Batik Gedog: Wastra Selaras Alam

Keseluruhan proses pembuatan batik gedog atau batik Tuban telah menempatkannya sebagai sebuah wastra yang ramah lingkungan. Satu saja bagian dari prosesnya hilang, bisa mengakibatkan kerusakan pada lingkungan. Selain juga menghilangkan tradisi.

Batik Gedog: Wastra Selaras Alam
Batik Gedog dan fotonya adalah koleksi & milik Reda Gaudiamo
 
Batik gedog dari Kerek, Tuban, Jawa Timur, adalah sebentuk wastra yang dihasilkan oleh manusia dengan cara memanfaatkan segala apa yang disediakan oleh alam sekitarnya. Proses pembuatannya sendiri merupakan sebuah proses panjang yang harus dilalui dengan sabar oleh si perajin, sebuah proses yang sejatinya dimulai sejak bibit kapas ditanam.
 
Setelah kapas dibersihkan, dipintal, dan benang dikuatkan dengan kanji, diperlukan waktu selama sebulan untuk menenunnya menjadi kain sepanjang tiga meter dengan lebar sekitar satu meter. Perlu waktu sekitar dua bulan lagi sebelum akhirnya kain tenun itu menjadi batik gedog seutuhnya. Selain memakan waktu yang terhitung lama, menenun kain adalah proses yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi.
 
Nama gedog sendiri diambil dari suara keras pada alat tenun tipe back strap loom yang terbuat dari kayu, yang terdengar ketika proses penenunan berlangsung. Sifat khas dari kain tenun gedog adalah kasar dan tebal, karena benang kapas yang dipintal juga tebal. Setelah tenunan selesai, proses pembatikan bisa dimulai. Teknik tulis dengan canting adalah satu-satunya cara yang dilakukan untuk membuat batik Tuban atau batik gedog ini.
 
Menenun dan membatik adalah kegiatan kaum perempuan, dan bukan merupakan pekerjaan utama. Dilakukan sebagai pengisi waktu luang, ketika tak lagi harus kerja di sawah karena usai masa tanam dan tengah menunggu masa panen. Tenun dan batik gedog bermula dibuat untuk dipakai sendiri. Dikenakan sebagai kain bawah pakaian wanita dan kain gendongan. Dan, untuk disertakan dalam berbagai ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia.
 
Dalam perkembangannya, orang luar daerah Kerek kemudian turut berminat pada batik gedog. Dulu, perajin batik gedog menggunakan hasil karyanya untuk barter dengan barang keperluan hidup. Kalau sekarang, cukup dijual saja untuk memperoleh pemasukan ekonomi. Musim kemarau biasanya menjadi tempo di mana penjualan batik gedog berlangsung.
 
Sayangnya, seni membuat kain tenun gedog kini sudah mulai ditinggalkan generasi muda Kerek. Mereka hanya tertarik untuk membatik saja. Proses menenun selain dirasa butuh waktu yang lebih lama, juga dianggap sebagai pekerjaan para orang tua belaka. Generasi muda memilih untuk membeli kain-kain jadi buat dibatik dari luar daerahnya, yang artinya mengancam keaslian batik gedog pada kepunahan. Keistimewaan batik gedog justru terletak pada perpaduan antara kain yang ditenun sendiri dan motif-motif batik yang khas daerahnya.
 
Motif-motif batik gedog banyak mengambil bentuk-bentuk hewan sehari-hari. Semisal, binatang melata atau serangga. Jenis-jenis imaji burung juga banyak diambil. Semisal, burung merak, bongkolan, walet, guntingan atau segunting. Motif burung pada batik gedog melambangkan kehidupan di alam bagian atas.
 
Sedangkan motif-motif tanaman menjadi perlambang akan keperluan konsumsi masyarakat setempat. Misalnya, kembang kates, kluwih, kopi, kemiri, randu, atau ganggang. Semua motif digambarkan secara geometris sehingga menghasilkan imaji yang simetris. Dilakukan demikian karena kain tenun gedog agak kasar dan bertesktur.
 
Ciri khas lain dari batik gedog adalah, duri-duri yang diimbuhkan pada motif-motif batiknya. Duri-duri tersebut juga diterapkan pada motif-motif klasik yang dipakai batik gedog. Misalnya saja pada motif sidomukti dan unyeng-unyeng. Demikian pula pada motif lok can yang juga banyak ditemukan di batik gedog.
 
Kehadiraan motif lok can menjadi guratan sejarah panjang tentang interaksi budaya antara penduduk lokal dan pedagang asing yang pernah terjadi. Dalam hal ini dengan Tiongkok. Mengutip dari situs daring Kumparan, dalam bahasa Tionghoa lok berarti biru, warna yang mendominasi batik gedog, dan can berarti sutera.
 
Selain sebagai ide untuk motif, tanaman juga merupakan sumber pewarna batik gedog. Biru indigo yang menjadi salah satu ciri khas batik gedog, terbuat dari daun tanaman nila (nilo) atau tarum yang difermentasikan dengan kapur. Tanaman berupa semak ini biasa tumbuh secara liar di pematang-pematang sawah. Jangkauan warna yang bisa dihasilkan oleh nila sebenarnya tak terbatas pada warna biru indigo saja. Melainkan, dimulai dari warna kuning sampai hitam. Tergantung berapa kali pencelupan dilakukan.
 
Sumber pewarna alam lainnya antara lain adalah akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, dan akar pohon mangga untuk kuning. Kulit mahoni tak ketinggalan dipakai pula, warna yang dihasilkan adalah coklat.
 
Batik gedog atau batik Tuban adalah wastra yang ramah lingkungan. Bukan hanya karena pewarna yang dipakai adalah pewarna alam, tapi karena keseluruhan prosesnya. Satu saja bagian dari proses tersebut hilang, akan mengakibatkan rusaknya lingkungan dan hilangnya tradisi.   =^.^=
 
[Artikel ini pernah diterbitkan di media daring Koran Sulindo, pada 12 September 2021]
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.