Sang Ular Jagoan

Sang  Ular Jagoan

Musim hujan baru mulai. Merangkak. Air masih malu-malu mencurahkan diri ke bumi. Dingin. Berangin. Bikin malas gerak. Posisi paling wuenak di pagi hari adalah rebahan di kasur. Tarik selimut, main HP. Scroll up - scroll down, buka socmed. Seperti pagi ini. Jam sudah menunjukkan pukul 8.00. Aku masih santai di kamar. Belum mandi. Jarak rumah ke kantor memang dekat. Selemparan batu. Dua menit pakai motor.

Tiba-tiba kudengar istriku yang sedang hamil 3 bulan berteriak dari depan rumah,

"Yah yah... Ayah!... tolongin!.  Ayahh.. !"

Aku segera melempat selimut dan bergegas lari ke depan.

"Ada apa apa Say?" tanyaku khawatir.


Istriku sedang berdiri di sebelah Bu Samsul, tetangga sebelah rumah kami. Berpegangan tangan.

Wanita paruh baya itu suaminya sekantor denganku. Pucat pasi. Napas terengah-engah. Memegang erat lengan istriku.

"Ada apa Bu?" tanyaku, mengulang petanyaan.

"Ada ular Mas!" jawab bu Samsul. Wajahnya mengarah ke pintu depan rumahnya yang terbuka lebar. 

"Hah? Dimana? Di dalam rumah?"

"Iya Yah. Di dalam dapur rumah Bu Samsul" jawab istriku.

"Waduh. Gawat!" kataku.

Sambil celingukan kucari tetangga lain. Siapa tau bisa membantu. Tapi komplek sepi. Mungkin sudah pada berangkat kantor. Pemukiman kami memang kanan kirinya masih hutan. Segala jenis burung, monyet, biawak sampai ular masih bisa ditemui. Sering kali mereka kesasar, masuk lingkungan kami. Seperti hari ini, awal musim hujan, telur ular sedang waktunya menetas. Dan komplek kami memang banyak disambangi mereka. Bukan ular sembarangan. Equatorial spitting cobra. Kobra sumatera. Sangat ahli menyemburkan bisa. Sepanjang ingatan kami tinggal di komplek ini, belum terlihat jenis ular lain. Hanya satu jenis. Kobra hitam mengkilat itu.

Aku langsung deg-degan. Menengok kanan-kiri. Mencari-cari. Benda apa yang kira-kira bisa kugunakan. Ketemu gagang sapu. Rusak. Bercat biru. Dengan ujung terikat ijuk. Beberapa helai. Sapu yang ompong. Lumayanlah, pikirku. 

Dengan gagang sapu di tangan, aku berjalan maju. Merunduk pelan pelan. Mengendap-endap menuju pintu dapur. Diikuti istriku di belakang. Sambil memegang ujung sarungku. Paling belakang, Bu Samsul. Memegangi ujung bawah dasternya. Posisi siaga, siap lari. Formasi kami ini sudah seperti pasukan komando melakukan penyergapan. Satu lelaki macho bersarung dan belum mandi. Bersenjata gagang sapu ompong. Diikuti wanita hamil dan ibu-ibu paruh baya. 

"Tadi ularnya di mana Bu?" tanyaku sambil berbisik. Takut sang ular mendengar kami - padahal ular sendiri aslinya tidak mendengarkan suara. Dia hanya mendeteksi panas dan getaran. Matanya pun rabun.

"Tadi ada di bawah kompor Yah" bisik istriku. Sambil memperkuat pegangannya ke ujung sarungku.

"Ssttt.. jangan kencang-kencang nariknya, nanti copot, bahaya.." desisku. 

Istriku menutup mulutnya dengan tangan kiri. Menahan suara tertawa. Takut terdengar si ular.

Mendekati pintu dapur, aku memberi kode tangan kepada dua wanita pemberani dibelakangku. Jangan ikut maju. Keduanya paham. Mereka berhenti di ambang pintu. Sambil memegangi kusen. Aku bergerak ke depan. Jantung makin berdegub. Kueratkan pegangan pada gagang sapu. Dapur penuh barang.

"Gawat ini", pikirku. 

Tidak terlihat tanda-tanda keberadaaan hewan itu. Aku memukul-mukul lantai dengan gagang sapu biru ompong. Tidak jelas dan tidak ilmiah niat ini. Apakah untuk membuat ular pergi atau malah membuatnya terancam. Sekitar 10 detik aku memukuli lantai dan kotak sampah di dekatku. Tiba-tiba, reptil itu keluar dari kolong meja kompor. Hitam mengkilat sepanjang lima jengkal. Dan seperti yang kuduga, jenis kobra Sumatera. Berkepala segi tiga. Tanda ular berbisa. Dengan cepat dia menaikkan kepala ke atas tubuhnya. Posisi siaga. Siap menyerang siapapun yang menganggu tidur paginya. Aku mundur alon-alon ke arah pintu. Sambil tetap memperhatikan mata sang ular. Dia makin menaikkan kepalanya. Aku makin ciut. Selang beberapa detik kemudian, dia menurunkan kepalanya. Santai merayap ke bawah mesin cuci. Segera kututup pintu dapur.

"Sementara aman" pikirku.

Kami berunding bertiga di ruang tamu.

"Say, susah diusir. Kobranya gede. Bahaya"

"Kita panggil satpam saja gimana? Sebentar.." balas istriku, sambil meraih telepon di meja dan menekan-nekan tombolnya.

Tak lama, datang dua satpam dari pos depan komplek. Seragam lengkap dengan tongkat hitam di pinggang. Bang Ucup dan Kang Opay. Wah, sipp ini. Bantuan datang. Yang lebih meyakinkan kami, mereka ditemani seorang polisi tanggung. Berkumis tebal. Pak Subi. Bintara polisi yang tinggal di kampung sebelah. Kisah keberadaan polisi ini begini: di kota kami yang kecil, polisi diberi tugas patroli keluar-masuk kampung. Pakai motor trail inventaris kesatuan. Di jalan-jalan kota sendiri malah sepi, karena kendaraan tidak begitu banyak. Nah, pagi ini, Pak Subi - yang asli Magetan - pas kebetulan patroli lewat depan komplek  kami diajak serta. 

"Di mana Pak, ularnya?" tanya Pak Subi.

"Di belakang Ndan. Di dapur. Tadi di bawah mesin cuci" kataku.

Bertiga-tiga, mereka memutar lewat pintu dapur belakang. Jalan biasa. Percaya diri. Tidak mengendap-endap seperti gaya kami bertiga tadi. Aku mengikuti di belakang. Istriku dan Bu Samsul menunggu di samping rumah.

Pak Subi berjalan paling depan. Memegang senter dan bilah bambu panjang sehasta. Sangat meyakinkan. Pelan-pelan dia membuka pintu dapur. Matanya tajam mengawasi mesin cuci. Bang Ucup dan Kang Opay menyusul di belakang.

Sejurus kemudian, polisi itu menyalakan senter. Menyorot ke seluruh penjuru dapur. Mencari di mana sang ular bersembunyi. Dia mulai memukul-mukul lantai. Cara yang sama, seperti yang kulakukan setengah jam lalu.

"Wainii, bahaya..." pikirku.

Tak berapa lama, yang kutakutkan terjadi. Ular yang terintimidasi oleh suara lantai dipukul, langsung keluar dari bawah mesin cuci. Menaikkan kepalanya tinggi-tinggi.

Pak Subi kaget bukan kepalang. Melempar bilah bambu yang di pegang, dan  berbalik arah. Lari.

Dua satpam di belakangnya spontan ambil jurus yang sama. 

Lari.

Aku kaget.

Ikut lari. Sambil memegangi ujung sarung. 

Bu Samsul dan istriku tertawa melihat kami berempat tunggang-langgang. 

Kami berdiri sekitar 30 langkah dari pintu dapur. Sambil terus mengawas-awasi. Sama-sama tidak tau, bagaimana menyelesaikan persoalan kobra ini.

Empat lelaki gagah yang gagal.

Ditengah kebingungan kami, tiba-tiba meluncur sosok hitam itu. Panjang bergaya. Sisiknya mengkilat terkena matahari pagi. Melewati pintu dapur. Merayap santai. Menuju gerumbul pohon cabe. Lurus menembus pagar. Menghilang ke arah hutan. Kedua biji mata kuningnya menatap tajam saat melewati kami. Seperti berkata "Apa kalian? Berani?"

Hahaha.. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.