Ketupat Pertamaku

Seingatku, aku mengenal ketupat pas aku kecil, di desa.

Ketupat Pertamaku
Foto: Rizky Yogatama - unsplash.com

Seingatku, aku mengenal ketupat pas aku kecil, di desa.

Di rumah nenek, ketupat sudah pasti bikin sendiri, termasuk bikin selongsongnya.

"Baleni, Mbah, alon-alon," pintaku kepada nenek. Waktu itu aku masih kecil dan berusaha meniru bikin anyaman selongsong ketupat, seperti yang dikerjakan nenek.

Biasanya aku nimbrung ikut duduk di amben (dipan) di dekat pawon, tempat nenek menganyam ketupat.

Waktu itu, entah berapa kali aku mencoba membuat selongsong ketupat. Daun kelapa yang masih muda (janur) dililitkan di tangan kiri dan kanan. Setelah itu, sret sret sret. Jemari tangan kiri dan kanan bergantian menganyam. Taraa! Selesai. Tidak segampang menuliskannya, sih. Kadang aku berhasil mengayamnya, kadang tidak. Haha.

Ketupat dalam bahasa Jawa sering disebut kupat. Percakapan-percakapan yang kudengar di masa kecil menanamkan ingatan, bahwa kupat hanya diisi beras setengah dari kapasitas selongsong. Bagaimana mengisinya, berapa lama merebusnya, dll sebenarnya tak pernah benar-benar kulihat. Waktu itu aku hanya tertarik dengan anyaman selongsongnya. Serta tertarik memakannya saat sudah jadi ketupat, yang dipotong-potong, lalu diguyur opor. Yum!

Ternyata ketupat ada di (hampir) semua daerah di Indonesia. Di Bali, aku bahkan jatuh cinta sama yang namanya tipat cantok. Kupat dalam bahasa Jawa adalah tipat dalam bahasa Bali. Tipat cantok itu potongan ketupat yang disajikan dengan sayur rebus dan guyuran bumbu kacang. Ini makanan yang mudah didapat di mana-mana, dan vegetarian.

"Oh, gado-gado, ya? Ato ketoprak?" Mungkin orang akan menyamakan dengan menu yang mirip dari daerah lain, tetapi tipat cantok berbeda.

Sayangnya, demi kepraktisan, banyak pedagang tipat cantok yang membuat tipat dengan bungkus plastik. Memang, tetap ada sih yang bikin tipat yang otentik, dengan selongsong dari anyaman janur. Rasa dan aroma sudah jelas berbeda.

"Lho? Kok belinya ketupat kosong?" sambutku ketika menjelang malam suami pulang kantor nenteng selongsong ketupat.

Ketika itu menjelang Idulfitri tahun 2007. Kami tinggal di Bali, dan karena ada adik sepupu (yang datang dari Jawa untuk ngempu anak) maka aku mo masak opor ayam dan ketupat.

Resep dan trik bikin opor sudah kucatat baik-baik. Harap maklum, aku vegetarian dan pemasak minimalis. Aku belum pernah memasak daging sebelum itu. Jadi aku ngandalin bosku untuk mendapatkan resep dan trik. Adik sepupu itu, ga bisa masak. Lengkap, kan? Haha.

Niatan beli ketupat yang sudah jadi, ambyar, karena suami beliinnya selongsong ketupat. Nah!

Meskipun opor sukses kumasak, aku masih harus bikin ketupat. Doh

"Semangat, Ras! Selalu ada yang pertama untuk semua hal," kataku pada diri sendiri. Aku berharap cukup waktu untuk ketupatnya siap, karena aku bikin ketupat sudah malam.

Daaaan .... Jeng jeng! Setelah sekitar 3 jam kurebus, gas habis! Wkwkwk. Berhubung sudah malam, ya sudahlah. Pasrah.

Paginya, beruntung sekali si ketupat ga jelek-jelek amat. Belum sempurna, dan lembek, tapi lumayan bisa dipotong untuk nemenin opor. Yey!!!

Hingga kini, aku belum pernah bikin ketupat lagi. 

Sejak pindah ke kota kecil ini, tiap Lebaran kami berkunjung ke rumah Mbah No. Dia tukang serba bisa andalan di segala cuaca. Selalu ada ketupat di meja makan keluarga mereka. Kami memilih memadukannya dengan sayur pecel (bukan lauk hewani) yang terhidang di meja. Meskipun rada-rada ga nyambung sebenernya, tapi kami menikmatinya. Mbah No sumringah tiap kami berkunjung saat Lebaran dan sungkem. Yang penting cicip ketupat dan saling memaafkan. 

Selamat Idulfitri, teman-teman. Maaf lahir batin.

Maafkan kami, Mbah No, kami tidak berkunjung Lebaran dua tahun ini. Semoga pandemi segera usai.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.