Surat kepada Calon Mantan

Surat kepada Calon Mantan
Memilih Anda dulu itu, Pak, pada Pilkada DKI di paruh kedua 2012, sebelas tahun lalu, tak ada harapan apa-apa di hatiku. Bukan hanya itu, tapi bahkan aku tak mempunyai simpati baik pada Anda maupun pada pasangan calon wakil Anda. Perasaan saya, kalau kata orang Betawi, lempeng!
 
Aku tak mengenal Bapak, tak tahu apalagi akrab dengan kiprah Bapak di Solo sebelumnya. Pertama kalinya saya tahu keberadaan Bapak adalah, melalui berita foto tentang blusukan Bapak ke suatu pasar kumuh di Jakarta, dengan memakai baju kotak-kotak yang lalu menjadi trademark Bapak dan Ahok, pasangan calon wakil Bapak—sebab melihat foto itu pulalah saya menjadi kenal dengan istilah blusukan.
 
"Namanya kampanye, pasti cari simpati dari akar rumput. Kalau sudah menang, ya entahlah," pikir saya skeptis saat melihat foto berita tersebut.
 
Masih dalam kaitan kampanye Pilkada DKI itu, pada suatu hari terberitakan bahwa pasangan Jokowi-Ahok akan hadir dalam diskusi di Komnas HAM Perempuan. Pada harinya aku datang telat, dan melihat ternyata yang datang hanya Ahok.
 
"Bagaimana, bagus nggak apa yang disampaikannya?" aku bertanya dengan berbisik pada satu anak yang berasal dari sekretariat yang sama dengan tempat berkegiatanku.
 
"Ya gitulah, namanya juga politisi," anak tersebut meresponku dengan pendek.
 
Hmm..., begitu ya... Pasti kosong selain janji-janji belaka. Tepatnya, janji-janji kosong belaka.
 
Rasa tak suka-ku memuncak ketika pada suatu hari aku menemukan di lingkungan rusun tempat aku tinggal, ceceran lembaran kampanye Bapak dan bakal calon wakil Bapak. Tak hanya satu atau dua lembar, tapi sangat banyak.
 
"Menyampah! Takkan kupilih pasangan ini! Pasti!!!" pikirku sengit.
 
Kenyataannya, pada putaran pertama aku memilih untuk golput. Malas! Karena, tak ada pasangan yang kena di hati. Datang ke TPS pun tak kulakukan.
 
Namun, ketika tiba pemilihan untuk putaran kedua, aku memaksa diri untuk turun gunung. Tanpa ragu aku memilih Bapak dan pasangan calon wakil Bapak.
 
Bukan! Bukan karena aku mengagumi Bapak dan pasangan. Melainkan, karena saya memakai prinsip 'tak ada rotan, akar pun jadi'. Menurut pandangan sempit dan sedehanaku, apabila Anda menjadi DKI-1, maka calon yang satu lagi tak perlu lagi duduk di kursi itu. Terlalu sebal aku padanya, ia yang waktu itu adalah Gubernur petahana.
 
Tentunya, dengan kesadaran bahwa masalah nantinya apabila Anda telah terpilih dan menjabat ternyata Jakarta tetap terbang secara autopilot, sama saja dengan yang sebelumnya, tak jadi soal. Rasanya, kami sebagai penduduk DKI sudah biasa dalam keadaan seperti itu, autopilot saja. Siapa saja Gubernur-nya, tak menjadi soal.
 
Terus terang, kalau melhat berita bahwa Bapak blusukan ke pusat-pusat akar rumput, aku selalu tersenyum miring. Di mataku, sikap Bapak itu tak lebih dari menebar pesona demi suara. Bapak bukan yang pertama. Sudah hafal saya dengan sikap demikian, sikap dari para calon pemimpin di masa kampanye mereka. Sudah hafal juga saya, bahwa setelah mendapat kedudukan idaman, umbaran janji lenyap bagai debu tebal terguyur hujan deras.
 
Maka, tanpa beban dan dengan sadar bahwa takkan kecewa bagaimanapun situasi nantinya setelah Bapak terpilih, kutusuk foto Bapak dan calon wakil Bapak waktu itu di TPS. Dengan hati-hati, supaya tak merusak kertas pemilih yang malah bisa bikin suara batal. Meski rekam jejak Bapak sama sekali tak kuketahui. Kiprah dan sepak terjang Bapak tak jelas di mata saya. Singkatnya, saya buta tentang Bapak, begitu. Tapi, ya itu tadi, saya sudah bosan dengan sang petahana.
 
"Tak ada harapan muluk-muluk. Kalau ternyata kerjanya bagus, anggap saja bonus asik seperti kita dapat piring cantik hadiah di supermarket," kataku pada seorang teman se-TPS, saat kami menunggu giliran masuk bilik pemilih.
 
Dan, Anda pun ternyata menang. Lalu, ternyata Anda bekerja baik dan benar, membuat penduduk Jakarta tak lagi hidup autopilot. Hal mana membuat saya bahagia bagaikan mendapat payung cantik gratis di supermarket. Respekku mencuat lurus sampai langit ke-tujuh. Meski aku sadar tak semua bisa langsung beres dalam waktu singkat. Jadi, kekurangan-kekurangan dapat kumaklumi saja. Bapak kan bukan Tuhan, ya tidak!?
 
Lagi-lagi berdasarkan pemikiranku yang sempit, dua periode untuk Bapak di DKI-1 akan jadi waktu yang lumayan panjang buat memperbaiki Jakarta, yang morat-marit sudah sejak lama. Singkat kata, aku menetapkan diri untuk memilih Bapak lagi apabila Bapak maju untuk kedua kalinya kelak.
 
Tapi, dasar penduduk +62, nggak boleh lihat orang kerja sedikit bagus langsung suruh-suruh segera naik jabatan. Dalam tempo tak terlalu lama, mulailah keluar teriakan-teriakan: "Jokowi for Preisdent!"
 
Eits, ‘ntar dulu! Kasihlah waktu 10 tahun kepada sang DKI-1 itu buat memperbaiki Jakarta. Setelah itu, mari kita usung dia ke jalan menuju RI-1. Begitu isi kepala saya. Maka, sungguh kecewanya saya ketika kemudian Bapak mencalonkan diri dalam Pilptes 2014. Padahal, belum tuntas Bapak menjalani tugas di DKI, bahkan Bapak tinggalkan jabatan itu demi maju ke Pilpres.
 
Kesal! Di mata saya, ternyata Bapak memang tak lebih dari pengejar kedudukan dan kekuasaan.
 
"Saya kecewa, Pak! Pasti saya golput!" sungut saya kesal di dalam hati.
 
Dalam perkembangannya, saya lalu tak bisa tetap golput. Berhubung, menurut saya, calon lawannya tak layak menjadi pemimpin nomer 1 di NKRI. Maka, saya pun kembali memegang prinsip 'tak ada rotan akar pun jadi'. Tapi, ternyata saya malah jatuh cinta padamu, Pak!
 
Kejadiannya, tepat pada hari ulang tahun saya, 5 Juli 2014. Pada hari itu, ramai-ramai dengan banyak teman, saya ikutan hadir di acara kampanye gadang Bapak di GBK Senayan. Hari itu berada dalam masa bulan puasa, tapi tak menjadi halangan buat banyak orang untuk hadir. Hebat sekali!
 
Kenapa saya hadir? Ikut-ikutan saja, Pak! Ramai-ramai bersama teman-teman. Toh saya pasti memilih Bapak, jadi ya mengapa tidak.
 
Pada saatnya, terlihat di lapangan rumput nan hijau berdiri panggung kokoh. Memanjang sampai ke tengah lapangan sepak bola itu. Lalu, tiba-tiba kulihat Bapak muncul dari belakang panggung—tak lagi berbaju kotak-kotak tapi hem putih. Kemudian, kaki Bapak yang berbalut sepatu buatan anak bangsa, dengan mantap berjalan menapaki panjangnya panggung. Menuju ujung panggung sebelah depan.
 
Kalau tak salah ingat, Bapak melangkah tenang sambil melambaikan tangan. Mungkin yang itu aku salah, tapi aku yakin dengan yang satu ini: ketika suara pendukung menjadi semakin menggemuruh, tiba-tiba seperti ada sebuah enerji bak air bah yang mendorong Bapak ke depan. Membuat Bapak berlari sampai ke ujung panggung. Waw!!!
 
Di situ saya menjadi sangat tercengang. Sepertinya, ini menjadi pertanda bahwa dukungan rakyat akan memberi kekuatan dan kemenangan pada Bapak! Saya jatuh cinta! Lagi! Karena, rakyat ternyata sangat mencintai Anda, Pak.
 
Tapi, maafkan, Pak, cinta saya tak buta. Sebab, saya masih tetap memegang prinsip ‘tak ada rotan akar pun jadi’.
 
Dengan memegang prinsip itu, dan cinta yang tak buta, ketika terjadi hal-hal yang mengecewakan dari Bapak setelah menjadi RI-1, saya senyum-senyum saja. Dan, dengan prinsip itu, serta tanpa cinta buta, saya terus menjadi pendukung Bapak. Saya bangga bahwa Bapak adalah Presiden saya. Maka, ketika Bapak sekali lagi mencalonkan diri di Pilpres 2019, saya sudah tahu Bapak adalah calon saya. Saya telah melihat ada harapan kami di tangan Bapak.
 
Maka, tanpa ragu saya turun sampai dua kali ke GBK Senayan. Pertama, ketika alumni Universitas Indonesia berdeklarasi mendukung Bapak. Dan, yang kedua, ketika alumni SMA se-Jakarta yang juga sama, mendukung Bapak. Pada yang kedua ini, saya hampir klenger lho, Pak. Berdiri berdesak-desakan di bawah panas matahari meski sudah berpayung, ditambah klaustofobik, saya ambruk meski sejenak.
 
Sebentar lagi, dari saat saya menulis ini, Bapak akan turun jabatan setelah 10 tahun mengabdi pada bangsa dan negara. Begitu banyak pencapaian yang diperoleh Bapak, yang diakui baik secara nasional dan internasional—meski ada juga yang mencela dan menghujat, tapi itu biasa ya, Pak, dalam dunia politik. Manusia memang tak bisa sempurna, bambang!
 
Namun demikian, dari semua pencapaian Bapak, yang paling saya saluti adalah penanganan pandemi COVID-19. Bola mata saya membesar ketika saya membaca berita bahwa Bapak menetapkan tempat-tempat tertentu, semisal Wisma Atlet di Kemayoran, untuk menjadi rumah sakit darurat khusus penanganan COVID-19. Bernama Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, yang sifatnya sementara.
 
Pandemi yang satu ini memakan korban yang terlalu banyak. Tapi, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa apabila saat itu bukan Bapak yang menjadi presiden, dijamin kita akan lebih babak belur. Entah jadi apa kita, entah berapa banyak lagi kehilangan yang harus kita tanggung. Semesta sudah mengatur bahwa pandemi ganas itu datang di masa Bapak menjadi Presiden NKRI.
 
Masalah kesehatan memang nampaknya menjadi salah satu prioritas Bapak, ya. Bapak mungkin bukan pencipta BPJS Kesehatan, tapi Bapak menyempurnakannya. Syukurlah!
 
Saat menulis ini, saya sedang duduk di ruang tunggu IGD sebuah rumah sakit pusat. Menunggui adik saya yang sedang berada dalam masa kritisnya di HCU lantai atas IGD. Saya punya trauma pada rumah sakit pemerintah, tapi pengalaman yang sekarang sungguh berbeda. Adik saya sudah setahun lebih sakit, Pak, sebagian besar pengobatannya memakai BPJS Kesehatan. Pelayanannya baik, tidak seperti Askes di masa almarhum Ayah saya dulu. Salut!
 
Ah, baiklah, Pak. Sudah terlalu banyak kata-kata yang saya luncurkan. Selamat ya, Pak, dalam menjalani kehidupan pasca-Presiden. Sehat selalu, semangat selalu, dan seru selalu kalau bermain dengan cucu-cucu Bapak. Saya, rakyat Indonesia ini, akan selalu mendoakan Bapak.  =^.^=
 
Ruang tunggu IGD RS Fatmawati
- medio Juli 2023
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.