Sepucuk Cinta untuk Pak Broto

Sepucuk Cinta untuk Pak Broto

“Kalo bukan jadi diplomat, terus kamu mau jadi apa? Relawan???”

Memangnya kamu bisa hidup hanya dengan jadi seorang Relawan?” Teriak pak Broto.

“Tapi sejak awal aku gak pernah minat untuk berkerja di kedutaan besar.”

Aku ngerasa bahagia saat menolong orang lain.” Jawab Bimo dengan suara tak kalah tinggi.

“Bahagia saja gak cukup untuk membiayai hidup. Menjadi seorang relawan, berarti kamu menghancurkan hidupmu sendiri cuma untuk nolong orang lain. Itulah yang dilakukan ibumu.”

“BRAAK!!!” Tangan pak Broto memukul meja di depannya, ia terlihat menahan emosi.

 Orang seperti itu hanya akan menyiksa diri sendiri dan orang di sekitarnya. Kamu camkan itu!!!” Lanjut pak Broto.

 “Aku akan menyelesaikan kewajibanku saat aku bebas ngatur hidupku.”

“Oh, jadi kamu ngerasa hidupmu udah teratur? Kalau hidupmu udah teratur, harusnya kamu udah lulus 2 tahun yang lalu.”

Ngapain aja kamu selama itu???”

“Anak-anak di Aceh butuh bantuan kita, Yah. Tsunami membuat mereka gak punya siapa-siapa. Jadi, aku kesana untuk menolong mereka.

“Lantas siapa yang membantumu kalau bukan aku??? “Sekarang juga kamu tinggalkan pekerjaan yang gak berguna itu, dan…”

“Praang…” Bimo melempar vas bunga yang ada di depannya.

Dia lalu beranjak dari tempat duduknya sambil menutup kedua telinga dan menuju kamar untuk membereskan barang-barang dan meninggalkan rumah ini.

Bimo tak peduli lagi dengan teriakan dan ancaman pak Broto. Tekadnya sudah bulat.

“Mau ke mana kamu??? Aku belum selesai bicara.”

“Mau bicara apa lagi??? Ngga ada gunanya.” Jawab Bimo sambil meninggalkan rumah pak Broto.

 

----------------------

 

Dua tahun sejak kejadian itu, pak Broto masih berharap agar Bimo pulang dan mau menemuinya. Sejak istrinya meninggal saat Bimo masih berusia 5 tahun, ia tak pernah menikah lagi.

Di usia pensiunnya, kesibukan pak Broto hanyalah berkebun di belakang rumahnya. Ia teringat pernah memergoki Bimo saat ia meminta bantuan di jalan Malioboro seminggu setelah gempa Jogja 2006. Saat itu, ia sangat marah dan menampar pipi Bimo. Sebenarnya, ia tak pernah membenci pekerjaan seorang relawan. Tapi ketika istrinya meninggal karena tertular Demam Berdarah saat membantu para pengungsi, sejak saat itu pak Broto menganggap bahwa pekerjaan seorang relawan adalah pekerjaan yang sia-sia.

Sambil duduk di kursi teras, pak Broto menggenggam erat-erat foto Bimo saat ia masih berusia 6 tahun. Semenjak kepergian ibunya, Bimo selalu menuruti keinginan pak Broto, termasuk saat dia meminta Bimo untuk melanjutkan kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Pak Broto berharap Bimo bisa mewujudkan mimpinya yang tak pernah terwujud, menjadi seorang diplomat. Lagi pula bukankah pekerjaan seorang diplomat lebih pasti daripada pekerjaan seorang relawan?

Bimo merasa dengan menuruti keinginan-keinginan ayahnya, ia bisa membuat ayahnya melupakan kesedihan karena ditinggal oleh ibunya.

--------

“Tok..tok..tok..”

Malam itu terdengar suara ketukan ketika pak Broto baru saja selesai menyantap makan malamnya.

“Bi Darmi, tolong lihat siapa yang datang!”

Bi Darmi tak kunjung datang untuk melihat ke depan, nampaknya ia sedang sibuk membereskan dapur.

“Siapa?” Tanya pak Broto sambil mendatangi pintu depan.

“Tok..tok..tok..” Suara ketukan kembali terdengar.

“Ayah!” seru Bimo sambil memeluk pak Broto begitu pintu sudah terbuka.

“Ayah, maafin Bimo yang gak bisa memenuhi semua keinginan ayah” isak Bimo sambil terus memeluk ayahnya yang semakin renta.

“Tapi, lihat ini Yah!” ucap Bimo sambil melepaskan pelukannya.

“Bimo sudah menyelesaikan skripsi Bimo, Bimo sudah bisa wisuda semester ini Yah” ucap Bimo sambil menyerahkan sebuah skripsi yang sudah dijilid rapi dan sepucuk undangan acara wisuda.

“Kemana saja kamu selama ini, nak?” tanya pak Broto sambil mengusap air mata anaknya.

“Bimo ke Lebanon Yah. Bimo harus mewawancarai warga Lebanon, karena skripsi Bimo meneliti tentang konflik antara Israel dan Hizbullah.”

“Kamu kurusan nak..” ucap pak Broto sambil menepuk bahu Bimo.

Ada air mata bahagia di pelupuk mata pak Broto melihat anaknya kembali dan sudah berhasil menyelesaikan skripsinya.

“Istirahatlah nak, kamu pasti capek!”

Bimo hanya mengangguk.

-----

Pagi itu, pak Broto bangun dengan lebih gembira. Ia segera menuju kamar anaknya untuk mengajaknya sarapan bersama.

“Tok-tok-tok, Bimo..”

Sunyi, tidak ada jawaban. Pak Broto lalu membuka pintu kamar anaknya dan melihat semua masih tampak rapi. Seperti tidak ada yang tidur di sana.

“Bimo kemana bi?” Tanya pak Broto pada bi Darmi, perempuan paruh baya yang telah menjadi ART di rumahnya semenjak Bimo masih bayi.

Namun, perempuan tua itu hanya menggeleng.

“Bimo semalam datang bi.”

“Semalam ndak ada yang datang pak.”

“Semalam, waktu bapak selesai makan malam, bapak lalu duduk di kursi goyang sampai ketiduran. Setelah selesai membersihkan dapur, saya lalu mengunci pintu dan sama sekali ndak ada yang datang pak.” jawab bi Darmi kebingungan.

Pak Broto pun terlihat bingung. Ia lalu bergegas menuju kursi goyang dan menemukan sebuah skripsi tergeletak di sana. Lalu, matanya menangkap siaran breaking news dari layar kaca yang menyala sejak tadi.

“Sebuah serangan kembali dilancarkan oleh tentara Israel ke pemukiman warga Lebanon. Pihak Israel menyatakan bahwa pemukiman tersebut merupakan markas rahasia dari para pejuang Hizbullah. Sampai saat ini satu korban telah berhasil diidentifikasi oleh pihak berwenang. Korban merupakan warga negara Indonesia dan bernama Ariyo Bimo .”

“Bruk..” Tangan pak Broto gemetar melihat berita itu. Skripsi di tangannya pun terjatuh. Lalu semua gelap.

“Bapaaaak..” teriak bi Darmi

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.