Catatan cinta papa kepada mama

Ini adalah sekilas cerita cinta alm.papa kepada alm. mama saya. Sekaligus ini merupakan catatan saya yang ingin saya abadikan.

Catatan cinta papa kepada mama
Papa dan pilihan bunga teratainya

Catatan cinta papa kepada mama

Vee Cemal

 

                Tidak ada hari tanpa pertengkaran. Demikianlah kesanku mengenai pernikahan kedua orangtuaku. Selalu ada saja yang menjadi sumber pertengkaran mereka, dan selalu saja mama yang memulai. Entah itu karena papa terlambat pulang ke rumah, papa lupa akan sesuatu, atau ada masakan mama yang tidak dimakan papa. Lalu, masalah yang sudah lampau akan diangkat kembali oleh mama dan dihubungkan dengan masalah hari itu. Oleh karena itu, masalah sepele bisa makan waktu berhari-hari untuk meredakan pertengkaran mereka. Bahkan, beberapa kali mama pergi dan tidak pulang ke rumah. Biasanya dia menginap di rumah sepupunya, dan pulang setelah papa membujuk dan menjemputnya pulang.

            Aku dan adikku sudah sangat hapal dengan kebiasaan orangtua kami ini. Sedari kami SD, kami menjadi penonton pertengkaran mereka. Aku suka menangis bila mereka bertengkar. Tapi tangisanku tidak memberikan dampak apa-apa. Memasuki usia remaja, bila ada pertengkaran, kami akan masuk ke kamar masing-masing dan menyalakan musik sekencang-kencangnya. Kami keluar hanya untuk makan, mandi, dan pergi sekolah. Terkadang kami beralasan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler atau belajar bersama di rumah teman agar bisa pulang telat, dan tidak mendengar dan menyaksikan pertengkaran mereka. Sangat sumpek rasanya berada di rumah dengan suasana yang tidak kondusif!

            Terkadang kami berdua membicarakan masalah ini, dan menyusun rencana bila pada akhirnya kedua orangtua kami bercerai. Bukan hanya sekali-dua kami mendengar mama minta bercerai dari papa. Tapi tidak sekalipun kami mendengar papa mengabulkan permintaan mama, atau ia berkata cerai. Awalnya aku tidak paham, tapi setelah aku sendiri menikah dan memiliki pengetahuan lebih banyak, aku bisa memahami tindakan papa. Namun aku dan adikku bersepakat bahwa kami tetap akan menjadi anak baik-baik dan bekerja keras untuk mendapatkan nilai-nilai bagus di sekolah. Kami tidak ingin menjadi anak dengan label broken home.

            Mama dan papa bertemu saat mereka menjadi mahasiswa di kampus yang sama. Mama adalah salah satu bunga kampus, dan papa adalah aktivis kampus di sebuah universitas negeri di Sulawesi. Latar belakang keluarga mereka saling bertolakbelakang karena mama berasal dari keluarga kaya dan terpandang, sedangkan papa datang dari keluarga miskin. Keinginan mereka menikah pada awalnya mendapat tentangan dari keluarga besar mama. Namun nenek mama dari pihak ayahnya membela, dan dengan dukungan nenek inilah mereka akhirnya bisa menikah. Lalu mereka memutuskan untuk ke Jakarta untuk hidup mandiri. Tidak ada dukungan finansial dari keluarga mama karena itulah ganjaran atas pernikahan mama dengan papa.

            Sekali aku pernah bertanya kepada papa, kenapa dengan banyak tentangan dari keluarga mama, ia tetap menikahi mama, dan sebaliknya.

“Papa dan mama menikah karena kami memang saling cinta. Mama sangat mengerti tujuan hidup papa. Ia mendukung dan rela membantu papa. Kamu tau sendiri seperti apa keluarga mama, tapi ia mau diajak hidup susah dengan papa,” jelas papa.

            Memang tidak terbayang olehku bagaimana mama keluar dari kebiasaannya sebagai anak orang kaya yang hanya tahu meminta tanpa perlu bekerja keras untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Di tahun pertama pernikahan, mereka tinggal di rumah sederhana di pinggir rel kereta api di pusat kota Jakarta. Mama harus belajar mengurus rumah tangga tanpa bantuan pembantu. Ia belajar memasak, mencuci baju, pergi ke pasar, dan mengurus anak. Gelar pendidikannya tidak terpakai karena seperti halnya orang pada saat itu, perempuan yang sudah menikah harus mengalah untuk menjadi ibu rumah tangga.

            Mungkin karena tempaan ini, aku mengenal mama sebagai karakter yang keras, tidak mau kalah dan perfectionist. Waktu aku kecil, aku lebih sering mengalah dengan keinginan mama karena tidak mau beradu pendapat lama-lama dengannya. Namun setelah aku dewasa dan terlebih punya penghasilan sendiri, aku sering melawan. Aku enggan dekat dengan mama. Apalagi dengan kemiripan wajahku dengan papa, mama sering menjadikan aku sasaran kemarahannya kepada papa. Mungkin benar yang selalu dikatakan orang-orang bahwa anak perempuan cenderung lebih dekat dengan bapaknya, sedangkan anak laki-laki lebih dekat dengan ibunya. Inilah yang berlaku di keluargaku.

            Karir papa di sebuah perusahaan swasta memang tergolong mulus. Ia mulai bekerja sebagai staf rendahan. Namun papa punya pembawaan yang santun, sabar dan berpengetahuan luas. Ia punya banyak sekali teman. Aku ingat papa suka membawa kami berkunjung ke rumah teman-temannya. Ada teman sekolah, teman organisasi, teman sedaerah. Teman-temannya ini juga sering datang ke rumah, dan mama akan menyediakan kue-kue buatannya. Namun seiring dengan perkembangan karir papa, masalah pernikahan mereka bertambah dan mama menjadi orang yang gampang marah.

            Suatu waktu di saat aku sudah kuliah, pertengkaran mama dan papa memuncak. Seperti biasa, aku tidak memperhatikan apa yang menjadi sumber pertengkaran. Namun, suara pintu yang dibanting keras, membuat kaca kamarku bergetar.  Tidak pernah sebelumnya mama marah dengan membanting pintu sekeras itu. Aku mematikan tape recorder dan  turun dari kamarku di lantai dua untuk memastikan ada kejadian apa. Di ruang tamu, mama duduk mematung dengan raut muka keras, dan papa duduk di seberangnya menghadap tangga sehingga ia bisa melihatku turun. Ada koper baju di depan pintu ruang tamu. Papa menatapku, dan mengedipkan matanya. Raut wajahnya tenang seperti selama ini ia kemarahan mama. Aku berhenti melangkah, tidak tahu harus berbuat apa.

“Balik ke kamar kamu. Ini masalah mama dan papa. Kamu tidak perlu ikut campur,” kata papa.

Aku pun menuruti perkataan papa. Tapi aku berhenti di depan kamar, berusaha menguping apa yang mereka bicarakan. Aku memasang kuping bila kah pintu depan dan pagar dibuka. Namun tidak terdengar lagi pertengkaran, atau pun pembicaraan antara mama dan papa. Aku ingin menelpon adikku yang kuliah di luar kota untuk bertanya apa yang harus aku lakukan. Lalu, lampu di ruang tamu mati, dan senyap.

Keesokan paginya, aku dapati papa duduk menyantap sarapan sambil membaca koran. Koper baju tidak ada lagi di ruang tamu.

“Mama masih tidur. Jangan dibangunkan. Kalau kamu pergi, kunci saja pagar.”

Tidak ada penjelasan apapun. Tidak ada bekas pertengkaran. Aku hanya bisa mengangguk. Tidak ingin keinginanku untuk bertanya karena aku tahu papa tidak akan memberikan jawaban yang aku inginkan. Mereka bertengkar dan berdamai seakan mengikuti aturan main yang sudah mereka sepakati bersama. Di luar mereka, termasuk aku dan adikku, adalah audiens yang hanya diperkenankan melihat dan mendengar. Kami dilarang mengintervensi, mendamaikan apalagi ikut terlibat.

            Sejak saat itu, tidak lagi terdengar permintaan cerai dari mama. Namun pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi sampai dengan aku menikah dan punya anak. Aku bersyukur tidak harus tinggal di rumah orangtuaku. Demikian pula adikku yang memutuskan membawa istri dan anak-anaknya pindah ke lain kota. Maka tinggallah mama dan papa berdua saja.

Lalu, satu ketika mama jatuh sakit. Ia menderita stroke yang mengakibatkan otak sebelah kirinya lumpuh. Dengan begitu, bagian kanan badannya susah digerakkan. Kondisi ini membuat mama menjadi depresi dan tekanan darahnya selalu tinggi. Namun papa dengan sabar menyediakan makanan dan obat-obatan mama. Setiap akhir pekan papa mengajak mama jalan-jalan, baik bersama dengan keluargaku maupun adikku. Papa juga secara rutin membawa mama memeriksakan diri ke dokter, atau orang pintar. Keinginan mama untuk sembuh juga tinggi, namun nasihat dokter tidak pernah ia turuti. Setelah lima tahun, mama mengalami gagal ginjal.

            Dengan kondisi kesehatan yang semakin menurun, tidak membuat mama surut untuk bertengkar dengan papa. Terlebih mama kemudian menderita dimensia. Banyak hal yang terlupakan, dan ini membuat ia semakin frustasi. Rutinitas cuci darah dan konsultasi ke dokter membuat mama bosan. Keinginannya untuk sehat kembali semakin pupus, dan ia semakin sering melanggar nasihat dokter. Namun, papa sekali lagi dengan sabar merawat mama, dan terus-menerus mengingatkan mama untuk rajin beribadah. Sebagian besar waktu papa dihabiskan untuk merawat dan menemani mama. Ia menghibur mama dengan merencanakan pergi umrah berdua bila kondisi mama membaik.

            Tahun 2013 kondisi mama memburuk sehingga ia harus dirawat di HCU. Untuk membantu pernafasannya, dokter memasangkan ventilator. Seorang sepupu mama yang berprofesi dokter menyarankan papa untuk mencabut ventilator dan mengikhlaskan proses kesembuhan mama kepada Tuhan. Tapi papa bersikeras, dan terus menerus meminta dokter mencarikan berbagai cara pengobatan untuk kesembuhan mama. Setelah dua minggu dirawat, mama pun menyerah kepada takdirnya. Papa kembali meminta dokter untuk terus memompa jantung mama, sampai akhirnya dokter harus mengakhiri usahanya.

            Selama prosesi persiapan pemakaman dan pemakaman mama, papa menyambut setiap tamu dengan tegar. Banyak teman dan kerabat datang menyampaikan belasungkawa mereka. Rumah dan jalan di depan rumah mama dan papa dipenuhi dengan karangan bunga. Aku tidak bisa mendampingi papa karena tenggelam dengan kesedihanku sendiri. Mama dan aku memang tidak dekat, namun ia tetaplah mamaku. Aku yakin, mama mencintaiku dengan caranya sendiri.

            Usai pemakaman, papa duduk di kursi yang disediakan di samping kubur mama. Hanya ada kami, para keluarga dekat yang masih berkumpul. Papa duduk menunduk sambil memegang nisan mama. Perlahan ia mengangkat tangannya mengusap airmatanya. Seorang adik mama menghampiri mengajak papa untuk pulang, tapi papa menolak berdiri.

“Pulang saja kalian. Biarkan saya menemani Amu (nama kecil mama) di sini. Kasihan dia sendirian.”

Adikku lalu merangkul papa.

“Mama sudah baik-baik saja, pa. Kita temani mama dengan doa saja di rumah.”

Papa tetap tidak mau berdiri dari kursinya.

“Mama biasa dengan papa. Dia tidak bisa apa-apa tanpa papa,” kata papa lagi sambil mengelus nisan mama.

“Papa di sini saja dengan mama.”

Akhirnya adik papa membujuk papa.

“Kak, yang tinggal di sini hanya tinggal jazad. Tapi ruhnya akan selalu bersama kakak. Jadi, di manapun kakak berada, kak Amu pasti ada dekat kakak. Doa kakak akan lebih sempurna kalo kita lakukan di rumah.”

Dengan lunglai, papa pun berdiri. Pelan-pelan ia meninggalkan makam sambil sesekali menengok ke kubur mama.

            Beberapa hari setelah prosesi takzi’ah selesai, papa mengajakku duduk di teras.

“Vi, biasakan menengok kubur mama ya. Ingat pesan mama, memakamkan orang tidak sama dengan memakamkan hewan. Sekalipun hanya jazad yang ada di sana, tapi tengoklah secara rutin. Berdoalah di sana sama dengan kamu berdoa di rumah atau di mesjid. Itu akan mendinginkan kuburnya. Apalagi ini adalah kubur mama.”

Aku mengangguk. Aku sudah pernah mendengar pesan ini sebelumnya dari mama. Papa kemudian menambahkan.

“Mama kamu bukanlah orang yang jahat. Ia adalah perempuan terbaik yang papa temui. Papa bersyukur bisa menikah dengan mama. Saat memutuskan menikah dengan papa, ia rela meninggalkan segala kekayaan yang dilimpahkan orangtuanya, dan menerima segala resiko. Ia dengan sabar dan tabah menjalani kehidupan yang tidak mudah dengan papa. Segala rintangan dan cobaan dia hadapi dengan tegar. Ia banyak membantu dan mendukung papa untuk sampai di taraf kehidupan sekarang ini. Ia berhemat untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus membangun imej papa untuk tampil sesuai dengan karir papa. Seperti kamu tahu, rumah besar dan semua isinya ini tidak akan bisa papa peroleh tanpa dukungan mama. Bahkan bisa dibilang, mama adalah bintang keberuntungan papa. Tanpa mama, tidak mungkin papa ada di taraf kehidupan seperti sekarang.”

Aku pernah mendengar dari beberapa kerabat bahwa mama membawa keberuntungan untuk papa. Apa pun yang diniatkan papa untuk mama, itu akan terealisasi. Pintu rejeki papa seakan terbuka dan mengalir.

“Kalau kamu lihat mama dan papa sering bertengkar, itu karena mama kesal kepada papa. Mama marah untuk kebaikan papa. Memang mama sering mengulang-ulang apa yang menjadi kesalahan papa, tapi itu agar papa selalu ingat. Tidak enak mendengarnya, makanya papa sering melawan mama. Tapi pada akhirnya papa paham tujuan mama. Makanya, sekalipun mama membentak dan menghujat, papa bisa menerima itu semua. Sekalipun mama berulangkali meminta cerai, papa tidak akan pernah bisa mengabulkan. Mama adalah perempuan pilihan papa. Mama sudah berbuat banyak untuk papa, dan sudah seharusnya papa membalas kebaikan mama. Itu sebabnya juga, papa tidak pernah membiarkan kalian ikut di dalam pertengkaran kami. Semuanya adalah antara mama dan papa. Kami yang memulai, maka kami juga harus menyelesaikan.”

Papa mengusap airmatanya.

            “Mama adalah cinta papa.”

***

            Tiga tahun kemudian, papa menyusul mama. Kami pun menyatukan jazad mereka di dalam satu liang kubur. Nama mereka tertulis berdampingan di batu nisan. Papa tidak perlu lagi datang mengadu ke kubur mama tiga kali seminggu, seperti yang diceritakan pengurus kubur mama. Satu tanaman melati menghiasi kubur mereka dan menaburkan wangi cinta mereka.

 

Jakarta, 14 Feb 2021

Valentineku untuk alm. mama dan papa

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.