NOAM

Bagian 2: Kepala Babi dan Surat Kaleng

NOAM

 

Tanganku gemetar memegang surat itu. Sebuah surat kaleng. Aku tidak mengira bahwa hubunganku dan Layla akan menjadi sasaran kebencian. Aku bahkan tidak mengira bahwa perang yang terjadi di Gaza akan memengaruhi kehidupan kami yang jauh di negeri lain, apalagi mengusik-usik hubunganku dengan Layla. Belum lagi kerisauan aku dan Layla tentang pandangan orang tua kami terhadap hubungan ini.

Ponselku berbunyi, Layla menelepon. “Noam, aku dan yang lain sudah sampai ya, aku tunggu ya,” suara Layla masih terdengar ceria. Aku pun bergegas pergi memenuhi janjiku.

Minggu malam itu, aku janji dengan Layla untuk bergabung bersama teman-teman yang tinggal satu apartemen dengannya di sebuah pub. Ketika aku sampai aku dengar Layla sedang menelepon ibunya. Suaranya prihatin, sedikit gemetar, “Mama, hati-hati di jalan ya. Mungkin akan terjadi serangan terhadap warga Muslim.”

Layla kemudian menunjukkan sebuah screenshot kepadaku yang bertuliskan “Kepala babi berlumuran darah ditemukan warga tergeletak di pelataran masjid menjelang sore hari.” Itulah bunyi breaking news pada sebuah kanal berita. Kami semua terkejut mendengar berita tentang kepala babi yang dilemparkan ke pelataran sebuah masjid di Lancanshire. Generasi kami belum pernah menyaksikan hate crime seperti itu.

***

Sejak Oktober lalu, kami menyaksikan hubungan antara komunitas Yahudi dan Muslim di London yang makin memanas. Sebuah masjid di bagian barat London berkali-kali mengalami serangan semprotan cat merah. Bersamaan dengan itu, sikap antisemitisme yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, muncul secara mengerikan di hadapanku.

“Mahasiswa-mahasiswa Yahudi yang mendapat ancaman atau mengalami ujaran kebencian mulai merasa tidak aman. Salah satu temanku di universitas bahkan mendapat ancaman pembunuhan,” ceritaku kepada Layla ketika kami sedang berjalan menuju sebuah halte bus.

“Noam, apa kita aman?” Layla berpaling kepadaku, setelah kami melihat ada beberapa polisi dan warga di halte yang sedang dimintai keterangannya. Ketika sampai di depan halte, kami melihat ada grafiti bertuliskan “Islam is evil.”

Aku tidak menjawabnya, pikiranku langsung lari ke surat kaleng yang aku terima. Meski Layla seorang Buddhis, ia tetap menghadapi islamofobia karena keluarganya yang Muslim dan dirinya merupakan keturunan Muslim. Itu tampak dari surat kaleng yang aku dapatkan minggu lalu yang mengolok-olok, “Hei kamu, Yahudi penghianat, pencinta Muslim!”

***

Menjelang siang hari di bulan November, aku dan Layla bersama teman-teman satu apartemennya sudah bergegas menuju Hyde Park. Sebelumnya, aku bermalam di apartemen mereka—Layla, Lara, dan Linh—yang kalau bergurau menyebut diri mereka sebagai pemimpin kelompok gangster perempuan Asia kota ini. “The Asian Ladies London Mob”, kata mereka … haha. Kami semalam sibuk mempersiapkan poster-poster untuk aksi demo hari ini, bertuliskan “Stop the Genocide!” dan “Ceasefire Now!”

 

Sebagian masyarakat Yahudi London pun, seperti diriku, turut bergabung menyuarakan solidaritas untuk Palestina.

 

Sesampai kami di lapangan sudah mulai berkumpul ratusan orang. Segera setelah masuk, kami bertemu dengan kawan-kawan Asia lain yang sepakat untuk bertemu di lokasi. Tak lama kemudian, tampak sudah ada ribuan orang—tua dan muda—di taman pusat kota London itu. Semua mulai berjalan, mengusung berbagai poster. Di barisan depan dan belakang, terdengar suara-suara lantang meneriakkan, “Free Palestine!” Sebagian masyarakat Yahudi London pun, seperti diriku, turut bergabung menyuarakan solidaritas untuk Palestina.

“From the river to the sea, Palestine will be free …”

“From the river to the sea, Palestine will be free …”

Kami berulang-ulang melantunkan kata-kata yang oleh kelompok sayap kanan dan pendukungnya dianggap sebagai slogan antisemitis.

Situasi menjadi ricuh ketika dekat Cenotaph War Memorial terjadi dorong-mendorong antara polisi dan kelompok sayap kanan. “Kalian bukan orang Inggris lagi!” teriak mereka kepada polisi-polisi dan adu fisik antara kedua kelompok itu pun tak terhindari.

“Ayo rapatkan barisan!” teriak Lara, sambil memberi aba-aba kepada rombongan kami agar kami tidak tercerai-berai jika terjadi kekacauan.

 

Laki-laki berjenggot itu melihat lurus ke mataku dengan tatapan yang tajam. Aku segera berpaling, berusaha tampak tak acuh.

 

“Itu di samping kanan ada orang tuaku, Noam,” Layla tiba-tiba berbicara di kupingku di tengah bisingnya dan memuncaknya suasana. Aku menengok ke arah lambaian tangan Layla. Aku melihat pasangan Asia paruh baya—seorang laki-laki berkulit agak gelap dengan jenggot putih dan seorang perempuan berhijab yang wajahnya mirip dengan Layla yang sedang melambai kembali kepada Layla. Laki-laki berjenggot itu melihat lurus ke mataku dengan tatapan yang tajam. Aku segera berpaling, berusaha tampak tak acuh.

***

Aksi berakhir di gedung Kedutaan Amerika dengan relatif aman. “Well done, my comrades!” canda Lara, yang memang seperti korlap kelompok kecil kami di lapangan tadi.

Aku kemudian ikut kembali ke apartemen Layla dan teman-temannya.

“Ini namanya gulai laksa, Noam,” jelas Lara sambil menyendokkannya ke dalam sebuah mangkuk untukku. Lara memang luar biasa, ia tidak pernah kenal lelah, masih sempat memasak makan malam setelah hari yang menguras emosi dan tenaga. Kami makan berempat di sebuah meja kecil yang dimaksudkan hanya untuk dua orang.

“Pasti kamu belum pernah mencoba makanan ini,” sambung Layla. Pernyataan yang tepat sekali, aku memang belum pernah menjajaki makanan Asia, dan ternyata betul yang dikatakan orang-orang, memang lezat. Ada berbagai patung kecil dan ornamen dari Asia yang dipajang di ruang duduk apartemen itu yang aku juga baru pertama kali lihat.

“Noam, kamu gak pulang khan malam ini? Tanya Linh ketika kami berdua sedang mencuci piring. “Nginep aja lagi, kamu pasti cape.” Kupikir Linh benar, aku pun jadi bermalam lagi di apartemen mereka.

***

Apartemen itu berkamar dua. Layla memiliki kamar sendiri yang kecil, sedangkan Lara dan Linh menghuni kamar satunya yang lebih besar. Kamar tidur Layla dilengkapi dengan sebuah meja dan kursi kerja kecil serta sebuah lemari pakaian bercermin. Di sudut kanan meja, dalam sebuah bingkai kertas berbentuk hati, ada foto kecil kami berdua, Layla sedang memelukku. Entah kenapa, setiap melihat foto itu, aku jadi tersenyum. Tempat tidur Layla merupakan sebuah single bed yang memang cukup sempit untuk kami berdua, bukan hanya untuk tidur, tetapi juga untuk bercinta.

 

Aku memeluk Layla erat dan kencang, lirihnya masih terdengar dekat di telingaku.

 

Layla memasang musik dari laptop-nya dan mematikan lampu kamar. Kami melepaskan pakaian. Layla membaringkan tubuhnya di atas tubuhku dan mencium bibirku dengan lembut. Ia bangkit setengah duduk, tubuhnya mulai bergerak mengekspresikan cintanya. Ujung-ujung helai rambut hitamnya menyapu dadaku dengan setiap gerakannya. Hembusan napasnya mulai terdengar berat hingga Layla menjatuhkan tubuhnya padaku dan kami berbaur dalam napas, keringat, dan lirih cinta. Suara-suara merisiknya menggaung di dalam hatiku, menggapai lautan sanubari yang paling dalam. Aku memeluk Layla erat dan kencang, lirihnya masih terdengar dekat di telingaku. Aku ingin mencintainya selamanya. Itulah rasa di hatiku meski tidak aku ungkapkan kepadanya saat itu.

Pikiranku teringat pada surat kaleng yang aku terima, tatapan mata ayah Layla, kepala babi di masjid, dan grafiti di halte bus itu. Cinta kasih seperti Layla dan aku pasti dianggap mengganggu tatanan. Cinta yang dikutuk karena ditakuti. Orang-orang seperti kami adalah kaum penentang yang tak bisa dijinakkan. Aku terus memeluk Layla di tengah lirik-lirik lagu yang mengiringi kami malam itu.

And oh, if you stay

Well, I'll chase the rain-blown fears away

We'll shine like the morning and sin in the sun, oh, if you stay

We'll be the wild ones running with the dogs today*

 

*) The Wild Ones oleh Anderson dan Butler (Suede, 1994)

Baca Noam Bagian 1

Gambar: Pinterest

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.