Haram

Terinspirasi dari kisah nyata

Haram


“Supermarket ini dibangun dengan uang haram!” kudengar bisik-bisik pembeli lain di lorong supermarket.
Kebetulan aku kenal pendiri supermarket itu.
 

Saat itu aku tinggal di sebuah kota di Canada.
Kotanya tidak besar, tapi tidak bisa dibilang kecil juga.
Aku dan mantan suami belum lama menikah.
Kami baru membeli sebuah rumah di daerah yang terkenal rawan.
Sebetulnya suamiku tidak mau membeli rumah di sana. Karena terkenal rawan. Tapi harga rumah di situ jauh lebih murah dibanding daerah lainnya.
Bila kami membeli rumah di daerah lain, cuma bisa membeli rumah kecil berkamar dua. Kalau beli di situ bisa dapat rumah berkamar lima dengan harga yang sama.
Karena keuangan kami pas-pasan, lalu kubujuk suamiku untuk membeli rumah di sini saja. Aku sudah terbiasa hidup di Jakarta dulu, lebih rawan. Serawan apa sih di Canada? Pasti tidak serawan di Jakarta, pikirku.

Aku suka lokasinya, karena jalan kaki 5 menit ke supermarket, perpustakaan, pusat rekreasi, Mall, Gereja. Semua dekat.
Untuk aku yang tidak bisa nyetir, enak tinggal di situ.
Dan untungnya aku tidak pernah menyaksikan aksi kriminalitas  di sana.
“Benar kan, tidak serawan yang kamu bayangkan!” kataku pada suamiku.
“Iya benar, untung kita pindah ke sini.” kata suamiku.

Karena belum lama pindah ke kota itu, aku belum bekerja.
Aku daftar ke sebuah gym di dekat rumahku. Ada taman makan tepat di depan gym.
Kebiasaan aku setiap pagi ke gym, pulangnya mampir beli makanan di situ. Setelah itu aku nongkrong di perpustakaan, pinjam buku. Lalu ke supermarket beli sayuran untuk masak. Mudah karena semuanya dalam gedung yang sama. Jadi aku betah tinggal di sana.
Di gym pagi-pagi biasanya tidak banyak orang. Kebanyakan orang malas pergi pagi.
Yang ramai adalah sore dan malam hari. Justru itu yang aku cari. Aku tidak suka keramaian. Nanti harus nunggu giliran memakai mesin. Kalau pagi kita lebih bebas.

Ada dua orang pemuda di situ yang selalu datang di jam yang sama denganku.
Aku kurang suka dengan penampilan mereka yang seperti anak bandel. Banyak tatonya.
Yang satu lebih hitam, suka berpakaian sportif dan urakan. Yang satu putih, lebih dandy dan wajahnya lebih menarik. Tapi penampilan keduanya terlihat norak menurut pendapatku.
Pokoknya aku sudah antipati duluan kalau melihat yang model seperti itu.
Tapi mereka suka bawel ngobrol.
Sebetulnya aku tidak mau ngobrol dengan mereka.
Tapi karena di gym sepi kalau pagi. Daripada nanti mereka marah, ya terpaksa aku harus sopan melayani pembicaraan mereka.

“Shieni, kamu punya pacar nggak?” tanya si Dandy, sebut saja namanya Philip.
“Nggak punya pacar, punya suami!” kataku.
“Punya suami kok nggak pake cincin?” tanyanya.
“Aku memang nggak suka pakai cincin. Mungkin karena kebiasaan dulu waktu tinggal di Jakarta rawan, takut dicopet!” kataku.
“Di Jakarta banyak preman ya?” tanya yang satunya lagi. Sebut saja namanya Marco
“Iya” jawabku.
“Kamu takut sama preman?” tanya Marco.
“Iya pastilah.” kataku.
“Jangan takut, kita manusia biasa juga!” kata Philip.
Aku kaget. Jadi mereka preman benaran?
Ternyata benar gosip yang kudengar selama ini dari member lain.
“Liat tato ini, kita anggota gang…..” kata Marco menyebutkan nama gang Mafia yang terkenal di kota itu. Cabang dari gang Mafia International. Sambil memperlihatkan Tato di lengannya yang kembar dengan Philip. Aku baru tahu bahwa itu tato logo gang Mafia mereka.
Dalam hati aku sebal, jadi anggota Mafia kok bangga? Bukannya malu.
“Dia boss aku!” kata Marco menunjuk Philip.
“Bukan boss, tapi calon boss!” kata Philip tertawa.
Aku merasa mual. Ingin rasanya berhenti dari Gym itu.
Tapi gym itu satu-satunya yang dekat dengan rumahku.

Lalu aku berusaha mengganti jam. Datang siang.
Selama beberapa minggu aku tidak pernah melihat mereka lagi. Lega rasanya.
Tapi tiba-tiba mereka nongol lagi.
“Aku cariin, kirain kemana, Kok pindah jadi siang?” tanya Philip.
“Takut sama kamu kali!” kata Marco. Mereka tertawa.
Aku tersenyum pura-pura tenang, padahal takut.
Lalu mereka mulai bawel lagi.

Saat aku berada di kamar ganti, Lina, seorang gadis Asia, menghampiriku.
“Shieni, kamu tau nggak? Si Marco dan Philip itu anggota gang Mafia!” kata Lina.
“Hati-hati Shieni!” kata Lina.
“Iya” kataku.

Akhirnya aku kembali datang pagi. Karena sebenarnya lebih efektif untuk aku datang pagi.
Dan percuma juga aku hindari, Mereka selalu tahu juga. Aku pindah pagi, mereka juga pindah pagi.
Untungnya mereka tidak pernah mengganggu aku, cuma sekedar bawel ngobrol aja.
Mau tidak mau terpaksa kudengarkan omongan mereka.
Lama-lama aku mulai mengenal mereka, jadi berkurang seramnya. Malah aku jadi kasihan pada mereka.
"Philip itu sepupuku!" kata Marco.
“Keluarga aku miskin di kampung. Aku datang ke kota ini  mau minta bantuan cari kerja sama Philip. Karena aku lihat dia udah sukses. Bisa punya mobil mewah” kata Marco.
Ya ukuran sukses beda-beda tiap orang. Buat Marco sukses artinya mobil mewah.
“Aku nggak tau dia kerja apa, Tapi ternyata dia anggota Mafia. Aku dulu masih polos, anak baik-baik. Tapi aku miskin, butuh uang. Ibuku sakit parah. Ayahku sudah meninggal. Adikku banyak. Philip membawa aku masuk jadi anggota Mafia. Ya aku nurut aja. Walaupun aku juga nggak mau jadi preman. Aku mau kerja yang halal. Tapi terpaksa. Kan aku perlu makan, perlu membiayai keluargaku. Aku ini tidak sekolah tinggi.” katanya Marco.
“Kamu bisa melanjutkan sekolah!” kataku.
“Ah sudah terlambat untukku. Umurku sudah hampir 30!” kata Marco.
“Nggak terlambat kalau kamu mau, masih bisa, banyak orang sudah tua bisa kuliah lagi. Kamu masih muda!” kataku.
“Ah otakku bodoh, tidak sanggup kuliah.” kata Marco.
“Mungkin kamu bisa wirausaha, kumpulkan uang untuk usaha kecil-kecilan!” kataku.
“Iya ya, aku mau juga tuh punya usaha kecil-kecilan.” katanya.
“Kumpulin uang biar kamu bisa punya usaha sendiri, usaha halal.” kataku.
Marco tersenyum.


“Aku kangen makanan Indonesia!” kataku.
“Kamu nggak bisa masak sendiri?” tanya Marco.
“Bisa, tapi bumbunya yang nggak ada di sini!” kataku.
“Kan ada supermarket asia di sini?” tanya Philip.
“Iya, tapi itu kebanyakan jualnya cuma bumbu untuk makanan Chinese dan Jepang. Bukan bumbu Indonesia.” kataku.
“Nanti aku bikin Supermarket Asia yang jual bumbu Indonesia deh!” kata Marco.
“Ide bagus tuh, Iya nanti aku bantu modalin deh!” kata Philip.
Aku tersenyum. Tapi aku menganggap itu sekedar bercanda saja. Omongan sambil lalu.


“Shieni, aku sudah nemu lokasi untuk dijadikan supermarket asia!” kata Marco beberapa bulan kemudian.
“Serius?” tanyaku.
“Iya, nanti kita akan jual bumbu asia tenggara seperti bumbu Indonesia juga. Jadi kamu bisa masak makanan Indonesia.” kata Marco.
“Jangan lupa nanti undang kita makan makanan Indonesia ya!” pinta Marco.
“Sip, kalo ada bumbunya pasti aku masakin.” Janjiku. Walaupun aku masih belum percaya.
Masih kuanggap omongan asal. Siapa juga yang percaya dengan preman.

 

“Gila kamu, cari mati!  Aku nggak mau terlibat!” kata Marco.
“Aku butuh kamu, Kalau kamu tidak terlibat, kita bisa gagal!” kata Philip.
“Kamu kan udah banyak pendukung, apa artinya kurang satu orang?” kata Marco.
“Tapi kamu yang paling aku percaya! Ayolah Marco!” bujuk Philip.
Sayup-sayup kudengar pembicaraan mereka pagi itu. Tidak ada siapa-siapa selain kami bertiga di Gym pagi itu.
Tak lama kemudian Marco meninggalkan Philip. Mukanya kusut.
Marco pindah ke mesin di sampingku.
“Kenapa Marco?” tanyaku.
“Nggak” kata Marco, tidak mau cerita.
“Huh, aku pengen cepat-cepat supermarket itu jadi, supaya aku bisa kerja yang halal. Aku sebal sama Philip, selalu memaksaku melakukan hal yang aku tidak mau!” kata Marco tanpa menjelaskan hal apa yang dimaksudnya.

 

Saat itu liburan Natal. Aku pergi bersama suamiku ke provinsi lain untuk mengunjungi mertuaku. Kami liburan dua minggu di sana.
Ketika kami kembali ke kota kami, aku tidak melihat Marco dan Philip lagi.
Sudah beberapa minggu aku tidak melihat mereka.
Mungkin pindah ke gym lain, pikirku.
“Marco dan Philip udah pindah gym ya?” tanyaku pada Lina.
“Mereka sudah meninggal!” kata Lina.
“Apa?”
“Kamu nggak liat berita?” Tanya Lina.
“Aku baru pulang liburan dari kota lain, ada apa sih?”
“Mereka terlibat perang Mafia. Perebutan kekuasaan. Kabarnya Si Philip mau merebut kekuasaan dari Boss mereka! Tapi malah mati tertembak!” kata Lina.

“Shien, kamu udah tau belum ada Supermarket Asia baru buka? Udah ke sana belum?” tanya Lina beberapa bulan kemudian.
“Belum, namanya apa? Alamatnya di mana?” tanyaku
Lina memberikan alamat supermarket asia itu.
Aku tertengun, itu alamat yang Marco ceritakan padaku.

 

Tak lama kemudian, aku mendatangi alamat supermarket asia itu.
Aku senang sekali melihat banyaknya bumbu-bumbu Indonesia dijual di situ.
Sampai petai pun ada.
Mungkinkah ini supermarket impian Marco?
Karena penasaran, aku bertanya pada manager supermarket itu tentang Marco.
“Marco itu kakak ipar saya. Dia yang menyuruh saya pindah ke kota ini untuk mengurus supermarket ini. Dia kerja keras mengumpulkan uang untuk membangun supermarket ini. Tapi sayang dia keburu meninggal.” katanya sedih.
Aku ikut sedih.
Marco baru saja ingin bertobat, tapi sudah terlambat.
Aku mulai menyadari isi percakapan terakhir mereka, yang tak sengaja kudengar.
Rupanya mungkin Philip membujuk Marco untuk ikut terlibat dalam kudeta di organisasi Mafia itu. Marco tidak mau, tapi terpaksa ikut karena harus selalu setia pada sepupunya, yang sudah banyak membantunya itu.
Saat aku pulang, tak terasa aku meneteskan air mata. Ternyata aku bisa sedih dengan kematian seorang preman.

Sejak itu setiap kali aku pergi membeli bumbu Indonesia ke supermarket itu, aku teringat Marco.
Dia sudah berjasa padaku. Sekarang aku bisa menikmati masakan Indonesia lagi.


Sayup-sayup kudengar pembicaraan pembeli di lorong supermarket itu lagi.
“Pendirinya anggota Mafia!” cibir pembeli itu.
“Ih amit-amit, uang haram. Jangan-jangan karyawan sini juga banyak yang mafia!” tuduh temannya.
Dulu aku juga sama seperti mereka. Memandang rendah pada orang seperti Marco.
Aku ingat betapa aku benci dan mencoba menghindar dari mereka terus.
Tapi mungkin mereka tidak seberuntung kita, yang bisa dengan mudah mengikuti jalan yang lurus.
Tapi bukan berarti mereka tidak bisa memiliki hati yang tulus.

 

 

Catatan:
Foto diambil dari Internet. Bukan foto supermarket yang sesungguhnya.

 

 




 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.