Selendang Sumba dari Jati Wesi

Sebuah catatan untuk menyimpan memori perjalanan saya di situs Keraton Kawali Kabupaten Galuh Pakuan

Selendang Sumba dari Jati Wesi

Tidak salah lagi. Aku melihat Jati Wesi. Kau tahu kan? Ja-ti We-si. Tokoh yang digambarkan dengan sangat apik oleh Dewi Dee Lestari di novelnya yang berjudul Aroma Karsa.

Setelah membaca novel karya Dee Lestari itu, aku sering berpikir bahwa ada satu fragmen jalan hidupku yang memiliki kemiripannya dengan Jati Wesi dan Tanaya Suma. Mirip. Tidak persis. Aku -merasa- dilahirkan dengan indra penciuman dan hidung yang sensitif. Namun tidak secanggih Jati Wesi yang bisa mengendus aroma mayat di kedalaman sekian meter di bawah tumpukan sampah. Tidak. Tidak. Tidak. Hanya di bagian yang berhubungan dengan air hujan dan bau-bau tertentu. Rokok, misalnya. Tidak sampai aku bisa menguraikan senyawa kimia apa yang terkandung dalam aroma yang kucium.

Hidung mungilku ini hanya sesekali saja - tidak setiap saat - bisa membaui datangnya hujan. Tandanya adalah bangkis-bangkis berkepanjangan dan terus menerus.

Rasanya sih, 'kepekaan' terhadap aroma tertentu adalah sebuah analogi dari reaksi alergis manusia terhadap bahan kimia tertentu. Jika diibaratkan pada diri manusia itu ada receiver, maka setiap orang punya ambang batas yang sangat spesifik yang bisa menerima paparan senyawa kimia tertentu. Receiver itu jadi semacam sensor biologi. Pastinya banyak sekali sensor yang kita punya. Padaku, mungkin, sensor terhadap senyawa kimia yang muncul di udara saat titik-titik uap air di angkasa mulai kelelahan atas beban berat molekul H2O pada gumpalan-gumpalan mega mendung, memiliki rentang yang sangat sempit.

Aku jadi ingat saat Jati masih menjadi tukang kebun dan memberikan warning pada sohibnya yang seorang asisten rumah tangga tentang datangnya hujan untuk segera mengangkat jemurannya.

Ah! Jati Wesi. Pemuda istimewa yang tadinya kumuh gembel berbau sampah yang misterius. Tadi aku melihatnya. Di jalan setapak menuju Astana Gede Kawali. Dia melintas di dekat plang kayu bertuliskan Mata Air Cikawali dan Alun-Alun Surawisesa. Aku masih ingat banget karena saat turun dari mobil avanza putih berplat Z aku bangkis-bangkis tanpa jeda.

Jati Wesi berkulit coklat khas Indonesia. Tidak yang legam banget, tapi juga tidak yang dalam kategori kuning langsat. Tinggi menjulang. Atletis, tapi bukan karena tempaan gerak di kelas gym. Wajahnya enak dilihat, namun bukan yang tampan sekali hingga memana orang untuk bertahan setidaknya 15 detik pandang mata kerasan pada wajahnya. Good looking, enak dilihat, tapi orang cenderung melewatkan seraut wajah milik Jati Wesi. Tapi tidak bagi orang-orang kayak aku. Aku selalu tertarik pada alis mata. Dan kekuatan Jati Wesi ada di situ.

Namun demi menjaga etika, aku tahan gerak leherku mengikuti gerak tubuhnya. Hanya ekor mataku saja yang membuntutinya. Begitu ekor mataku menangkap seluruh sosoknya (dan sekilas utuh wajahnya) darahku langsung berdesir dan tersirap dengan aliran dari kaki hingga atas kepala. Ini bukan adrenalin pengaguman! Boro-boro! Ini adalah ekspresi kekagetan. Bagaimana bisa sosok yang digambarkan dalam cerita fiksi Dee Lestari bisa hadir nyata di dunia tiga dimensi? Bagaimana bisa?

Kepalaku berdenyut-denyut dan nyeri.

Apalagi, Si Jati Wesi ini tiba-tiba saja muncul di hadapanku dengan pesonanya yang jauh lebih indah dari yang tertangkap oleh sudut mataku.

"Teh ....."

Sapanya kepadaku.

Aku 100% gelagapan! Sialnya, ketika aku gelagapan begitu, selalu saja gerakanku menjadi serba salah. Kali ini mataku mengerjap-ngerjap seperti damar tertiup angin musim pancaroba.

Melihatku dalam kekagetan, Jati Wesi malah tersenyum. Manis sekali. Lengkap dengan lesung pipit di pipi kirinya. Oh, tidak! Tuhan, aku nggak tahan liat lesung pipit. Maka aku terpejam secara otomatis.

"Teh ..... ?!" Sapanya lagi. "Abis liat hantu ya?" Kali ini senyum Jati Wesi berubah menjadi tawa tanpa suara.

"Ehhhh .... ," ujarku. Kenapa pula musti kata seru macam ini yang keluar menjadi energi bunyi dari mulutku? Aku merutuk pelan. Dalam hati.

"Maaf .... Kamu mirip banget sama ......... ," kalimatku menggantung. Masa ya kubilang dia mirip Jati Wesi yang ada di novel Aroma Karsa sih? Belum tentu dia suka baca. Baca novel pula. Kalaupun suka baca, mungkin dia tipe cowok yang bacaannya referensi ilmiah, bukan sastra. Atau mungkin dia malah mahasiswa S2 yang lagi nyusun tesis tentang fungsi mitokondria dan kimia selular serta manfaatnya untuk dunia pengobatan. Tapi, ngapain juga 'anak semacam yang kukhayalkan' itu ada di sini: situs keraton Kawali?

Menyadari bahwa Jati Wesi menunggu ujung kalimatku, maka kuteruskan saja kalimatku dengan tambahan " ..... sama sepupuku ...."

Baru deh aku bisa menutup kalimatku dengan senyum lega. Senyum lega yang pasti terlihat aneh. Jati Wesi tersenyum ramah. Wajahnya menunjukkan bahwa Jati Wesi adalah bukan lelaki yang kurang ajar ketika berhadapan dengan perempuan. Dari gesture tubuh, mimik muka, dan atmosfir di sekelilingnya, aku merasa cowok ini dibesarkan dengan baik oleh ibunya.

"Teh, saya nemu selendang ini di dekat Mata Air Cikawali. Dan saya sepintas tadi melihat Teteh sedang berjalan jauh di depan saya di mata air itu. Pake kaos biru. Makanya saya kejar. Saya rasa ini selendang Teteh."

Jati Wesi mengangsurkan sehelai kain tenun Sumba kepadaku. Panjang. Tenunannya menggambarkan perlambang khas Sumba: mamuli, udang, rumah adat, dan sosok seorang lelaki Sumba (lengkap dengan gambar kepiting di area genitalnya). Kain itu benar milikku.

Aku terdiam dan otomatis merabai leherku sendiri. Selendang yang kukalungkan tak ada di sana. Tapiiiiii..... aku sama sekali belum sempat ke Mata Air Cikawali. Lha wong aku baru saja datang bareng sama Refi dan Kang Atus. Baru berjalan berkeliling sebentar di situs ini. Piye to ini?

Aku menerima selendang itu dengan hati tak karuan. Darahku tersirap sedemikian sehingga bila udara di situ tak ditingkahi dengan angin lembut yang menyapa sepoi-sepoi, maka aku sudah pasti pingsan dengan sempurna. Semacam gerakan refleks, aku pun mengalungkan kain Sumba itu di leherku. Dua kali untai, karena kain ini cukup panjang. Kupaksakan diriku tersenyum pada Jati Wesi. Senyum tertulus yang bisa kuberikan.

"Makasih, yaaa .... "

"Reno. Namaku, Reno," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabatnya erat. Untunglah dia tidak menyebut nama Jati Wesi. Bisa mati suri aku bila itu terjadi.

"Galuh ....," kataku memperkenalkan diri.

"Sip! Okay. Jaga baik-baik selendangnya ya, Teh Galuh ....." Ujar Reno padaku. Tangannya bersidekap di dada. Lalu ia membuat gerakan berputar membalikkan badan, melambaikan tangannya tanda perpisahan.

Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan masih dicekam rasa bingung memahami semua kejadian ini.

Sepeninggal Reno, aku bangkis-bangkis lagi. Kepada Refi dan Kang Atus, aku bilang, "Mun aya payung di mobil mah kita bawa aja ke dalam".

Maksudku 'ke dalam' adalah ke situs kuno Keraton Kawali, karena harus melewati semacam batas pagar gerbang masuk.

Kang Atus senyum-senyum. Diam-diam pemerhati dan pelaku budaya di Kota Galuh Pakuan yang aktif pada pelestarian alat musik karinding ini kurasakan mulai membacai diriku. Saat perkenalan di bandara tadi dia sempat terlihat sangat penasaran mengapa aku yang asli berdarah Jawa tulen ini mau repot-repot berkunjung, belajar tentang sejarah Galuh Pakuan dengan guiding dari dia, termasuk mengagendakan mengunjungi Museum Galuh Pakuan. Ke situs Kawali ini, adalah setengah paksaan dari Kang Atus, sebelum tujuanku menuju sebuah danau tua.

"Mau hujan, ya, Mbak? Tanyanya.

"Iya, Kang. Tapi kayaknya sih gerimis aja," jawabku agak tersipu karena tahu Kang Atus mulai paham tentang bangkis-bangkisku yang tak biasa ini. 

Refi menimpali dengan permintaan maaf karena dia hapal sekali, dan tak akan bisa menemukan payung di mobil rentalan dari Tasikmalaya.

Akhirnya kami menjelajahi situs kerajaan Kawali dengan hati yang tabah menerima riris gerimis yang sebentar lagi menghujani kami.

Kang Atus bilang bahwa gerimis yang nanti jatuh ke bumi dan membasahi kami itu adalah pertanda alam yang baik untuk kedatangan kami di situs kuno ini. Artinya, alam menyambut kedatangan kami, orang-orang yang semoga terjaga niat baiknya untuk mengunjugi para leluhur dan mau memberikan hati untuk sejarah keberadaan. Sangkan paran.

Dan benar saja. Gerimis jatuh. Tepat saat aku berada di depan abu jenazah Dyah Pitaloka. Riris Gerimis yang tipis. Sangat tipis. Super tipis. Serta merta alam menjadi terasa senyap, hening dan syahdu.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.