Legacy: Kita Pasti Bisa

Legacy: Kita Pasti Bisa


Friends are God’s way to take care of us.

Dalam enam jam ini sudah dua kali aku menerima berita duka. Robin dikabarkan menghadap Yang Kuasa dalam tidurnya pagi tadi. Siang hari Riella seorang teman semasa kuliah menanyakan kebenaran berita itu. Belum selesai aku menjawabnya, tiba-tiba dia memberikan kabar duka yang lain: “Andam juga berpulang barusan Kak.” Padahal baru dua bulan lalu Andam membesuk suamiku dan tampak ceria sekali. Wanita hebat! Di balik keceriaannya tak tampak peperangannya melawan apa yang menggerogoti tubuhnya, sel-sel ganas yang maha jahat. Selamat jalan kawan, sampai nanti di pertemuan kita berikutnya, di negeri akhirat.

Jika Tuhan mengatakan waktu kita telah habis, tak dapat lagi kita menolaknya. Robin dan Andam keduanya mungkin seusia karena mereka berdua satu angkatan kuliah di bawahku saat di Universitas Indonesia. Masih muda, masih sangat ingin berkarya pastinya. Siang itu aku jadi sangat nelangsa dengan kedua berita itu, yang begitu menyesakkan dada. Semua rencana menulis yang sudah ada di kepala seketika sirna.

Kucoba untuk mengatur nafas panjang, berbaring sebentar dan berharap kembali dapat berpikir dengan segar. Tapi kemudian aku ingat suamiku belum minum. Sejak kondisinya yang makin menurun dan sudah tak banyak bisa mencerna bahkan makna sebuah kata, aku harus mengingatkannya walaupun hanya untuk minum karena mungkin dia tak mengerti lagi apa itu dahaga. Jika Tuhan sudah mencabut kenikmatan rasa, kita tak bisa apa-apa.

Kuambil gelas dan kutuangkan air putih hangat. Kuletakkan satu buah sedotan dan kusediakan juga satu buah sendok karena terkadang dia lupa bagaimana caranya menghisap dengan mulutnya. Perlahan kuhampiri suamiku yang terbaring lemah tak berdaya, kupandangi wajahnya dan dia membuka mata. Saat hendak kusuapkan air minum, digerakkannya tangan untuk meraih tanganku. Setengah terkejut kuletakkan kembali air minum yang berada di tangan kiriku dan kugenggam erat tangannya. Kudekatkan wajahku karena sepertinya dia ingin bicara. Lalu dikecupnya keningku dengan lembut seperti dulu yang sering dilakukannya.

“Kamu urusin anak-anak dulu ya. I’m trying to survive.” Aku terkesima.

Untukku ini luar biasa! Selama ini yang kudengar hanya racauan-racauan tanpa makna yang keluar dari mulutnya. Semangatnya masih menyala, Alhamdulillah!
***

“In syaa Allah mas Bhim lekas membaik ya, Da.” Begitu Ipul menanggapi.


Demikian juga Ai, “Cepet sehat ya Mas Bhim.”

Naomi ikut mendoakan “Semoga mas Bhimo diberikan kesehatan, Ida diberikan kekuatan dan kesabaran.”

Mimi kembali menyemangatiku, “Ya kaaaan... gue bilang juga apa. Ingatannya mungkin udah nggak konek, tapi hatinya teteeep Daa.”

Yang kupikirkan sama. Para sahabatku menanggapi bahkan mendoakan hal yang sama ketika aku ceritakan pada mereka apa yang terjadi tadi. Seperti yang sering kuceritakan, persabahatan kami berduapuluh yang dimulai sejak tahun delapan puluh tujuh begitu erat, begitu rekat sehingga kami bisa dan terbiasa mencurahkan apa saja tanpa rasa curiga karena kami saling percaya. Persahabatan itu indah dan kami tak mau sia-sia. 

***

Semangatku pun terpompa kembali, ide-ide menyala lagi dan terlintas dalam pikiranku untuk mengajak para sahabatku mengabadikan persahabatan kami dalam sebuah karya. 

“Yuk, nulis yuuuk” jempolku berteriak di grup WA mengajak teman-temanku untuk menulis.

Sepi, belum ada yang menyahuti. Selama ini mereka adalah pembaca dan komentator tulisan-tulisanku yang setia. Apalagi jika yang aku posting berisi tentang kami, pasti ramai bersahut-sahutan sambil mengenang kembali saat-saat kebersamaan kami. Riuhnya bukan main. Aku mencoba memancing lagi dengan memanggil Rusdi yang punya hobi fotografi.

“Rush tolooong dong. Bisa gak foto-foto jadul kita  dibuat highres. Terus gue mau nulis cerita-cerita tentang kita. Temen-temen yang lain boleh nulis juga. Abis itu kita compile jadi buku...yuuuk. Cita-cita gue udah lama banget nih. Pleasee...” Panjang kutulis.

“Siaappp! Lo mau angkat topik apa? Jadi gue bisa sesuaiin.”

Alhamdulillah, akhirnya Rusdi menjawab dan mendukung. Lega sekali rasanya, biasanya Rusdi jarang nongol di grup karena kesibukannya sebagai petinggi di sebuah perusahaan obat.

“Any kind. Vice versa aja. Bisa dari foto gue nulis. Ato dari tulisan kita cari photonya.” Aku menjawab begitu dan berharap teman-teman yang lain punya ide juga karena kami suka sekali berfoto sejak dari jaman kuliah dulu.

“Gue gak pede, Daa,” Rina yang biasanya hadir setiap saat akhirnya bersuara.

“Iya Da, gue malu, tulisan gue jelek. Ntar diketawain,” Holly ikut nongol juga. Ada keinginan kan walau sedikit.

“Gue pengen juga nyoba nulis tapi gak punya ide.” Aduh senangnya, Nia ternyata punya hasrat menulis.

“Gue nulis di kertas tapi.” Tak lama kemudian Andri langsung nyeletuk menceritakan tentang buku hariannya.

“Ide bagus Da, tapi gue malu. Gak kayak Mimi dan Ida yang jago nulis.” Nah, Naomi ada niatan juga kan walau belum dicoba.

“Temen-temen, mulai aja dulu. Nulis apa aja yang kita suka. Yang penting mulai, jangan nunda,” aku memulai tanggapanku.

“Kenapa mesti malu? Kenapa gak pede? Gue mau share nih hasil belajar gue di The Writers. Nulis tuh buat nyenengin diri bukan buat nyenengin orang lain. Gitu kata Om Bud. Jadi nulis aja yang kita suka. Kalo yang baca suka itu bonus.” Lanjutku penuh harap agar mereka mau menulis.

“Iya temen-temen, ayo kita mulai. Nulis asik loh. Keren kan kalo Angkatan kita punya buku.” Mimi yang juga belajar menulus di The Writers penuh semangat mendukungku.

Kami berdua hampir setiap hari mencekoki teman-teman untuk menulis. Bener-bener setiap hari, saking kepinginnya mereka menulis karena kami tahu mereka bisa, kami semua lulusan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia pula. Harusnya bisa!

“Percaya deh kalo abis nulis tuh rasanya legaaa banget. Puas gitu ada karya yang dihasilkan. Gue pengen banget kita berdua puluh punya legacy yang bisa diliat anak cucu kita tentang persabahatan kita. Syukur-syukur bisa menginspirasi. Kita gak tau ke depannya kita bakal kayak apa kan. Dua temen kita udah gak ada. Mas Bhim aja sekarang udah gak ngerti lagi makna kata itu apa."

Aku ingatkan kembali tentang kedua teman kami, Tini dan Tjoea yang sudah menghadap Yang Kuasa dan kucontohkan pula kondisi suamiku yang kini tak berdaya karena sakitnya agar mendorong mereka untuk bersemangat menulis. Om Bud dan Kang Asep di The Writers benar-benar menginspirasiku untuk mengeksekusi menulis tak hanya untuk terapi diri tapi juga untuk sebuah legacy. 
***

Tak disangka-sangka, dua hari kemudian Rusdi menayangkan di grup kami sebuah tulisan panjang tentang salah satu peristiwa di masa kuliah. Hebat! Ceritanya kocak dan membuat kami semua terbahak-bahak. Semua dengan spontan memuji dan bersemangat.

“Terima kasih temen-temen. Gue tuh sebenernya suka nulis diary sejak jaman kuliah. Jadi banyak kejadian yang gue catet,”

“Wah hebat banget Rush! Berarti elo tinggal nyalin dong hahahha,” Rina menimpali dengan berapi-api.

Rina selalu kami anggap si Bontot karena dia paling muda usianya di antara kami berdua puluh. Dan lucunya setiap kali dia bicara atau menyahut rasanya seperti adik bungsu yang bicara. Jadi selalu ada-ada saja yang dibuat bahan bercanda.

“Hehehe gak plek plek juga sih, mesti disesuaikanlah. Kan bahasa diary beda.” Jawab Rusdi masih dengan nada puas pada tulisan yang ditayangkannya. 

“Terus enaknya dipublikasiin dimana nih tulisannya?” tanya Rusdi kemudian. 

Langsung kusambar, “Kita bikin blog yuk, biar nanti tulisan temen-temen bisa ditayangin di situ dan kita bisa nikmatin bareng-bareng.”

“Siapa yang bisa bikinnya?” Tanya Nia yang terkadang suka khawatir pada hal yang belum diketahuinya.

“Gue Noy. Gampang kok. Gue tunggu ya tulisan elo hehehe,” langsung kujawab supaya Nia tak bingung dan semoga bisa fokus untuk menulis nantinya. 

Dan hari itu juga langsung kubuat sebuah blog dan aku berharap dapat digunakan untuk menayangkan hasil tulisan-tulisan kami nantinya. Membayangkanya saja sudah senaaang sekali. Aku yakin mereka pasti bisa!
***

“Kiduull...Aku nyoba nulis.  Gak bakat, Bahasa Indonesiakyu jelek. Tolong dibaca ya. Kalau pantes buat dibaca sama temen-temen, bantuin edit ya.  Kalau menurut loe gak pantes,  campakkan saja hihihi. Aku coba bikin yang lain.  Mercii.”

Ketika keesokan paginya setelah selesai berbenah-benah kubuka WA. Dari Holly, sudah ada hasil tulisannya. Iya mereka selalu memanggilku dengan nama kesayangan ‘Kidul’ sejak jaman kuliah dulu. Yang lain juga ada diantaranya Rina dipanggil Rincek, Rusdi biasa dipanggil Rush. Masing-masing punya cerita sendiri dengan namanya. 

Aku senang sekali mendapat hasil karya dari Holly, langsung kubaca dan pemikiranku benar, teman-teman sebenarnya bisa menulis dan mau menulis. Hanya perlu dorongan dan semangat saja.  Dengan sedikit editing langsung aku tayangkan di blog kami dan aku share di grup.

“Wah bagus Hol tulisannya,”hanya beberapa menit kemudian Nia langsung memberikan pujiannya.

“Olliiii keren bangeeet gue sampe merinding bacanya,” kata Rina karena tulisan Holly memang bertema horor.


Andri pun ikut menyahut dengan gayanya yang selalu ceplas ceplos bikin sakit perut.

“Bagus Hol. Aku juga mau nulis paake pinsil deh ya.. pinsil eye liner haahhaaha.” 

Dan kami pun terus sahut menyahut dan bersenda gurau. Hingga hari ini tulisan di blog kami terus bertambah. Semoga akan terus lebih banyak lagi hasil karya yang menghiasi blog kami karena sudah tercetus cita-cita baru: Sebelum mati kami akan menerbitkan minimal satu buku!

Bassura, Jumat, 17 April 2020

Terima kasih Budiman Hakim dan Asep Herna untuk berbaginya dan penularannya atas creative dan positive attitude melalui The Writers! Semoga berkah ilmunya.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.