Bias Gender Masih Jadi Momok Pendidikan

Bias Gender Masih Jadi Momok Pendidikan
sumber: unsplash.com

“Buku yang digunakan satuan pendidikan tidak boleh mengandung bias gender”, ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8 tahun 2016 pasal 2 ayat 2.

 

Namun, apakah buku-buku pelajaran di sekolah sudah bebas dari bias gender? Meskipun ada aturan tersebut, rupanya masih banyak buku-buku teks di sekolah yang belum lepas dari adanya bias gender. Ini artinya, buku pelajaran masih menjadi sumbangsih atas pelanggengan ketidaksetaraan gender.

 

Stereotip tradisional terkait peran kerja laki-laki dan perempuan masih diabadikan melalui buku pelajaran. Perempuan dalam buku digambarkan bersifat feminim dan diletakkan dalam konteks kerja domestik, mulai dari memasak, mencuci, merawat anak dan keluarga. Sedangkan laki-laki dilekatkan pada karakter yang menunjukkan maskulinitas, kekuatan, dan pencari nafkah (produktif).

 

Beberapa riset menunjukkan adanya bias gender dalam buku-buku pelajaran di sekolah. Salah satunya ada studi yang dilakukan oleh Zulmi & Lisytani (2017) ditemukan ada beberapa jenis bias gender, yaitu bias gender dalam peran kerja, nilai sifat, status sosial, dan kegemaran dalam Buku Tematik Siswa Kurikulum 2013 Kelas 1 Sekolah Dasar.

 

Mengapa bisa hal ini terjadi?

 

Pendidikan adalah salah satu sektor strategis untuk memproduksi berbagai cara pandang. Pendidikan khususnya kurikulum memiliki andil dalam memproduksi hubungan-hubungan sosial yang ada. Persoalan ini juga telah dibahas Rahmat Hidayat dalam buku Pengantar Sosiologi Kurikulum. Ada relasi antara kurikulum dengan praktik ketimpangan dan dominasi laki-laki. Melihat dari teori feminis, kurikulum dipandang sebagai cara ampuh dan berkuasa dalam melanggengkan relasi timpang antara perempuan dan laki-laki.

 

Buku adalah instrumen dalam sistem pendidikan dan kurikulum yang dapat membentuk cara pandang, keyakinan, sikap, dan nilai-nilai pada anak. Lalu bagaimana jika buku-buku pelajaran anak mengarah pada bias gender? Padahal, bias gender dapat berdampak negatif terhadap perkembangan individu dan kehidupan bermasyarakat anak di masa yang akan datang.

 

Anak-anak sekolah dasar secara alami dalam tahapan perkembangan meniru dan mencontoh apa yang dilihatnya. Buku yang mengandung bias gender dapat menghasilkan persepsi gender tentang karakteristik dan peran gender. Misalnya, buku yang menggambarkan anak perempuan hanya berfokus pada kecantikan dan urusan rumah tangga, sementara anak laki-laki digambarkan sebagai petualang dan pemimpin. Ini dapat mempengaruhi cara anak memandang dirinya dan orang lain berdasarkan jenis kelamin.

 

Stereotipikal yang tergambarkan dalam buku juga dapat mempengaruhi perilaku anak. Misalnya, apabila anak terus-menerus membaca buku tentang anak perempuan yang selalu menjadi karakter yang lemah dan bergantung pada pria, maka anak dapat menginternalisasi pandangan tersebut serta mengadopsi perilaku yang serupa.

 

Anak pun akan membatasi pilihan karir mereka. Jika anak hanya terpapar pada buku-buku yang menggambarkan pilihan karir tertentu hanya untuk satu jenis kelamin, seperti astronot, polisi, pemadam kebakaran (untuk laki-laki) serta penari dan penyanyi (untuk perempuan). Maka, anak akan menganggap bahwa pilihan karir tertentu tidak sesuai atau tidak mungkin bagi mereka berdasarkan jenis kelamin mereka.

 

Sedangkan terhadap individu anak sendiri, buku dengan bias gender dapat mempengaruhi bagaimana pembentukan identitas anak dan self-esteem mereka. Jika anak merasa dirinya terbatas oleh harapan gender yang sempit dalam buku-buku yang mereka baca, mereka mungkin mengalami penurunan akan rasa kepercayaan diri dan kesulitan memahami identitas mereka yang sesungguhnya.

 

Tidak hanya itu, buku dengan bias gender dapat membatasi pandangan dunia anak. Bila mereka hanya terpapar sudut pandang dan pengalaman hidup dari satu jenis kelamin, anak mungkin kurang mampu dalam memahami dan menghargai adanya perbedaan gender serta sulit berinteraksi dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang berbeda.

 

Bias gender dalam buku pelajaran seharusnya bukan menjadi hal yang bisa disepelekan begitu saja. Setiap permasalahan dapat diupayakan solusinya. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mendorong perubahan?

 

Penyelesaian bias gender ini sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu melakukan revolusi kurikulum dan membuat standardisasi buku pelajaran agar netral gender dan tidak berpihak pada satu jenis kelamin. Dimulai dari meninjau kembali kurikulum secara menyeluruh, memperbaiki konten buku agar lebih representatif dan inklusif dengan cara menghadirkan perspektif beragam dan peran model yang beragam dari laki-laki ataupun perempuan sebelum akhirnya disebarluaskan ke sekolah-sekolah.

 

Dalam praktik kurikulum, guru harus kritis dan memiliki kesadaran akan isu-isu gender pada materi-materi buku pelajaran karena setiap buku mengandung unsur subjektivitas dan bermuatan ideologi tertentu. Guru seharusnya tidak hanya terpaku pada semua yang ada di dalam buku. Sebagai agen perubahan, guru juga harus mengenalkan dan membiasakan lingkungan yang menjunjung nilai kesetaraan dalam pembelajaran.

 

Pertama, guru harus melakukan tinjauan menyeluruh dan mengidentifikasi bagian-bagian yang memiliki bias gender pada buku pelajaran yang akan digunakan. Apabila ditemukan bias gender tertentu, baik itu stereotip gender, peran gender yang tidak seimbang, ataupun ketidakhadiran peran atau kontribusi dari satu jenis kelamin, guru bisa menggunakan sumber daya alternatif. Guru dapat mencari sumber daya alternatif, seperti buku pelajaran lain, artikel, materi online, atau sumber lainnya yang tidak memiliki bias gender dan mencerminkan keragaman serta inklusi.

 

Kedua, guru bisa mengintegrasikan isu-isu gender dengan materi pelajaran. Guru seharusnya mempunyai pemahaman akan peran penting mereka dalam mensosialisasikan perkembangan gender dan isu-isu gender kepada anak-anak. Untuk itu, guru perlu menambah pengetahuan dan pemahaman terkait sensitivitas gender, seperti dengan mengikuti pelatihan, seminar, ataupun workshop tentang kegiatan belajar mengajar yang sensitif gender.

 

Ketiga, guru dapat melibatkan siswa dalam membantu mengidentifikasi bias gender dan berkontribusi dalam pembelajaran yang inklusif. Dimulai dari memberikan bimbingan siswa untuk mengajukan pertanyaan kritis tentang bias gender yang ada dalam buku pelajaran. Hal ini bisa merangsang pemikiran kritis anak tentang stereotip gender dan merangsang diskusi kesetaraan gender.

 

Keempat, guru harus bersikap netral dan menghindari praktik-praktik yang memungkinkan bias gender. Ini bisa dilakukan dengan cara melibatkan seluruh anak, baik itu perempuan maupun laki-laki untuk berpartisipasi dalam berbagai peran dan aktivitas di sekolah. Contohnya, memberikan kesempatan dalam organisasi kelas, baik laki-laki atau perempuan bisa menjadi ketua kelas, sekretaris, atau tugas lainnya. Jadi ketua kelas tidak harus laki-laki dan sekretaris tidak harus perempuan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.