dengan maksud mencari hadis yang dipandang shahih untuk bisa diamalkan (ma’mûl bih) dan menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghair ma’mûl bih). Dari seleksi tersebut muncullah kategori-kategori hadis shahîh, hasan dan dha’îf

 

Pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telah dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para perawi, sehingga muncullah cabang ilmu hadis yang disebut dengan al-jarh wa al-ta’dîl. Yakni persyaratan bagi seorang râwi dalam kaitannya dengan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkannya. Al-jarh mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang menjadi dasar riwayatnya ditolak. Sedangkan al-ta’dîl mengandung pengertian yang berkaitan dengan ’adalah al-rawî (sifat adil perawi), atau penyebab riwayat seorang rawi dapat diterima.

  1. Hadis Misoginis menurut Muhadditsûn.

Upaya kritik hadis yang dilakukan kelompok feminism untuk utentikasi ”hadis kepemimpinan perempuan” dan ”hadis thalaq” patut dihargai.

 

  1. Hadis kepemimpinan perempuan.

Dalam penelitian terhadap ketiga hadis tersebut terlihat dengan jelas bahwa kelompok ini tidak dapat melepaskan diri dari pandangan minornya terhadap matan hadis tersebut akibat dari faham feminis yang memang sangat sensitif dengan segala sesuatu yang berbau ketidakadilan gender. Oleh sebab itu, penelitiannya berangkat dari asumsi bahwa tidak mungkin Rasulullah SAW yang sangat menghormati dan memuliakan kaum perempuan menyatakan hal yang membenci perempuan.

 

  1. Hak Thalaq Perempuan.

Kebolehan khulu’secara tegas disebutkan dalam al-Qur’ân, sebagai berikut:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ یُقِیمَا حُدُودَ اللهَّ ِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَیْھِمَا فِیمَا افْتَدَتْ بِھِ تِلْكَ حُدُودُ اللهَّ ِ فَ لاَ تَعْتَدُوھَا وَمَنْ یَتَعَدَّ حُدُودَ اللهَّ ِ فَأُولَئِكَ ھُمُ الظَّالِمُونَ

 

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum- hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Dalam konteks ini Amina Wadud mengatakan bahwa perempuan juga punya power yang iquel dalam masalah perceraian yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan tidak ada indikasi dalam al- Qur’ân yang dapat disimpulkan bahwa seluruh kekuasaan dalam perceraian dapat dihilangkan dari perempuan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa hadis thalaq riwayat ibnu Majah, sebagaimana disebutkan di atas, tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melarang isteri menuntut cerai kepada suaminya, karena matan hadis tersebut bertentangan dengan surat al-Baqarah ayat 229.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.