Penghuni Halaman Belakang

Saksi perjalanan dari sebuah ketulusan.

Penghuni Halaman Belakang
Ilustrasi oleh Milla Andriana

***

Bangun pagi, ambil hape, pasang earphone, nonton 'yutub', birahi, mandi sambil nonton 'yutub', sarapan, nyetater mobil, berangkat kerja.

Tanpa ‘da...da’ apalagi kecupan mesra.

Pulang kerja, markir mobil, ambil hape, nonton yutub, makan sambil nonton yutub, birahi, pasang earphone, lanjut  nonton yutub lagi di kamar lain sampai jam 1 pagi, birahi lagi, ke toilet ngelap kelamin yang sejak tadi berdiri, nggak mandi, tidur.

Tanpa sapa apalagi kecup dan pelukan mesra.

Kelamin tak pernah bertemu. Keluarga besar tak ada yang tahu.

***

Dari kegelapan malam di halaman belakang rumah Mas Wahyu dan Mbak Maya, terdengar suara-suara setengah berbisik.

 “Pernikahan macam apa itu?” tanya sebuah suara memecah keheningan malam.

“Iya. Masak kita nggak pernah denger atau lihat kalau mereka... Berarti hanya di dalam ember dan di atas tali jemuran aja dong kelamin mereka bertemu,” sahut suara lain di sebelahnya.

“Huh… besok pagi kancutnya  Mas Wahyu yang  menyengat seperti bau keju itu pasti dijemur di belakang sini. Wangi segar sabun cuci dari merek terkenal pun pasti nggak akan sanggup ngilangin jejak malamnya," kata suara yang lain sambil bersungut-sungut.

"Kasihan Mbak Maya lho. Setelah melahirkan, aku masih sering melihatnya nangis sambil menyusui Aprille. Pernah juga nangis sambil masak," sahut suara lain dekat dapur.

“Habis mau gimana lagi? Aku juga sering melihat Mas Wahyu menghina Mbak Maya. Bilang Mbak Maya gendutlah.. dibilang kulitnya itemlah. Padahal Mas Wahyu kan nggak ganteng dan… kulitnya lebih item dari Mbak Maya hihihihi. Lagipula, meski kulit Mbak Maya nggak putih, tapi dia kan baik sekali ya. Sama kita juga baik kan?” teman di sebelah kirinya menimpali.

“Kalau aku malah pernah lihat suaminya yang temperamental itu membanting hape sampai hancur berantakan saat ditanya oleh Mbak Maya ‘kenapa pulangnya malem’. Pengen banget kuhajar suaminya itu. Paling tidak mengikatnya lalu mencambuknya beberapa kali untuk membuatnya jera. Tapi aku takut kalau Mas Wahyu terluka atau mungkin malah tak sadarkan diri. Mbak Maya dan anaknya pasti akan lebih susah," sambung suara serak dari arah tengah.

“Trus, kenapa mereka nikah ya?” tanya suara yang dibelakangnya lagi.

“Nanti kita pasti akan tahu,” jawab suara dari arah atas.

“Mending Mbak Maya kabur ajalah, cari laki-laki lain di luar sana. Suami kayak gitu ngapain dipertahankan?” komentar suara lain dari arah kiri.

“Mungkin karena Mbak Maya mikirin anaknya. Jadi dia nggak mikirin perasaannya sendiri,’ kata yang sebelahnya lagi.

“Kalau dia pergi, siapa tahu dapat suami yang lebih baik,” sambung suara dari bawah pohon mangga.

“Ah.. sok tahu kamu!” gerutu suara di sebelahnya.

“Kenapa Mbak Maya nggak ngelawan ya?” tanya yang lainnya lagi.

“Aduuuuh… kamu gimana sih? Mana bisa Mbak Maya ngelawan? Orang lembut kayak gitu mah pasti akan nerima aja meski hatinya sakit,” jawab suara bernada judes di dekat jendela.

Ketika suara-suara mereka makin gaduh, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam kamar tidur Mbak Maya. Acara ngerumpi malam itupun langsung terhenti bersamaan dengan lompatan kaget mereka.

“Aku kan sudah bilang, aku nggak pernah mencintai kamu Maya. Aku ilfil tahu nggak setiap lihat kamu. Kayak ngerasa dapet musibah setiap hari! Aku juga seperti diingatkan terus akan kegagalanku. Gagal kalau karena sudah ditolak sama perempuan-perempuan  yang aku cintai. Yang sesuai kriteriaku. Jadi keinget terus kalau dulu mereka itu nolak aku!” suara Mas Wahyu terdengar sangat emosi.

“Asal kamu tahu ya, perempuan-perempuan yang dulu pernah kupacari dan dengan rela kutiduri  itu cantik-cantik, lebih muda,  kulit mereka juga putih bersih. Gak kayak kamu gini!” bentak Mas Wahyu.

Terlihat siluet tubuhnya tegap berdiri, berkacak pinggang sambil sesekali telunjuknya menuding ke arah Mbak Maya.

“Kalau memang kamu nggak mencintai aku, kenapa waktu itu kamu datang lagi ke rumahku sambil menangis dan memutuskan untuk melanjutkan kembali hubungan kita yang sempat terputus selama 2 bulan? Kupikir kamu berubah pikiran dan memilih untuk menerimaku apa adanya,” tanya Mbak Maya dengan suara bergetar pelan dan mata berkaca.

“Ooooo… kamu pikir aku nangis dulu itu karena menyesal udah mutusin kamu dan berubah mencintai kamu? Enggak sama sekali! Waktu itu aku nangis karena keputusan yang aku buat ini. Keputusan kalau ternyata aku nggak bisa ninggalin kamu. Kalau aku memilih untuk tetap sama-sama kamu. Tapi aku sama sekali nggak cinta sama kamu. Aku juga nggak sayang sama kamu Maya!” lanjut Mas Wahyu tetap dengan suara keras.

Mendengar semua itu, Mbak Maya pun menangis terisak.  Aprille, bayi mereka yang tengah pulas tiba-tiba terbangun dan menangis. Suara oek...oek...oek... yang semakin keras malam itu membuat Mas Wahyu membawa langkahnya keluar kamar sambil membanting pintu.

Mbak Maya yang tetap berada di kamar itu, lalu rebah dan memiringkan tubuhnya menghadap Aprille. Dengan air mata berlinang, ia menyusui bayinya.

Ini salah satu resiko yang sudah pernah dibayangkannya. Dia memilih untuk tidak meninggalkan Mas Wahyu meski beberapa kali sahabatnya memergoki Mas Wahyu masuk ke kamar kos wanita yang kebetulan berada persis di sebelah kamar sahabatnya itu. Katanya sih urusan kerjaan. Kok sampai subuh?

Bahkan mendengar cerita itu Mbak Maya tetap tak bergeming. Ia memilih untuk bertahan mendampingi Mas Wahyu demi Aprille. Dia tidak ingin Aprille tumbuh tanpa ayah. Dan Mbak Maya pun bertekad bulat untuk kuat. Demi Aprille.

Potongan demi potongan kenangan pun lalu muncul seperti 'drakor' yang menambah derasnya tangis Mbak Maya malam itu.

Sebelum janin Aprille tumbuh dalam rahimnya, mamanya Mas Wahyu melarang anak kesayangannya itu untuk melanjutkan hubungan mereka karena usia Mbak Maya yang terpaut 8 tahun lebih tua dari Mas Wahyu.

“Mama ingin punya cucu dari kamu Wahyu, ngapain kamu nikah sama dia? Nanti kalian nggak bisa punya anak lho. Memangnya di sana nggak ada perempuan lain yang lebih muda?” tentang mamanya Mas Wahyu dengan suara melengking tinggi.

Mbak Maya yang mendengar percakapan melalui video call tersebut dari dapur hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala lalu dengan tetap tenang memasukkan potongan ayam ke dalam wajan berisi minyak panas. 

"Semesta pasti akan menyelesaikannya," kata Mbak Maya dalam hati.

 

Dua Minggu Kemudian

"Selamat ya pak, bu. Hasilnya positif," suara dokter Oki memecah ketegangan di dalam ruang praktek itu dan sambil tersenyum ramah menyerahkan hasil laboratorium itu ke tangan Mbak Maya.

Mbak Maya menerima kertas itu dengan ekspresi bingung karena menurut dokter Lula di rumah sakit dekat rumahnya, akan sangat sulit baginya memiliki anak karena indung telurnya hanya 1 dan seringkali menutupi mulut rahim. Jadi otomatis akan menghalangi masuknya sperma. Pantas aja seminggu ini ia merasa nggak enak badan. Malah ia sempat pikir 'tipus'nya yang kambuh karena ciri-cirinya sama. Mual, pusing dan keringat dingin..

Ekspresi berbeda ditunjukkan oleh Mas Wahyu yang berada di sebelah Mbak Maya. Ia tak menyangka bahwa doanya akan dikabulkan padahal baru 2 minggu lalu ia berdoa memohon kepada Tuhannya agar memiliki anak dari Mbak Maya, supaya dia punya alasan kuat untuk tetap bersama.

"Kok bisa ya Tuhan benar-benar mengabulkan permohonanku?" tanya Mas Wahyu dalam hati. "Bagaimana mungkin bisa langsung jadi karena seingatku cuma sekali."

***

 

Setelah 'berita positif' itu, penolakan versi lain datang lagi dari keluarga Mas Wahyu.

“Itu beneran anak kamu Wahyu? Jangan-jangan dia hamil sama laki-laki lain!” serang mamanya Mas Wahyu lagi dengan nada merendahkan.

“Itu beneran anakku Ma. Maya hanya berhubungan sama aku kok. Aku yakin itu,” bela Mas Wahyu.

“Ah…terserah kamulah. Kita buktikan aja nanti mirip apa enggak bayi itu sama kamu. Sama keluarga kita!” timpal papanya Mas Wahyu dengan nada sinis.

Meskipun Mas Wahyu tidak menghiraukan ucapan dari orang tuanya, sikapnya kepada Mbak Maya semakin hari semakin tidak peduli dan kasar. Jangankan menggandeng tangan Mbak Maya, jalan bersebelahan dengan Mbak Maya saat hamil tua pun, ia tak sudi.

Ketika Mbak Maya mempertanyakan ‘kenapa nggak mau jalan berdekatan’, Mas Wahyu menjawab judes ‘aku malu jalan sama kamu’.  Karena saat itu mereka sedang berada di dalam mal yang ramai pengunjung, Mbak Maya mengerjap-ngerjapkan matanya agar air mata yang mengambang di dalamnya tidak mengalir jatuh.

Peristiwa lain yang juga menyesakkan adalah ketika Mbak Maya sempoyongan hampir jatuh setelah membungkuk memilih buah di pasar tradisional dekat komplek perumahan mereka. Mas Wahyu yang berdiri sekitar 1 meter dari Mbak Maya itu tetap diam di tempatnya, memasukkan kedua tangannya di kantong celana dan hanya memandang Mbak Maya dengan ekspresi marah. Penjual buah di pasar itu sampai bertanya kepada Mbak Maya ‘kalau sakit kenapa sendirian ke pasar’. Mbak Maya yang tidak mau orang lain menilai buruk Mas Wahyu, hanya tersenyum mendengar komentar itu karena melihat Mas Wahyu bersikap seolah tak mengenalnya.

Setiap kali olahraga santai di taman, ekspresi wajah Mbak Maya langsung berubah ketika melihat beberapa pasangan yang berpapasan dengannya.  Ibu-ibu hamil yang tersenyum bahagia karena digandeng sambil sesekali dirangkul oleh suaminya. Biasanya setelah melihat mereka, Mbak Maya langsung mengelus perutnya, sambil berkata lirih,"Tenang aja sayang, kita kan kuat...pasti kita akan baik-baik aja."

***

Meski menjalani kehamilan yang penuh drama berkawan air mata, akhirnya Mbak Maya melahirkan bayinya pada hari Rabu tepat jam 12 siang, tanggal 27 April 2011 melalui proses 'operasi sesar'. Mas Wahyu menemaninya di rumah sakit.

Saking senangnya mendengar kabar itu, mereka, penghuni halaman belakang, setiap hari main tebak-tebakan bahkan sampai taruhan 'mirip siapa nanti anak itu'.

"Kalau nggak mirip sama Mas Wahyu, nanti Mbak Maya pasti dihina lagi sama keluarganya Mas Wahyu," kata Putih sedih.

Setelah empat hari berada di rumah sakit, akhirnya mereka melihat Mas Wahyu dengan sangat hati-hati menggendong bayi mungil itu berdampingan dengan Mbak Maya yang berjalan pelan di sebelahnya sambil sesekali  meringis memegangi perut karena luka bekas operasi yang pasti belum kering. Mereka bertiga memasuki rumah dan langsung menuju kamar yang pagi tadi sudah dirapikan oleh Bu Atik, tetangga sebelah yang sering dimintai tolong bersih-bersih rumah oleh Mbak Maya.

Setelah diletakkan di dalam box bayi warna putih yang sudah dilengkapi dengan bantal, guling, dan alas tidur soft pink, para penghuni halaman belakang baru bisa melihat dengan jelas wajah bayi itu.

Dan mereka semua ternganga. Ternyata bayi itu tidak mirip dengan Mas Wahyu tapi lebih mirip… hmm…. siapa ya?

Astagaaaaaa…. Bayi itu mirip sekali dengan papanya Mas Wahyu. Pria galak setengah baya berdahi lebar dengan alis bertaut yang juga memiliki lekuk lesung di pipi sebelah kanannya. Mereka pernah melihatnya satu kali.

Kabar baik lainnya pun mulai berdatangan.

Melihat wajah bayi Aprille melalui foto yang dikirimkan oleh Mas Wahyu kepada orang tuanya, seketika penolakan dari mereka selama ini, berubah menjadi restu.

“Anakmu mirip sekali sama kamu waktu bayi lho Wahyu,” kata mamanya Mas Wahyu. “Kami semua di sini senang sekali. Selamat ya. Salam untuk Maya.”

Kesedihan Mbak Maya berubah jadi keasyikan karena setiap hari mengurus dan membesarkan Aprille dengan penuh cinta.

 

Delapan Tahun Kemudian

Bangun pagi, ambil 'hape', pasang earphone, nonton 'yutub', birahi, mandi sambil nonton 'yutub', sarapan, nyetater mobil, berangkat kerja.

Tanpa ‘da...da’ apalagi kecupan mesra.

Pulang kerja, markir mobil, ambil 'hape', nonton 'yutub', makan sambil nonton 'yutub', birahi, pasang earphone, lanjut  nonton 'yutub' lagi di kamar lain sampai jam 1 pagi, birahi lagi, ke toilet ngelap kelamin yang sejak tadi berdiri, nggak mandi, terus tidur.

Tanpa sapa apalagi kecup dan pelukan mesra.

Kelamin mereka masih tak lagi pernah bertemu dan keluarga besar tetap tak ada yang tahu.

***

Malam ini, entah malam yang ke berapa puluh ribu Mas Wahyu mengabaikan Mbak Maya.

Tapi pemandangan di dalam kamar itu berbeda 180 derajat dengan 8 tahun lalu. Mbak Maya yang dulu duduk pasrah menerima tudingan telunjuk Mas Wahyu yang berdiri di hadapannya, sekarang terlihat berdiri sambil bicara serius dengan Mas Wahyu yang saat itu duduk dengan wajah menunduk. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Menyesal, malu, atau malah bosan mendengar Mbak Maya bicara.

“Nggak masalah buatku kalau kamu tidak mencintai aku. Nggak masalah buatku kalau kamu tidak pernah menganggapku istri yang sesungguhnya. Penghinaan macam apa dari kamu yang belum pernah kudengar? Semua sudah pernah kudengar. Bahkan penghinaan paling kasar dan menjijikkan yang keluar dari mulutmu pun sudah pernah kudengar.  Yang penting kamu tetap perhatian dan menyayangi Aprille. Buatku itu sudah lebih dari cukup,” kata Mbak Maya lembut namun tegas.

“Tapi.... mulai saat ini takkan kubiarkan lagi Mas Wahyu menghinaku. Apalagi Aprille semakin besar. Mas tahu kenapa?” tanya Mbak Maya.

Mas Wahyu masih tertunduk dalam diam.

“Karena aku adalah seorang ibu yang kebetulan adalah ibu dari anakmu.Tak akan pernah kubiarkan lagi kamu menghina seorang ibu, Mas,” kata Mbak Maya entah dapat keberanian dari mana sampai bisa mengatakan itu.

Seandainya dari dulu dia berani seperti itu, pasti sikap buruk Mas Wahyu tidak akan berlarut.

“Hal kedua, kamu mungkin berpikir kalau aku tidak tahu, hampir setiap pagi dan malam kamu menonton channel-channel maksiat di 'yutub' lalu meluapkan birahimu dengan perempuan-perempuan ‘maya’  yang ada internet itu. Kalau sampai suatu saat Aprille tanpa sengaja melihatmu melakukan itu, aku tidak akan pernah memaafkanmu Mas!” kata Mbak Maya sambil menatap tajam Mas Wahyu.

“Aku juga tahu beberapa kali dengan alasan pekerjaan, kamu datang ke tempat kos perempuan sampai subuh. Untuk urusan ini, aku juga tidak akan membiarkan lagi perempuan lain merebut waktu yang seharusnya untuk Aprille. Aku tidak akan segan-segan mendatangi perempuan itu, memperjuangkan hak Aprille!" kata Mbak Maya tegas.

"Apa kamu lupa pernah memohon agar Tuhan mengirimkan Aprille? Tolong ingat ya Mas, aku akan fight untuk dia!” lanjut Mbak Maya sambil melihat ke arah Aprille yang terlelap sejak tadi.

Seperti disambar 'geledek', Mas Wahyu terhenyak kaget. Ia tak menyangka Mbak Maya akan berkata segamblang itu tentang semua hal curang yang selama ini dilakukannya diam-diam.

Dan malam itu, karena mungkin dibantu permohonan berjuta bintang, semesta menunjukkan kuasaNya lagi, untuk kesekian kali.

Mas Wahyu akhirnya berdiri, memegang tangan Mbak Maya lalu memeluknya sambil meminta maaf dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Berjanji akan berusaha menjadi suami yang baik dan ayah yang bisa diandalkan.

Sambil tersenyum lembut, Mbak Maya mengucapkan terima kasih lalu meminta Mas Wahyu untuk meminta maaf juga kepada Aprille. Tanpa tahu apa yang terjadi, Aprille secara reflek memelukkan tangannya tepat di leher Mas Wahyu saat ayahnya itu meminta maaf sambil mencium keningnya.

Melihat itu, suara isak haru terdengar bergantian dari halaman belakang seperti alunan musik yang menina bobokkan pendengarnya. Kemudian, mereka semua bergandengan tangan.

***

 

Setelah malam itu, para penghuni halaman belakang tidak pernah lagi mendengar bentakan dan tangisan. Mereka bahkan sering ikut bernyanyi ketika hampir setiap malam Mas Wahyu memetik gitarnya mengiringi suara merdu Mbak Maya dan Aprille. Beberapa di antara mereka juga sering ikut bermain dan membantu Aprille menemukan persembunyian ayahnya waktu mereka berdua berlarian main petak umpet di dalam rumah.

Seandainya delapan tahun lalu Mbak Maya menyerah dan meninggalkan Mas Wahyu, akhir ceritanya tentu akan sangat berbeda.

'Invisible friends', begitu Aprille sering memanggil para penghuni halaman belakang rumahnya, adalah saksi perjalanan dari sebuah ketulusan.

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.