POLEMIK POLIGAMI

Poligami, sunnah nabi atau pemenuhan syahwat belaka?

POLEMIK POLIGAMI
Lebih baik poligami daripada berzinah?

        Perdebatan sosial yang belakangan ini marak muncul dalam bingkai negatif adalah poligami, baik dalam kacamata fiksi maupun faktual. Apa sih sebenarnya poligami ini? Kenapa jadi ide yang tenar di antara para lelaki agamis, dengan dalih bahwa itu adalah ibadah baik untuk dirinya ataupun untuk para perempuan yang pasrah menerima? Lebih gawatnya lagi, poligami yang semula menjadi sunnah, kini bahkan menjadi syariah dan pantang diperdebatkan. Mendebat keberadaannya bahkan diganjari dengan kemurtadan.

I was like, “huh?”

Poligami, yang ayat pendukungnya bahkan belum selesai dipahami, sudah dijadikan sebagai suatu kewajiban dan seolah menjadi rukun keenam dari rukun Islam yang jumlahnya lima. Poligami menjadi syarat sahnya Islam hanya ada di zaman sekarang, padahal ayat tersebut sejatinya adalah pengatur atas budaya beristri banyak di Arab pada masa jahiliyah. Poligami Rasulullah sendiri sebenarnya diperintahkan langsung Allah kepada Rasulullah untuk menyelamatkan harkat dan martabat para janda korban perang, yang sebagiannya bahkan sudah berusia lanjut.

Bandingkan praktik poligami yang terjadi di sebuah negara bernama Indonesia. Poligami bahkan diperkenalkan dan disarankan dalam majlis-majlis umat dengan pelbagai alasan, mulai dari untuk menambah ketampanan (??), hingga menghindari persetubuhan di luar nikah. Jadi, alasan poligami sendiri sebenarnya sudah mengalami pergeseran ke arah negatif, yaitu hanya untuk memvalidasi hasrat yang menggebu. Para wanita yang bersedia dipoligami diiming-imingi dengan bau surga karena kepatuhannya untuk menuruti hasrat suami untuk menambah istri. Para lelaki yang sejak zaman susah ditemani oleh satu istri, ditawari si fulanah satu, dua dan tiga, yang konon berkaitan erat dengan memperbanyak keturunan seagama.

Terlalu absurd memang alasan-alasan berpoligami ini karena memang dasarnya pun tidak kuat. Melihat alasan pertama adalah ayat An Nisa ayat 3 yang maknanya sebagai berikut: “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Perkataan, “..maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat..” lantas menjadi validasi bagi penganut poligami untuk beristri lebih dari satu.

Mereka seolah menafikan syarat mutlak yang tercantum di dalam ayat tersebut, yaitu berlaku adil. Berlaku adil tidak dapat ditentukan oleh si pemilik hasrat, yaitu pihak laki-laki, namun terdapat pada jiwa wanita yang sesungguhnya selalu ingin menjadi nomor satu. Jadi, apakah bisa dipastikan bahwa beristri lebih dari satu akan dilakukan secara adil antara yang satu dengan yang lainnya? Dapat dipastikan bahwa sebaliknya lah yang akan terjadi, bila dikembalikan kepada sifat dasar wanita tersebut.

Perihal bahwa keadilan itu adalah sesuatu hal yang mustahil bagi manusia ditekankan juga di dalam surat Annisa ayat 129, yang bermakna: Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”. Oleh karenanya, akan muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya posisi poligami di mata agama bila ayat yang digadang-gadang sebagai pembenaran ternyata bahkan menggarisbawahi ketidakmungkinan terjadinya pernikahan lebih dari satu orang di satu waktu, atau poligami tersebut oleh karena syarat adil yang tidak akan terpenuhi?

Meski banyak pihak yang mempertanyakan kemampuan tafsir atau latar belakang ilmu agama yang katanya menjadi dasar shahihnya sebuah tafsiran, seharusnya kita bisa memahami dengan akal pikiran sendiri, mengapa terdapat Firman yang kemudian sembarangan dipergunakan untuk kesenangan semata. Seharusnya, sebelum menjadikan ayat sebagai pembenaran perilaku duniawi, ingatlah larangan Allah dalam QS Al-Baqarah 41: “….Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah…” Apa jadinya bila larangan ini dilanggar? Khususnya untuk perihal poligami, pertikaian rumah tangga terkuak nyata di ruang publik, ketidakadilan yang sudah dipastikan malah dipertontokan tanpa rasa malu, dan agama pun kembali menjadi bulan-bulanan, dinistakan oleh penganutnya sendiri.

Wallahualam bish shawab

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.