Tangis Tak Pernah Habis

Tangis Tak Pernah Habis
Image by pixabay.com

Kuperhatikan beriak air di dalam akuarium di depanku. Sesekali ikan-ikan di dalam sana mengejekku. Mulanya hanya satu ikan yang mengibaskan ekor lalu menari mengolokku, kemudian teman-temannya melakukan hal yang sama.

 

Jika mereka yang memiliki banyak air masih bisa menari dan bebas mengejekku, lantas kenapa aku yang masih bisa menyeka air mata harus menghentikan keinginan untuk melangkah.

 

Kutatap lekat-lekat segelas kopi yang kubuat tanpa ramuan. Entah apa namanya, sama sekali tak aku ingat berat kopi yang sudah aku masukkan, tak kuperhatikan pula blooming dari kopi ini, semua aku lakukan dalam sekejap.

 

Kusiapkan gelas, kusimpan alat seduhku di atasnya, kutuang kopi seenaknya, kemudian langsung aku tuang air panas ke dalamnya. Bodo amat dengan rasa kopinya, bodo amat dengar campuran bau paper filternya dan bodo amat dengan rasa kopi yang dihasilkan.

 

“Dru, kata orang membuat kopi manual brew itu seperti meditasi bisa bikin kita mendapatkan kebahagian batin lo.”

“Terus?”
“Ya, kalau aku perhatikan tadi kamu asal banget deh campur air dan kopinya.”
“Ini kopi siapa Bram?”
“Kamu.”
“Ini air siapa?”
“Kamu”

“Yang mau ngopi siapa?”
“Iya kamu, kamu, kamuuuuuuuuu Dru. Aku kan Cuma kasih tahu, dan aku perhatikan. Maka pertanyaanku, ada masalah apakah pagi ini?”

“Kepo”

 

Kubiarkan Bram melongo. Tak kubiarkan Bram melihat mukaku walau sebentar. Aku tidak mau Bram melihat mataku yang sembab.

Lagi tumben sekali Bram belum pulang, padahal adzan Isya sudah terdengar dari tadi. Aku sedang konsentrasi meratapi hidup, tiba-tiba dia hadir di belakangku tanpa kudengar langkahnya.

 

“Mba Dru maaf, ruangan Mba sudah boleh saya bereskan?”
“Boleh Bang silakan saja. Aku sudah mau pulang kok.”

 

Kutinggalkan V60 yang sudah jelas rasa ketidakenakannya. Segera ku bergegas menuju ruanganku lalu kubereskan laptop dan kertas-kertas yang tidak kusentuh sama sekali hari ini.

 

Aku belum mau pulang, rasanya hatiku masih panas, pikiranku masih kalut dan konsentrasiku berantakan. Aku tak berani nyetir juga tak berani pulang karena aku tahu akan banyak pertanyaan yang ditujukan padaku bila aku pulang dengan mata segede bagong.

 

“Hey, melamun ajak-ajak dong!”

 

Suara Bram lagi-lagi buyarkan lamunanku.

 

“Kamu itu apa sih Bram, di atas ganggu, di bawah ganggu. Mau kamu apa?”

“Gangguin kamu.”
“Ga lucu, sana pergi!”

“Kamu usir aku?”

“Sebagai penulis seharusnya kamu paham intonasiku.”
“Aku bukan penulis, dulu saat aku masih sekolah malah nilai Bahasa Indonesiaku selalu dikatrol, Bahasa Jawaku jauh lebih baik ketimbang Bahasa Indonesia. Nah Kalau sudah begitu biasanya nanti Bapak datang ke wali kelas mohon-mohon biar angka di rapotku jangan ada yang merah. Makanya aku dekat sama wali kelasku, sama istrinya juga. Aku suka…”
“Bisa berhenti cerita?”

“Aku kan Cuma berusaha cairin Susana Dru”
“Dikira aku cerita mistis”
“Ya terus aku harus bagaimana?”

“Bagaimana apanya sih?”
“Biar kamu senyum.”

 

Ah, Bram ini selalu begini. Sikap dia yang seperti ini yang aku tak bisa tolak. Aku selalu menyerah dengan segala usahanya.

 

“Kamu pulang Bram, Nadya tunggu kamu.”
“Loh, terserah aku. Siapa kamu atur-atur aku?”

 

Aku kaget, bahkan sedikit melukai hatiku. Aku paham, sangat paham dengan hal ini. Aku memang bukan siapa-siapa Bram, namun kamu perlu tahu Bram bahwa kamu telah menyimpan banyak kenangan di hatiku.

 

“Hey, malah melamun. Jawab pertanyaanku!”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kamu, siapa aku berani atur-atur aku?”

“Aku temanmu. Teman kantormu. Ya sudah maaf, kalau kamu tersinggung.”
“Kamu cemburu?”

“Dih, apa alasanku cemburu.”
“Nah itu marah.”
“Apa sih Bram, aku tidak marah, aku tidak cemburu. Paham?”
“Nah itu sewot.”

 

Duh, salah aku.
Kupergi tinggalkan Bram.

 

“Duduk!”

“Tidak mau.”
“Duduk, aku bilang!”

“Siapa kamu, atur-atur aku untuk duduk?”
“Aku, lelakimu.”
“Eh, kalau waktunya minum obat makanya jangan telat.”

“Iya aku telat. Aku telat bertemu kamu. Aku telat menemukan kamu. Aku telat menyadari sayangku untuk kamu.”

 

Kupalingkan wajahku.

Bram pindahkan posisi duduknya.

Aku berpaling lagi.
Bram kembali ke posisi semula.

 

“Bisa diam tidak sih Bram!”

“Tidak. Aku tak akan diam. “
“Kamu, kalau hanya buat aku berbunga-bunga tidak jelas lebih baik kamu pergi. Laki-laki itu sama saja. Gombal. Sudah jelas punya Nadya kok bisa gombalin aku.”
“Yang gombal siapa Dru?”
“Kamu lah”
“Aku ga gombal. Aku serius kok. Aku serius sayang sama pacar orang.”

 

Tak terasa air mataku sudah ambil ancang-ancang. Kalau saja aku di depan akuarium, pasti ikan-ikan itu sudah kembali memperolok aku.

 

Lagi-lagi aku mengingat segala perlakuan Bowo padaku. Delapan tahun aku pacarana dengannya. Namun baru aku sadari bahwa aku hanya menghargai Bowo, aku tidak cinta pada Bowo.

Dulu saat Bowo menawarkan untuk jadi pendampingku, yang aku lihat hanya keberaniannya saja yang berani nyatakan cinta di depan Bapak dan berjanji untuk tidak melukaiku.

 

“Wo, kalau mau sama anak Bapak silakan saja, jaga baik-baik Dru. Ini anak kesayangan Bapak, jangan sekali-kali kau lukai Dru.”
“Baik Pak, dengan segenap hati akan aku lindungi Dru seperti Bapak menjaga Dru selama ini.”
“Dan ingat Bowo, jangan kau lama-lama jika memang Dru cocok untukmu, segera kau nikahi Dru.”

 

Kata-kata ini terngiang di kepalaku.

Seandainya Bapak tahu, maka akan sakit hatinya menyaksikan betapa aku setiap hari menabung tangis. Sekian lama aku tahan namun rupanya benteng pertahananku jebol. Aku tidak mencintai Bowo. Kebersamaanku dengannya tanpa ada rasa cemburu, khawatir, saling ingin tahu dan lain sebagainya.

 

Dengan dalih bahwa kami saling percaya, yang ada semakin lama semakin tidak ada rasa di antara kami.

 

“Dru, aku sudah habiskan setengah bungkus Marlboro dan dua gelas kopi untuk perhatikan kamu bertatapan dengan bangku kosong ini. Aku cemburu sama bangku itu.”

“Maksud kamu apa sih Bram. Bisa tidak kamu berhenti omong kosong denganku?”

“Aku tidak omong kosong. Aku serius sama kamu.”
“Tapi kamu punya Nadya.”
“Tapi kamu punya Bowo.”

“Ya sudah.”
“Ya sudah apa, Dru?”
“Ya sudah, kita sama-sama punya pasangan. Berhenti untuk berharap saling memiliki.”

 

Kedekatanku dengan Bram sudah hampir dua tahun ini. Jujur aku akui Bram telah memberikan polesan warna pada kehidupan abu-abuku.

Bram telah membuatku memiliki semangat lagi, kembali membuat aku tersenyum lagi dan bisa membuat aku terbahak-terbahak.

 

Sayang, Bram telah memiliki Nadya. Sekuat apapun keinginanku untuk memiliki Bram tidak akan pernah bisa.

 

“Dru, kenapa kamu terus-terusan begini. Kenapa kamu tidak memanjatkan doa. Bukankah tidak ada yang melebihi kekuatan Tuhan?”

“Bram, aku tak punya keberanian untuk melepaskan diri dari Bowo dan aku yakin kamu pun begitu.”

“Kamu seharusnya punya alasan kuat untuk lepas dari Bowo. Perlakuan tidak menyenangkan Bowo seharusnya bisa membuatmu mengambil sikap.”

“Terlalu lama Bowo memperlakukanku tidak baik. Jika tiba-tiba aku ingin sudahi hubungan kami atas alasaan kekasaran verbal dia padaku, aku rasa akan jadi alasan basi untuknya.”

“Lalu kamu mau tunggu hingga Bowo menyiksamu secara fisik?”

“Aku tidak tahu Bram. Sekarang jika aku berani untuk lepaskan diri dari Bowo, apakah kamu berani melepaskan diri dari Nadya. Sementara aku tahu bahwa kamu baik-baik saja?”

“Pulang yuk, sudah jam Sembilan. Aku rasa kamu perlu istirahat.!”

 

Ah Bram kebiasaan.

Selalu membuat pernyataan dan pertanyaanku menggantung.

 

Tak kuiyakan ajakan Bram. Aku masih ingin sendiri. Namun hatiku kembali memanas. Bram tidak tahu bahwa hubunganku dengan Bowo benar-benar hanya formalitas. Aku rasa saat ini yang bisa kulakukan adalah mendoakan agar Bowo menadapatkan penggantiku.

 

“Enak saja kamu mau lepas dariku. Aku tak akan biarkan kamu tenang. Nanti kalau aku dapat yang baru akan aku kenalkan padamu. Doa saja yang kencang.”

 

Aku hanya bisa diam. Kembali mengingat semua perlakuan Bowo membuatku menjadi perempuan tak berguna. Tak pernah sekalipun Bowo melukai badanku. Janjinya pada Bapak dia tepati.

Namun hatiku terlalu banyak sayatan.

 

Aku terpuruk.

Bowo mengikatku. Bram menggantungku.

 

Dan aku tak punya pilihan selain kembali meratapi hidup lalu membiarkan tangisan terus menemani sisa hariku. Entah sampai kapan?.

 

Aku sulit jatuh cinta dan aku ikuti jalan Tuhan.

 

 

 

#Bandung, 01 Agustus

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.