Belajar dari Kekonyolan yang tak Termaafkan

Belajar dari Kekonyolan yang tak Termaafkan
Sumber image: freepik.com

Di tahun-tahun terakhir ini, saya sedang menyukai kerja remote dari rumah. Betapa tidak, setiap pagi saya masih bisa mengantar anak ke sekolah, lalu sore menjemputnya lagi.

Ini adalah model kerja yang dulu sebelum revolusi digital men-distrupt sistem kerja lama, sering saya diskusikan dengan presdir saya, untuk diterapkan di kantor. Tapi saat itu, sepertinya mustahil dilakuin. Paling tidak, ragu untuk dilakukan!

Sekarang, sepertinya malah alam yang menuntut saya untuk melakukan ini. Awalnya ketika sistem pricing advertising di era digital ini terjun bebas. Bayangin, kalo sebelum 2008 produksi untuk bikin film iklan itu minimal aja Rp 800 juta, sekarang, sadis deh. Kecil banget!

Hal seperti ini yang menyebabkan beberapa agency bertumbangan, atau memutar strategi untuk survive.

Saya sendiri memutuskan untuk punya model kerja sendiri. Untuk projek-projek besar, saya sertakan team di kantor. Untuk projek-projek kecil, saya handle sendiri.

Misal, beberapa waktu lalu saya mengerjakan project brand otomotif dari Jepang yang untuk produksinya saja menghabiskan sekitar Rp 1 M lebih; ini jelas saya libatkan kantor. Karena saya sendiri males ngurus dan nggak punya permodalan untuk menanggung produksi segitu besar di depan. Sementara untuk projek-projek seperti iklan partai, webseries, digital campaign, yang creative fee-nya tidak cukup untuk saya bagi dengan team di kantor saya, ya saya handle sendiri.

Di saat sekarang ini, terlalu belagu kalo saya harus nolak projek campaign hanya karena budgetnya terbatas. Jadi, saya terima saja.

Persoalan berikutnya dengan dunia kerja bebas seperti ini adalah saat saya harus merekrut team, ketika pekerjaan nggak bisa dihandel sendiri. Kalo cuma sekadar strategi dan konsep kreatif, saya sudah ngelotok. Tapi kalo untuk urusan konten yang sifatnya massif, jelas saya perlu "pasukan".

Hal inilah yang dalam 2 minggu ini bikin saya kayak kena samber petir.

Saya mendapatkan projek dari sebuah perusahaan berbasis aplikasi digital untuk membuat konten tulisan dengan jumlah minimal 350 artikel dalam 1 bulan. Itu minimal lho. Artinya bisa sampai 1000 artikel lebih dalam 1 bulan. Estimasi billing yang didapat lumayan besar kalau ditotal, tergantung kuantitas artikel dan jumlah kata.

Saya pun sudah undang pasukan penulis, yang estimasinya kira-kira perlu 20 orang dengan writer berjiwa fighter.

Soal pasukan penulis saya nggak ada isu. Aspek administratif pun aman. Orang nomor satu perusahaan tadi sudah mempercayakan saya untuk menghandel seluruh projeknya, dan siap tempur.

Untuk mengaturnya, saya rekrut team inti, 2 orang Board of Editor plus saya yang bertanggung jawab pada kualitas konten.

Nah, justru isu besar ada di board of editor yang sudah sangat saya percaya expertise-nya ini. Bagaimana nggak, mereka adalah orang dengan pengalaman editorial management di perusahaan-perusahaan penerbitan terkenal. Karya bukunya pun udah belasan.

Tau apa yang terjadi?

Salah satu staf dari perusahaan  calon client tadi meminta saya melakukan simulasi pengerjaan projek dulu, cukup dengan 2 tulisan saja. Saya jelas bersedia. Dan ini sangat wajar adanya. Maka mereka keluarkan briefnya yang simpel banget, serta guideline-nya yang sangat-sangat jelas.

Deadline pun dikasih lebih dari cukup. 2 hari.

Di sini hal paling bikin saya gondok terjadi. Gondok karena ini kekonyolan terbesar sepanjang karier profesional saya.

Karena saya percaya reputasi Board of Editor yang saya tunjuk, maka saya serahkan semua simulasi tadi ke dia. Nggak perlu dulu melibatkan team penulis lain, begitu saya bilang.

Maka saya kasih mereka akses ke perusahaan calon client tadi. Dan hasilnya? Bener-bener bikin saya dalam 2 minggu ini berusaha bersabar dan tidak mau mengingat ini lagi, sampai kemudian saat ini saya menuliskannya.

Pihak perusahaan minta contoh tulisan 700 kata, editor saya malah ngasih 800 kata lebih. Pihak perusahaan ngasih restriksi untuk hanya mengambil image dari sumber yang legal (memenuhi creative license yang benar). eh malah editor saya main comot aja dari source orang, bahkan dari facebook orang yang gak dikenal. Ini bener-bener hal yang nggak bisa ditolerir. Dan saya yakin editor saya sangat ngerti soal ini.

Yang paling mengecewakan adalah simulasi itu langsung dikirim ke perusahaan partner saya tadi, tanpa melewati saya dulu. Bahkan tanpa cc saya.

Tau-tau, staf perusahaan tadi complaint ke saya, bahwa bahkan hal basic saja tidak bisa team saya ikuti dengan baik. Bagaimana bisa mengerjakan yang lebih rumit?

Begitulah. Saya merasa malu dan kecolongan luar biasa. Kepercayaan saya yang tinggi, membuat saya terlihat begitu konyol. Dan kesepakatan yang sudah saya jalin sangat-sangat erat dengan manajemen perusahaan tadi, ambyar seketika. Termasuk reputasi saya sebagai creative professional.

Saya tidak menegur editor yang saya tunjuk; karena memang belum terikat apa-apa. Saya hanya menyesalkan kepercayaan saya yang berlebih dan melupakan profesionalitas yang selama ini saya jalani dengan ketat.

Saya tidak mau menyalahkan siapapun. Ke depannya ini menjadi pelajaran pahit buat saya untuk bisa lebih berhati-hati lagi.

Terlepas dari itu, saya merasa sangat bersalah atas team penulis yang sudah saya invite, baik dari teman-teman The Writers maupun para blogger yang udah siap tempur walaupun belum resmi saya bentuk. Mungkin saat ini belum rezeki kita. Tapi di masa mendatang, insya Allah ada penggantinya yang jauh lebih baik dan lebih terang. Amin.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.