Kami Juga Bisa Diandalkan

Kami Juga Bisa Diandalkan

"Sepertinya aku mendengar suara isak tangis dari dalam rumah," ujar serumpun serai yang berumah di pojok.

"Iya, itu suara tangis Ibu," balas pandan gusar.

"Aduh ada apa, ya? Kenapa selalu aku mendengar suara tangis Ibu akhir-akhir ini?" gumam pohon kunyit berbisik.

"Kelor, kau yang paling tinggi di antara kita. Bisakah kau mengintip apa yang terjadi di dalam sana?" pinta kemangi dengan gelisah. Ia mengoyangkan daunnya hingga aroma semerbak tercium dari tiap daunnya.

"Aduh, kau tak lihat? Jendela menuju kamar sudah sejak tadi ditutup. Tapi aku mendengar seperti suara tamparan," balas kelor si pohon tertinggi di kebun ini.

"Biasanya bila cuaca hujan dingin seperti ini, Ibu akan keluar ke kebun mengambil jahe untuk dijadikan wedang, kadang juga memetik aku sebagai tambahan minuman penghangat tubuh itu. Tetapi sudah hampir seminggu ini hal tidak pernah dilakukannya," ujar serai risau. Bila tanaman rempah ini risau akan terdengar gemerisik dari gesekan daunnya yang panjang dan memiliki bulu halus.

Serikat kebun sangat risau karena sering mendengar suara isak tangis Ibu akhir-akhir ini, dan tak jarang pula tangis itu disertai suara bentakan serta pukulan dari dalam rumah besar itu. Entah apa yang terjadi, tetapi seluruh penghuni serikat kebun menjadi sangat risau karenanya.

*****

Matahari masih tampak sedikit, suara pintu berdecit tanda ada orang yang akan keluar menuju halaman belakang. Seluruh penghuni serikat kebun menjadi harap cemas menanti siapa yang akan keluar.

"Aku sudah bilang jangan pikirkan apapun, bila rumah ini terjual kamu akan aku belikan rumah yang lebih bagus dari ini!" Suara lantang itu terdengar emosi.

"Tapi aku tidak mau pindah ke manapun, aku mau tetap di sini," balas suara wanita dengan tak kalah emosi.

"Kamu berani melawan? Kamu pikir kamu bisa hidup di sini sendiri? Kalau kamu tidak mau nurut suamimu, aku tak akan bertanggung jawab apapun terhadapmu!" Lagi-lagi suara lelaki itu terdengar sangat marah.

"Mas, sudah lama sekali aku hidup sendiri di sini, dari rumah ini seperti kandang sapi aku merawatnya, aku menghabiskan waktuku seluruhnya untuk rumah ini. Kamu ada di mana? Ke mana kamu pergi? Aku tidak pernah tahu. Jadi kalau saat ini kau mengatakan akan meninggalkan aku, itu sudah terlambat karena aku merasa kamu sudah meninggalkan aku lama sekali. Dan sekarang kamu kembali untuk menyuruhku menjual rumah ini? Karena kamu sudah bangkrut? Uangmu kamu habiskan untuk berfoya-foya entah dengan siapa? Maaf sekali, tapi aku tidak akan mau menjual rumah ini sampai kapanpun," balas perempuan itu dengan suara lantang.

Seluruh penghuni serikat kebun mendengarkan percakapan itu dengan tegang. Mereka juga berharap, agar lelaki yang mengaku sebagai suami itu pergi dari rumah ini.

"Kurang ajar kau! Berani melawan!"

Plak! Plak!

Suara tamparan keras, lalu suara jeritan yang terdengar sangat memilukan. Serikat kebun terkejut serentak, namun kemudian berpikir keras bagaimana menolong Ibu yang sedang disiksa di dalam rumah. Mereka berdebat seru dan saling melontarkan ide-ide cara untuk melakukan misi pertolongan itu.

“Kita bukan manusia! Kita tidak bisa berjalan dan masuk ke dalam!” ujar serai.

“Aku tahu, kita semua tahu. Tapi tidak adakah cara untuk menolongnya?” Kemangi tampak frustrasi.

“Ya! Kita nggak bisa diam saja!”

Kelor angkat bicara. “Kita harus memanggil orang lain. Kita harus mendatangkan orang untuk menolong Ibu.”

Jahe mengeluh keras-keras, “ya, tapi bagaimana caranya?”

“Kurasa kita harus buat suara. Aku lihat tetangga sebelah belum pergi bekerja, tapi ia pasti sudah bangun.” Kelor sekali lagi memastikan dengan sedikit melongok ke halaman rumah sebelah.

“Bagaimana kita membuat suara?”

“Kita bisa menggoyangkan daun dan membuat bunyi gemerisik,” ujar Kelor.

Serai membantahnya, tapi kemudian menyertakan solusi. “Tidak! Itu kurang kencang. Setidaknya harus yang membuat mereka terkejut.”

“Uh, aku tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi akan kucoba mematahkan ranting dan … dan menjatuhkannya ke atas atap seng.”

Mereka semua sontak mendongak memandang jambu yang akhirnya bersuara.

“Apa kau yakin?” tanya kelor cemas. Ia tahu mematahkan ranting bukanlah perkara mudah. Selain itu, setelah patah jambu harus menanggung sakitnya juga.

Ia tahu teman-temannya tampak khawatir, tapi jambu mengangguk mantap. Ia tersenyum. “Aku yakin. Aku juga tidak ingin Ibu meninggalkan kita. Aku pun ingin lelaki itu tidak lagi menyakiti Ibu.”

“Jambu kau baik sekali, tapi kau harus perhitungkan segalanya. Jangan sampai rencana ini gagal. Dahanmu harus patah di tempat yang tepat.” Kelor memperingatkannya untuk cermat menjalankan misi mereka.

“Baik. Kalian percayalah padaku.”

Jambu mulai beraksi. Ia menunggu angin paling kencang berembus. Ketika saat itu tiba dengan satu gerakan dibuat ranting pohonnya yang penuh buah patah menimpa atap seng garasi rumah Bu Yuli tetangga sebelah. Sontak suara patahan ranting yang menimpa atap membuat penghuni rumah sebelah kaget dan terbangun.

Melihat ranting jambu yang patah membuat Bu Yuli dan suaminya keluar rumah.

"Mbak Aning! Mbak Aning! Assalamualaikum, Mbak Aniiiing!" Suara teriakan Ibu Yuli memanggil nyaring.

"Mbak, pohonnya rubuh, lho. Biar dibantu Mas Arya beresin," ujarnya lagi dengan berteriak dari depan pagar.

Sementara Ibu Aning dari dalam mendengar teriakan Ibu Yuli langsung berlari ke arah belakang melewati kebun dan berteriak minta tolong. Ia juga memanfaatkan keadaan suaminya yang kaget akibat bunyi patahan ranting.

"Mbaak! Tolong saya ... tolong saya Mbaaak!" Teriak Bu Aning dengan mata biru lebam dan dari hidung yang berdarah.

Kaget melihat kondisi Ibu Aning yang berusaha berlari dari dalam maka Bu Yuli berteriak histeris. “Toloong! Toloong!”

Teriakan keras itu membangunkan warga kompleks hingga dalam hitungan menit banyak orang sudah berkumpul di depan halaman rumah. Pagar dibuka paksa oleh bapak-bapak. Ibu Aning dibawa ke rumah sakit, sementara Pak RT mengamankan lelaki yang menyiksa Bu Aning dan menyerahkannya pada polisi untuk diproses.

Sementara itu, tanpa mereka ketahui suara gemerisik daun dan beberapa helai mereka yang jatuh adalah pertanda warga serikat kebun bersorak-sorai memuji kehebatan pohon jambu, yang rela mematahkan dahannya demi menyelamatkan nyawa Ibu Aning.

"Gilaaa! Kamu hebat jambu, pasti rasanya masih perih, ya? Karena kamu mematahkan dengan paksa dahanmu," ujar pohon mangga prihatin sekaligus bangga pada temannya.

"Tak apa, aku tidak bisa tenang mendengar suara Ibu Aning disiksa," balas pohon jambu.

"Terima kasih Jambu, kami akan mengingat pengorbananmu," ujar kunyit dan jahe serempak.

Sebenarnya sudah sejak semalam para serikat kebun berpikir bagaimana bisa membatu Ibu Aning yang disiksa oleh suaminya. Sebab rumah Ibu Aning seminggu ini sejak kedatangan lelaki itu terkunci rapat, tak ada celah bagi orang bisa masuk. Bahkan suara jerit kesakitan Ibu Aning hanya terdengar sayup, itupun cuma didengar oleh warga serikat kebun.

Seminggu pula Ibu Aning tidak pernah berbenah di kebun, semua aktivitas terhenti. Seolah-olah ia disekap dalam rumahnya sendiri. Baru semalam jeritan memilukan sangat terdengar nyata dan seluruh warga serikat kebun sangat kasihan mendengar suara itu.

Wanita yang selama ini rajin memberi mereka air untuk kesuburan. Yang selalu menyediakan waktu untuk merawat semua tanaman di kebun, menambahkan pupuk sebagai nutrisi agar menjadi subur, juga rajin sekali mengajak mereka bercengkrama dengan kasih seperti anaknya sendiri. Maka saat inilah waktunya warga serikat kebun membalas segala budi baik Ibu Aning dengan bersama-sama menolongnya untuk terlepas dari siksaan lelaki jahat yang berniat menjual rumah mungil serta kebun asri milik Bu Aning, yang selama ini dengan susah payah dan cinta kasih merawatnya menjadi kebun asri dan bermanfaat.

*****

"Daunku sudah siap dipetik, semoga menjadi sayur yang penuh vitamin dan menyehatkan," gumam pohon kelor dengan melambaikan setiap daunnya yang hijau segar menggoda.

"Petiklah aku setangkai atau dua tangkai, campurkan aku dengan kelor pasti sayurmu akan lebih wangi menyelerakan, atau taruh aku dengan beberapa ikan segar lalu bungkus kami dengan daun pisang pastilah menjadi pepes ikan kemangi yang enak," teriak kemangi manja di pojok kebun, cara yang paling menggoda adalah dengan menggoyangkan tangkainya hingga menyeruak aroma wangi khas kemangi yang menggoda indera penciuman.

"Jangan lupakan aku, sudah lama aku tidak kau petik. Taruhlah aku beberapa batang pada kolak ubi atau pisang yang kau bikin pasti akan menambah nikmat, atau letakkan aku pada nasi yang sedang kau kukus, dan aku akan menghadirkan nasi dengan aroma pandan wangi alami," rayu pohon pandan hijau yang sangat membius mata.

"Jika cuaca dingin seperti ini jangan ragu, silakan cuil kami para rempah. Kami siap diracik menjadi minuman hangat menyegarkan," seru jahe, kunyit, dan sereh.

"Jangan lupakan aku! Walau tubuhku kecil mungil aku mampu membuat minuman kalian menjadi istimewa. Campurkan aku dengan wedang jahe atau sere kalian, juga celupkan aku pada teh pasti kalian akan menikmati aroma mint alami," teriak daun mint di pot putih yang daunnya tumbuh subur.

"Sabar, tunggu seminggu lagi baru kalian petik aku, agar buahku matang sempurna agar bisa menikmati manis alami serta segar pepaya yang kalian siram setiap hari," ujar pepaya yang tumbuh di tengah kebun.

Semua warga serikat kebun berlomba memberi yang terbaik untuk berterima kasih telah dirawat dengan penuh cinta. Ibu Aning duduk memandang kebunnya yang tertata rapi, subur dan asri. Seperti mengucapkan terima kasih telah mau menemani hari-harinya yang hidup sendiri.

“Mbak Aniing … ayo sarapan bubur dulu!” Terdengar suara khas Ibu Yuli yang datang menghampiri Ibu Aning dengan mangkuk di tangannya.

“Duuh, gak bawa sendok. Pakai daun pandan aja ya? Jadi sendoknya biar tambah enak,” sahutnya sambil memetik sebatang daun pandan di pojok kebun.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.