Keping Kelima: Hera dan Kutukan Tahta Emas

Keping Kelima: Hera dan Kutukan Tahta Emas
: :

“Dari sekian banyak dewi yang hidup di Olimpus pada masa itu, semua mengenal satu yang paling diagungkan, yang bersanding dengan raja para dewa, yang paling berpengaruh pada masanya. Ialah Hera.”

“Hera adalah kakak sekaligus istri Zeus. Bersama-sama, keduanya dinobatkan sebagai raja dan ratu Olimpus. Pernikahan mereka adalah lambang keabadian dan keindahan, meski Zeus mendapatkan Hera dengan cara yang cukup licik, meski Hera adalah wanitanya yang kesekian.”

“Hera dan Zeus saling mencintai, tapi itu tidak membuat Zeus lantas setia terhadap Hera. Ia masih berkelana ke berbagai tempat, menjerat gadis-gadis belia atau para nimfa bahkan dewi-dewi dengan pesonanya. Tentu saja Hera murka atas kelakuannya dan membuatnya berubah menjadi dewi pencemburu yang tak kalah licik dari Zeus. Hera berubah menjadi kejam, melenyapkan setiap wanita yang menyela hubungannya dengan Zeus.”

“Zeus telah benar-benar jengah dengan kelakuan Hera, ketika ia melahirkan Athena—anaknya dengan dewi Metis—melalui kepalanya. Melihat hal itu, Hera yang murka membalas Zeus dengan melahirkan Hefaistos sendirian.”

“Sayangnya, dewi yang cemburu itu buta hatinya ketika melihat Hefaistos lahir sebagai anak yang buruk rupa. Ia bertambah murka karena Zeus dapat melahirkan Athena yang cantik dan pandai sementara Hefaistos yang dilahirkan olehnya justru membuatnya malu. Dengan amarah yang membara, ia membuang Hefaistos ke bumi.”

“Dilempar oleh sang Ibu membuat Hefaistos menjadi pincang. Ia lantas tak terima. Mengandalkan kemampuannya sebagai pandai besi, ia membuat sebuah singgasana emas untuk ibunya. Lebih tepatnya, sebagai bentuk pembalasan dendam terhadap Hera.”

“Singgasana itu dikirim olehnya ke Olimpus sebagai hadiah untuk Hera. Dewi itu terlampau senang sehingga meluputkan sihir pada singgasana buatan Hefaistos. Anaknya yang dendam itu membuatnya tak bisa meninggalkan singgasana emas itu setelah ia duduk di sana.”

“Hera marah besar pada awalnya. Ia meminta bantuan pada dewa-dewi lain untuk membujuk Hefaistos kembali ke Olimpus dan melepaskannya dari kutukan singgasana buatannya. Hefaistos yang terlanjur tersakiti hatinya, menolak bujukan para dewa dengan berkata; “Aku tidak punya ibu.””

“Apa yang dikatakan oleh Hefaistos tanpa diduga membuat Hera sedikit banyak menyesali perbuatannya. Ia dengan tulus meminta Hefaistos memaafkannya, namun itu tidak berhasil. Saat keputusasaan melanda Hera, datanglah Dinonisus, sang dewa anggur, menawarkan bantuan padanya. Ia menjamin dapat membawa Hefaistos kembali ke Olimpus dan melepaskan Hera dari kutukan.”

“Menepati janjinya, Dionisus datang ke Bumi menghampiri Hefaistos. Mereka telah berteman sejak lama dan Hefaistos mempercayainya, bahwa Dionisus datang untuk mengajaknya minum-minum, hal yang kerap mereka lakukan.”

“Dionisus tidak perlu waktu lama untuk membuat Hefaistos mabuk dan ia dapat membawanya ke Olimpus dalam keadaan tidak sadar. Hefaistos, Dionisus, dan rombongannya tiba di Olimpus dengan iringan sambutan meriah dari para dewa dan dewi. Dionisus telah berhasil menepati janjinya pada Hera, dan sang dewi bangga akan hal itu.”

“Ketika Hefaistos bangun, ia mendapati Hera yang memohon padanya untuk dibebaskan dari kutukan singgasana emasnya. Hefaistos yang awalya marah karena merasa dikhianati oleh Dionisus dan para dewa-dewi, mulai berpikir dengan cerdik ketika Hera berjanji akan mengabulkan semua permohonannya.”

“Hefaistos berkata bahwa ia ingin dinikahkan dengan dewi tercantik, Aphrodite, sebagai ganti pembebasan Hera dari kutukan. Hera awalnya marah karena Hefaistos mengatakan bahwa Aphrodite adalah dewi tercantik dan bukan dirinya. Namun mempertimbangkan pembebasannya, ia berjanji akan mengabulkan permintaan sang anak.”

“Begitulah Hera menepati janjinya untuk menikahkan Hefaistos dan Aphrodite, sehingga ia dibebaskan oleh Hefaistos dari kutukan singgasana emas itu. Tragedi itu tidak menjadikan Hera lantas menyudahi sikap tempramennya, tapi setidaknya ia telah belajar untuk memelihara amarahnya. Manusia mengabadikan kisah mereka sebagai nasihat bahwa kelakuan buruk akan selalu membawa akibat yang buruk pula.”

Luna menutup buku di tangannya dengan perlahan. “Selesai,” katanya kemudian menatap Kala yang terpejam matanya.

Kala membuka matanya tak lama kemudian. Selama beberapa detik, tatapan mata mereka hanya diiringi oleh deru napas yang tenang, udara hangat yang menyelubungi seperti selimut, dan perasaan damai yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Makasih,” ujar Kala, tersenyum kecil. “Gue jadi inget Mama.”

“Sama-sama.”

Luna menyesap cokelat hangatnya sambil mengalihkan pandangan ke jalanan di luar jendela. Jam yang menujukkan pukul sepuluh tidak membuat kota Bandung kunjung sepi, melainkan justru makin ramai. Sesaat Luna merasa gravitasinya kini bukanlah rumah, melainkan tempatnya berada pada detik itu.

“Tempramen,” tukas Kala tiba-tiba. “Itu yang bikin gue bilang lo kayak Hera waktu itu.”

Luna mengingat kembali note kecil yang datang bersama dua kopi yang ia terima minggu lalu. Gadis itu tersenyum. “Dan sekarang, menurutmu aku masih tempramen?”

Kala mengangkat bahunya. Ia menikmati keakraban aneh di antara mereka yang dirasakannya sekarang, jujur saja. “Sekarang, gue rasa lo tipe kalem yang nggak terjangkau. Tapi mungkin setelah kita mengenal lebih dalam, gue bisa aja menemukan sisi lain dari diri lo yang sekarang belum muncul.”

Luna sedikit meragukan apakah ada waktu bagi mereka untuk mencapai ‘setelah kita mengenal lebih dalam’ seperti yang dikatakan Kala. Ia berusaha mengalihkan topik. “Aku meragukan bahwa Hera benar-benar belajar dari kejadian itu.”

Kala terkekeh. “Bener juga. Pada akhirnya dia tetap dikenal sebagai dewi pencemburu yang tempramen parah. Kalo gue jadi Zeus, ah, udah nggak tahan banget sama cewek kayak gitu.”

Luna ikut tertawa. “Jadi tipemu yang seperti apa?”

“Jelas, dong. Pasti yang kalem, kayak lo mungkin?”

Luna berhenti tertawa. Kala masih terkekeh kecil sampai ia menyadari apa yang baru saja dikatakannya. Ia segera menutupi kecanggungan dengan menengok jam tangannya. “Wah, kayaknya gue harus balik ke kitchen,” ujarnya. “Lo nggak pa-pa gue tinggal?”

Meski merasa aneh dengan pertanyaan Kala, Luna tetap tersenyum sambil menggeleng. “Bukan masalah, lagipula aku akan segera pulang setelah menghabiskan minumanku.”

Kala berdiri dari kursinya. “Okelah kalau gitu. Oh ya, lo jangan kapok mampir, ya? Masih banyak buku yang harus lo baca, dan … um, kita harus ngobrol lagi kapan-kapan.”

Luna tersenyum. “Tentu saja, Kala.”

Begitulah malam mereka berakhir. Sebuah senyum tersemat di bibir Kala ketika ia berjalan menuju ke balik meja bar, tempat seharusnya ia berada di sepanjang jam tugasnya. Namun kini bagi Kala, ada tempat lain yang bisa ia hampiri selama bekerja.

Sepertinya perbincangan di meja nomor tiga tidak akan berakhir pada hari itu saja. Setidaknya, itulah yang diharapkan Kala.

[*****]

Pagi di hari berikutnya dipenuhi pertanyaan oleh Om dan Tante, seperti yang sudah diprediksi oleh Luna.

“Kamu semalem ke mana aja?”

“Kafe, Tante.”

“Ngapain, Lun?”

“Ngerjain tugas, Om.”

“Lain kali ngabarin, dong, Lun. Tante sama Om khawatir.”

Luna tersenyum. Ia suka ketika merasa bahwa mereka memperhatikannya seperti anak sendiri. Meski begitu, ia paham bahwa itu karena Om Irwan dan Tante Karin belum dianugerahi anak hingga umur pernikahan mereka menginjak tiga puluh.

“Maaf, Tante. Lain kali Luna kabari,” ujar gadis itu sambil mengoleskan selai cokelat ke rotinya.

Om Irwan mengacak rambutnya main-main. “Iya, kami percaya, kok, kamu nggak macem-macem di luar sana.”

“Terima kasih, Om.”

Irwan dan Karin memandang keponakannya yang tanpa mereka sadari telah tumbuh menjadi gadis belia yang elok paras dan hatinya. Rasanya baru kemarin ketika ibu Luna mengetuk pintu rumah mereka dan meninggalkan Luna bersama mereka. Ada janji bahwa ia akan kembali menjemput anaknya, yang sampai sekarang belum juga ditepatinya.

Suara klakson motor dari luar pagar membuat Karin melongok dari jendela, melihat siapa yang datang. “Luna, itu kayaknya Gara, deh. Kalian berangkat bareng?”

Luna segera menyelesaikan rotinya. “Ah, iya. Kalau begitu, aku berangkat dulu, Om, tante.”

Luna pergi menghampiri Gara di luar gerbang tanpa melupakan ritual mencium punggung tangan Om dan Tantenya. Gadis itu membuka pagar dan mendapati Gara duduk di atas motor ninja hitam kebanggaannya. Luna yakin, lelaki itu dapat melihat dengan jelas tatapan menghinanya dari balik kaca helm yang menutupi wajahnya.

“Aku sudah bilang berkali-kali, aku benci kamu bonceng aku pakai motor ini, Ga.” Luna tidak repot-repot menyembunyikan nada ketusnya. Ia merenggut helm dari tangan Gara dengan kasar.

“Hahaha! Maaf-maaf, kasihan dia, Lun. Lama banget nggak aku pake,” sahut Gara sambil terkekeh. Meski begitu, tak perlu waktu lama baginya untuk dapat merasakan beban berat Luna di jok belakang motornya.

“Kamu mestinya tidak memanfaatkan pekerjaanmu untuk bersenang-senang semaumu.”

Gara terkekeh memahami maksud perkataan Luna. Pekerjaan sambilannya sebagai pegawai di sebuah gerai rental motor membuatnya terkadang bisa memakai motor-motor di rental saat pengunjung sedang sepi. Bosnya sendiri yang memberinya ijin dengan dalih bahwa motor-motor itu tidak boleh terlalu lama didiamkan agar mesin-mesinnya tidak aus. Dengan begitu, Gara dengan senang hati berganti-ganti motor setiap hari kalau dia ingin.

Mereka sampai di kompleks kampus pada pukul sembilan tepat. Luna minta diturunkan dari motor ketika mereka sampai di gedung kampus Luna. “Di sini saja, Ra. Terima kasih, ya.”

Gara menaikkan kaca helmnya dan berkata, “Aku bukan ojek, ah. Nanti siang traktir, ya?”

Luna memukul pelan bahu Gara dengan helmnya. “Iya-iya, dasar perhitungan.”

Gara tertawa kemudian menstater kembali motornya. Lokasi gedung kampus mereka yang berjauhan membuatnya harus menempuh perjalanan lagi dengan motor. “Siap! Ditunggu lho, cantik.”

Luna memandang kepergian Gara dengan motornya sambil terdiam.

Sambil berjalan memasuki gedung kampus, Luna menyetir pikirannya pada masa kecilnya. Waktu itu, ia tidak tinggal di kota seperti saat ini. Ia dan ibunya tinggal di rumah kecil di kawasan kumuh kota Bandung. Saat ini, Luna bahkan tidak yakin dapat menemukan rumah lamanya dalam keadaan utuh seperti dulu.

Luna tidak pernah mengenal seseorang yang bisa ia panggil ‘Ayah’ atau ‘Bapak’ atau ‘Papa’ seperti teman-temannya. Lelaki pertama yang ia kenal adalah Ali Gahara, satu-satunya anak tetangga yang mau bicara dengan ia dan Ibu.

Luna dan Gara pergi ke sekolah dasar bersama. Di sekolah pun hanya Gara yang mau bicara dengannya sementara teman-temannya yang lain menolak dekat-dekat dengan Luna dan mengatainya anak haram. Luna tidak pernah mempermasalahkan hal itu selama ia memiliki Gara di dekatnya, sampai suatu hari ia pulang dengan rambut yang penuh telur dan baju kotor kena tepung.

Ibu panik bukan main. Karena Luna tidak mau membuka mulut, Gara yang pada akhirnya menceritakan semuanya. Mulai dari ejekan anak haram sampai Luna yang kerap kali ditindas oleh anak-anak di SD.

Sejak saat itu, Ibu menanamkan bahwa lahir tanpa ayah bukanlah suatu masalah, melainkan sebuah keistimewaan. Luna tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang ayahnya, yang selalu ia jawab dengan “aku tidak punya ayah”, seperti yang Ibu ajarkan padanya. Meski nantinya itu akan membuat orang-orang menjauhinya, ia tidak akan repot-repot peduli, seperti yang diajarkan Ibu padanya.

Namun seiring umurnya bertambah, pertanyaan-pertanyaan itu ikut tumbuh dalam dirinya. Sampai saat ini, hidupnya dipenuhi misteri. Ayah yang tidak ada, Ibu yang entah di mana, sampai siapa sesungguhnya dirinya. Hanya Ibu yang bisa menjawab semua pertanyaannya, dan ia tidak tahu di mana wanita itu berada.

Rindu itu perlahan berubah menjadi amarah dan kebencian, tanpa bisa ia kendalikan.

Tanpa bisa ia tahan, segala kesalahan dituduhkannya pada orang tua yang tak pernah benar-benar dikenalnya. Rasa sayang dan benci pada ibunya mungkin sudah tercampur sedemikian rupa hingga tak dapat lagi dibedakan, tertanam jauh di lubuk hatinya paling dalam entah sejak kapan. Luna menyesal, marah, membenci, sekaligus merindukan Ibu.

Pada saat seperti ini, Luna ingin bisa menghapus segala kenangan masa kecilnya bersama Ibu. Hanya dengan begitulah Luna dapat benar-benar membenci Ibu, menaruh kemarahan padanya dengan tenang.

Namun seperti Hera di Tahta Emas yang menanti Hefaistos membebaskannya dari jerat kutukan, yang dapat Luna lakukan hanyalah tenang, mengikuti alur dan menunggu semua pertanyaannya terurai sepenuhnya.

[Fiksi ini adalah pengembangan dari mitologi Yunani tentang Dewi Pernikahan, Hera dan Hefaistos.]

19420, ©ranmay.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.