MABUK KENANGAN

MABUK KENANGAN
Foto : Pinterest

 

Serupa desau angin dalam hujan, cinta menyusup diam-diam, dan kau menjadi pelukan yang candu.

Menuju tengah malam, duapuluh tiga lewat lima. Aku berbincang dengan sepi sambil mencoba menata potongan ingatan yang sebagian remuk oleh kesedihannya sendiri. Menghidupkan seseorang sebagai bayangan.

Kepulan asap rokok menari-nari. Sekaleng bir dingin. Pengap udara. Kertas-kertas saling tindih di meja. Dua potong kue cokelat saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli.

Dering ponsel, kau bilang... “Aku memikirkanmu, selalu. Sisakan sedikit waktu untukku, untuk kau, agar menjadi kita. Jangan sangsi, Ing, ini tak akan menyakiti. Kita akan baik-baik saja.”

Hening. Dadaku ngilu.

Limabelas menit berlalu. Genta bernyanyi di pintu. Kau bersandar pada tiang beranda. Kemeja hitam, tatapan tajam menembus cokelat lingkar mataku. Aku menggigil. Kau memelukku.

Hening. Dadaku ngilu.

Bir dingin, kaleng kelima. Entah ini malam ke berapa, kalender seperti sama saja, atau aku yang mulai lupa segala. Ingatan semakin saja menyesaki kepala. Rupanya kau dan kenangan-kenangan itu lebih memabukkan. Sungguh aku tak tahan.

Aku beranjak membuka pintu. Kosong. Bangku kayu diam. Sepasang patung perempuan Bali membiaskan sepi dari selendang merahnya. Di halaman hujan bersekongkol dengan rindu, nyeri.

Aku sendiri.

Kau itu mimpi.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.